Mohon tunggu...
Fairuz Lazuardi Nurdani
Fairuz Lazuardi Nurdani Mohon Tunggu... Lainnya - Bachelor of Law

Email : fairuzlazuardi15@gmail.com Instagram : fairuzlazuardi Twitter : @fairuzlazuardi Cp : 082124176998

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lelang Berkedok Investasi di IKN: Tindakan Inkonstitusional ala Presiden

20 Oktober 2022   02:01 Diperbarui: 20 Oktober 2022   02:07 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemindahan ibukota berangkat dari ambisi Jokowi demi meninggalkan legacy, tentu karena niat awal adalah sebatas meninggalkan legacy itu memilki konsekuensi yaitu adalah "cara apapun akan ditempuh yang penting jadi". 

Dan itu benar-benar terjadi karena memang sebetulnya tidak ada urgensi ibukota harus dipindahkan, menelisik sisi finansial negara Indonesia sebetulnya belum mampu secara mandiri untuk memindahkan ibukota karena anggaran yang harus digelontorkan tentu tidaklah sedikit. 

Berdasarkan data dari kementerian keuangan, dibutuhkan sekitar 466 Triliun Rupiah dengan rincian 89,4 Triliun Rupiah ditanggung APBN, 253,4 Triliun Rupiah bersumber dari kerja sama pemerintah dan badan usaha serta 123,2 Triliun Rupiah dari swasta.

Berdasarkan rincian pembagian tersebut dapat kita lihat bahwa negara memberikan ruang yang begitu lebar kepada swasta dalam melakukan investasi di proyek IKN, ini tentu menjadi pertanyaan apakah IKN atau pulau Kalimantan atau bahkan Indonesia akan baik-baik saja jika terus mengandalkan swasta dalam setiap proyek-proyek strategis negara?

Mengandalkan swasta dalam setiap proyek negara itu sama dengan swastanisasi. Apa yang terjadi jika begitu massif terjadi swastanisasi? Tentu privatisasi. Sistem ini jika terus diberlangsungkan maka Indonesia akan masuk ke dalam sistem liberalisasi ekonomi yang semakin massif. 

Kalimat semakin massif ini menandakan liberalisasi ekonomi di Indonesia bukanlah barang baru, ia masuk dan mulai beroperasi ketika orde baru yang dipimpin Soeharto dalam kebijakan ekonomi begitu liberal serta pro-pasar bebas.

Mengingat privatisasi merupakan salah satu kampanye terselubung dalam globalisasi, ini dikarenakan dengan maraknya investasi bebas maka swasta akan mengambil alih bagian-bagian suatu negara yang strategis dengan dalih kerjasama dan penguasaan tersebut nantinya secara langsung maupun tidak langsung akan menurunkan nilai tawar negara tersebut dan negara berpotensi dapat dikendalikan. 

Ketika peran negara di kebiri maka tergilasnya hak-hak konstitusional rakyat menjadi konsekuensi. Ini disebabkan swasta tidak memiliki orientasi dan kewajiban untuk bertanggung jawab atas kesejateraan berdasarkan konstitusi.

Setiap negara memiliki konsep perekonomian nya masing-masing tak terkecuali Indonesia, konsepsi perekonomian Indonesia secara dasar tertuang dalam konstitusi negara yaitu UUD 1945 Pasal 33 ayat 1 hingga 4. 

Dan secara garis besar prinsip dasar nya adalah Demokrasi Ekonomi yaitu ketika roda perekonomian dijalankan dengan asas kekeluargaan dan negara menguasai seluruh sumber daya alam serta cabang-cabang produksi dengan tujuan untuk kesejahteraan rakyat.

 Demokrasi Ekonomi dapat dikatakan sebagai sistem yang bertentangan dengan sistem ekonomi liberal yang begitu condong pada monopoli hingga eksploitasi yang sangat berpotensi teradi penghisapan manusia atas manusia.

Namun yang sangat disayangkan, konsepsi Demokrasi Ekonomi sebatas imajinasi yang menjadi ekspetasi namun tak diejawantahkan menjadi sebuah realitas, ia berhenti pada dunia ide dan tergusur oleh mereka yaitu penguasa yang enggan menerapkan sistem ekonomi yang menjadi amanat konstitusi. Satu contoh kasus yang mungkin dapat kita kaji bersama yaitu seperti yang sudah di sampaikan pada paragraf di awal mengenai proyek IKN.

Pada 18 Oktober 2022 di acara "Ibu Kota Nusantara Sejarah Baru Peradaban Baru", Jokowi begitu bersemangat mengajak investor-investor untuk melakukan investasi di IKN. Awalnya saya berpikir jokowi ingin mengikuti sejarah India yang mengandalkan Borjuis Nasional nya untuk menahan intervensi Inggris pada saat itu yang ini Tan Malaka sampaikan dalam buku nya yang berjudul Aksi Massa. 

Namun saya urungkan pikiran saya karena ternyata yang ingin diandalkan oleh Jokowi tidak hanya investor dalam negeri melainkan juga asing.

Ajakan tersebut saya rasa adalah tindakan yang inkonstitusional, mengapa demikian? Jika kita kaitkan dengan sedikit penjabaran konsep dasar ekonomi Indonesia, tindakan pelelangan IKN tersebut adalah tindakan yang tidak menjalankan atau bahkan bertentangan dengan Demokrasi Ekonomi yang dianut indonesia.

Ketika negara lewat kepala nya melakukan mengemis secara elegan yang dilaksanakan di tempat mewah meminta serta menjamin untuk para investor sedangkan investor tersebut nantinya akan  mengeksploitasi dan mencari akumulasi keuntungan dari apa yang ia investasikan dan lantas apakah rakyat secara umum akan menemukan kesejahteraan? Tentu tidak.

Tak sedikit juga pihak yang sepakat proyek IKN dengan swastanisasi juga privatisasi nya dan memberikan argumen bahwa negara akan mengawasi para pemilik modal, akan mendistribusikan kesejahteraan tak hanya bagi mereka pemilik modal.

 Namun apakah yang kesejahteraan dimaksud antara rakyat kecil dan pemilik modal adalah sama-sama bisa makan tetapi tak disampaikan secara detail mereka pemilik modal memakan daging sapi kualitas A, penguasa yang memberikan akses ke pemilik modal dapat memakan daging ayam kualitas A dan rakyat kecil hanya memakan ubi singkong?

Konsepsi Demokrasi Ekonomi yang tertuang di dalam Konstitusi adalah sebuah bentuk upaya para founding father terdahulu negara ini agar meminimalisir kemiskinan pada tataran akar rumput yaitu rakyat-rakyat kecil dengan memberikan mereka kesempatan untuk menjadi bagian penting dalam roda perekonomian yang tentu dijembatani oleh negara sebagai pemberi akses. 

Namun sayang negara dengan penguasa nya terlalu bermesraan dengan pemilik modal hingga sangat berani bahkan menerbitkan kebijakan yang melindungi kepentingan para pemodal dan melahirkan kemiskinan strukrural yaitu kemiskinan yang bukan diakibatkan oleh nasib atau malas nya seseorang melainkan kemiskinan yang diakibatkan oleh kebijakan yang salah sasaran atau memang disengaja untuk mengamankan posisi golongan tertentu terlebih dahulu dan mengorbankan yang lainnya.

Kembali pada IKN dan membuka ruang swastanisasi serta privatisasi lewat investasi, penyampaian yang dilakukan oleh seorang presiden sebuah negara yang memiliki landasan konstitusi namun apa yang disampaikan adalah ajakan yang justru berpotensi inkonstitusional adalah potret bahwa Indonesia adalah negara yang terombang-ambing oleh kepentingan golongan baik itu rezim yang berkuasa ataupun pemilik modal.

Sehingga amanat konstitusi yang memberikan kekuasaan tertinggi di tangan rakyat seolah hanya coretan tak berguna.

Membiarkan liberalisasi ekonomi ini terus berlangsung adalah sebuah bentuk pengkhianatan, karena massifnya penindasan dan kemiskinan bukan tujuan Indonesia menjadi negara.

Membiarkan penguasa berbuat seenaknya adalah sebuah bentuk kebodohan dan saya mengutip Soe Hok Gie yang juga mengatakan bahwa membiarkan kesalahan adalah sebuah bentuk kejahatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun