Mohon tunggu...
Fairuz Lazuardi Nurdani
Fairuz Lazuardi Nurdani Mohon Tunggu... Lainnya - Bachelor of Law

Email : fairuzlazuardi15@gmail.com Instagram : fairuzlazuardi Twitter : @fairuzlazuardi Cp : 082124176998

Selanjutnya

Tutup

Hukum

11 Tahun Ancaman JPU Kurang Mengobati Luka: Ultra Petita Hakim Harapan Terakhir Pada Kasus Korupsi Juliari Batubara

8 Agustus 2021   13:42 Diperbarui: 9 Agustus 2021   12:45 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Juliari Batubara, mantan menteri sosial yang tak memiliki moral. Moralitas beliau digadaikan dengan sejumlah uang yang diperoleh dari hasil korupsi paket bantuan sosial untuk masyarakat yang terdampak Pandemi Covid-19. Seperti yang kita tau bahwa Pandemi Covid-19 adalah mimpi buruk bagi masyarakat khususnya mereka yang tingkat perekonomiannya menengah ke bawah, kebijakan pembatasan aktivitas sosial merenggut sebagian besar pendapatan mereka yang hanya bergantung pada hasil berjualan harian.

Menurut BPS (Badan Pusat Statistik), angka kemiskinan di Indonesia meningkat sebanyak hamper 28 juta jiwa saat Pandemi Covid-19 sejak 2020 lalu, kondisi ini diakibatkan kebijakan pemerintah baik pusat dan daerah yang tidak efektif dalam menangani Pandemi. 

Massif nya PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) akibat perusahaan yang ingin menyelamatkan pagu anggaran dan bantuan sosial yang tak merata membuat rakyat kecil dilema, mati kelaparan atau mati terinfeksi Covid-19? Pilihan yang tentu sangat mengerikan namun nyata dirasakan.

Kondisi tersebut diperparah dengan kasus korupsi Juliari Batubara, memanfaatkan jabatan yang sedang diemban sebagai menteri sosial namun sayang ketika kondisi sosial sedang dalam permasalahan beliau malah menghilangkan jiwa sosialnya dan meraup uang dari suap hasil para tender yang mememangkas uang rakyat sebesar Rp. 32,4 Milyar. 

Dilain waktu memang banyak kasus korupsi yang angka nya lebih besar, namun korupsi tetaplah korupsi yaitu perbuatan hina yang merugikan banyak jiwa apalagi dilakukan saat Pandemi yang membuat kerugian begitu dirasa berkali-kali lipatnya.

11 Tahun Ancaman Hukuman JPU, apakah cukup?

JPU (Jaksa Penuntut Umum) mendakwa Juliari Batubara dengan Pasal 12 huruf b Jo. Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU RI UU RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tipikor Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman hukuman 11 tahun penjara dan denda 500 juta subsider 6 bulan kurungan.

Korupsi diluar masa Pandemi saja adalah perbuatan yang hina dan merugikan rakyat secara luas, dan harus dihukum seberat-beratnya. 

Korupsi di masa Pandemi dan yang di korupsi adalah bantuan sosial untuk masyarakat tentu lebih menyakitkan dan hukuman nya tentu tak boleh remeh temeh. 

Walaupun banyak desakan agar diberikan hukuman mati pada Juliari namun sayang JPU tak terlalu mendengarkan aspirasi publik dan malah hanya mendakwa 11 tahun penjara yang dianggap terlalu rendah dari apa yang diharapkan.

Bisakah Juliari dituntut lebih dari 11 tahun?

Jika kita membuka Pasal 12 UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU RI UU RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tipikor maka ada beberapa opsional ancaman hukuman yaitu pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun). 

Pasal 12 tersebut tidak mengatur tentang pidana mati namun mengakomodir pidana penjara seumur hidup, jadi jika JPU hanya menuntut terdakwa 11 tahun saja, dengan Ultra Petita Hakim seharusnya dapat memvonis terdakwa Juliari lebih dari tuntutan yang jaksa berikan.

Apa itu Ultra Petita? Dan bagaimana mekanisme nya?

Ultra Petita merupakan pemidanaan atau vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang melebihi tuntutan JPU. Bolehkah hal tersebut dilakukan? 

Secara tidak langsung adalah boleh dikarenakan dalam pemidanaan melalui vonis hakim tidak ada aturan baku yang mengatur bahwa hakim tidak boleh menjatuhi hukuman melebihi tuntutan JPU. 

Merujuk pada Pasal 193 ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah dan melakukan tindak pidana, maka pengadilan menjatuhkan pidana kepadanya. Jadi pada dasarnya rujukan yang paling utama bagi majelis hakim adalah isi dakwaan bukan berapa besaran tuntutan.

Dilansir dari hukumonline.com, terdapat kebebasan dan independensi hakim dalam memutus perkara yang hal itu diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah agung yang menyatakan bahwa kewenangan hakim dalam memutus sesuai fakta persidangan dan diperbolehkan apabila pemidanaan yang dijatuhkan melebihi tuntutan jaksa jika dirasa adil dan rasional. 

Hakim dapat memutus lebih tinggi dari tuntutan JPU, namun tidak boleh melebihi batas maksimum  ancaman pidana yang ditentukan pada UU tersebut.

Jadi, pada kasus korupsi Juliari Batubara yang di tuntut hanya 11 tahun penjara sudah semestinya pada saat nanti penjatuhan vonis hukuman oleh majelis hakim menggunakan Ultra Petita agar hukuman yang dijatuhkan lebih berat dari tuntutan JPU yang dalam hal ini adalah pidana penjara seumur hidup karena itu merupakan pidana maksimal yang terdapat di Pasal 12 UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU RI UU RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tipikor. Jika ini terwujud, maka diharap dapat sedikit mengobati luka rakyat Indonesia dan hukum beserta instrumennya akan kembali mendapat kepercayaan publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun