Mohon tunggu...
Fairuz Lazuardi Nurdani
Fairuz Lazuardi Nurdani Mohon Tunggu... Lainnya - Bachelor of Law

Email : fairuzlazuardi15@gmail.com Instagram : fairuzlazuardi Twitter : @fairuzlazuardi Cp : 082124176998

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Potret Kemunduran Demokrasi: Machstaat dalam Praktik, Politik Pragmatis Elite dan Sosok Prematur Menjadi Masalah Kontemporer Bangsa

25 Oktober 2023   14:29 Diperbarui: 25 Oktober 2023   15:11 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Konsep negara kekuasaan berasal dari doktrin teori kekuatan sebagai dasar pembenar ekistensi negara/raja, ada berbagai macam varian tentang kekuataan yang dimaksud. pertama, ada yang berdasarkan pada kekuatan ekonomi. Kedua, berdasarkan kekuatan fisik, jadi konsep negara kekuasaan adalah bicara tentang siapa yang paling kuat untuk mampu berkuasa. kekuasaan negara hampir tak terbatas, kekuasaan hanya dikendalikan oleh satu entitas saja atau satu orang, lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif tidak dipisah-pisah tapi itu semua dipegang oleh satu orang saja, sedangkan bentuk sistem kekuasaannegaranya adalah monarki absolut yang di mana raja memegang seluruh jenis kekuasaan, sentralistis (terpusat) dan otoriter dan itulah yang disebut sebagai negara kekuasaan atau yang dikenal dengan istilah Machstaat.

Dan apakah rezim Jokowi dengan segala tindak tanduknya hari ini mengarahkan negara kita mengimplementasi konsep negara Machstaat? Secara tidak langsung jelas Jokowi sebagai penguasa ditambah dengan para pembantunya memperlihatkan kehendak yang tak bisa dilawan oleh rakyat, pemaksaan kehendak itu ialah bukti nyata bahwa saat ini negara hukum hanya menjadi slogan di mulut tetapi dalam praktik kita adalah negara kekuasaan.

Pragmatisme Elite Membuat Kedunguan Berpolitik, Hingga Melahirkan Sosok Prematur

Masih dalam catatan Sejarah, bagaimana proses-proses yang dilalui para Founding Father negara kita sebelum terjun ke dalam dunia politik ialah dengan mematangkan pendidikan terlebih dahulu, seperti Soekarno, Semaoen, Musso. Kartosuwiryo yang di didik oleh H.O.S Tjokroaminoto sehingga mereka berkembang dengan ideologi yang kuat yang menghantarkan mereka masuk ke dalam banyaknya pergolakan pemikiran hingga pergolakan kemerdekaan.

Tak lupa H. Agus Salim, Hatta, Syahrir dan lain sebagainya yang aktif dalam menuangkan ide dan gagasan untuk bangsa dan negara Indonesia, mereka tak serta merta mendapatkan ilmu dari langit melainkan proses-proses yang melelahkan telah mereka lalui untuk bisa mengaktifkan nalar berpikir yang baik sehingga intelektualitas pun diakui oleh berbagai kalangan.

Puluhan tahun Indonesia Merdeka, kemunduran intelektualitas semakin menganga terlihat. Politisi semakin enggan membaca buku, kongkalingkong adalah cara yang dianggap lebih cepat dan tepat sasaran dan inilah yang disebut dengan pragmatisme. Pragmatism sendiri merupakan sifat atau ciri seseorang yang cenderung berfikir praktis, sempit dan instant. Orang yang mempunyai sifat pragmatis ini menginginkan segala sesuatu yang dikerjakan atau yang diharapkan ingin segera tercapai tanpa mau berfikir panjang dan tanpa melalui proses yang lama. Sehingga kadang hasilnya itu meleset dari tujuan awal.

Kepraktisan inilah yang menghambat pemikiran untuk mengeksplorasi pemikirannya. Sehingga mereka tidak lagi berfikiran secara kritis ketika menghadapi sebuah masalah. Dunia pendidikan tidak membenarkan hal tersebut tapi hal tersebut sudah mengakar dalam diri seseorang yang biasanya berambisi menjadi politisi.

Bayangkan, di era saat ini ada beberapa anak muda yang secara "tiba-tiba" karir nya melesat, sebutlah salah satunya ialah Kaesang sang anak Presiden Jokowi yang menjadi ketua umum salah satu partai politik hanya dengan hitungan hari. Dahulu ada Semaoen yang menjadi ketua partai Komunis Hindia Belanda dengan usia yang juga masih muda tapi ia membuktikan bahwa ia memang layak di posisi tersebut dengan berbagai pemikirannya yang kala itu cukup Radikal. Sedangkan jika dibandingkan dengan Kaesang yang dalam hal ini secara kapasitas publik bisa menilai bahwa dirasa ia sejatinya belum memperlihatkan juga membuktikan bagaimana isi gagasan nya kepada publik untuk bangsa dan negara atau bahkan untuk partai politik tersebut.

Selanjutnya juga ada anak dari Presiden Jokowi yang juga merupakan kakak dari Kaesang yaitu Gibran Rakabuming yang saat ini telah dideklarasikan sebagai bakal cawapres dari salah satu bacapres yang akan mengikuti kontestasi pemilu 2024. Bayangkan ada seorang anak muda yang belum tuntas mengemban tugasnya menjadi kepala daerah secara spontan langsung ingin melompat menjadi cawapres dengan kondisi minim prestasi dan pengalaman. Entah apa yang merasuki para elite-elite politik sehingga memasang seorang tanpa pengalaman yang cukup untuk memimpin negara, padahal dibalik layer ada banyak politisi kawakan yang secara keilmuan tak bisa dipandang remeh tapi mereka semua mengalah demi memberikan ruang untuk si anak tersebut.

Bukan bermaksud mendiskreditkan tapi memang dua anak muda tersebut menjadi sebuah sample untuk kita lihat secara seksama bahwa kita hidup di era mereka yang muda menjadi alat politik yang tua. Mereka berada di posisi saat ini bukan karena kelayakan atau kemampuan yang mereka punya melainkan previllage orang tua. Dalam negara demokrasi memang tidak pernah membatasi siapapun yang memiliki keinginan untuk menjadi wakil rakyat akan tetapi jika keinginan tersebut diuapayakan dengan cara-cara yang "haram" maka disinilah awal mula kehancuran kompetisi politik yang sehat.

Selain daripada itu, ini juga berlaku bagi para caleg-caleg muda yang memang memiliki previllage atas hal-hal yang dapat menunjang dirinya untuk juga masuk menuju lingkaran kekuasaan. "previllage" ini yang menghancurkan demokrasi, karena yang terjadi Ketika adanya sirkulasi elite maka kita hanya disuguhkan calon-calon elite yang tidak lebih hanya pepesan kosong, minim ide dan gagasan atau wacana besar membangun bangsa dan negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun