Mohon tunggu...
Fairus Farizki
Fairus Farizki Mohon Tunggu... Mahasiswa - Blogger

Lumos Maxima

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perihal Jenakanya Mengajar dan Hubungannya dengan Minat Literasi di Indonesia

28 Maret 2021   13:08 Diperbarui: 28 Maret 2021   13:11 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Begitu tak jarangnya saya menjumpai pelbagai konten-konten literasi yang masyhur di media online. Ada banyak channel youtube, tulisan-tulisan di blogspot atau website, beberapa postingan selebgram, dan pelbagai jenis media online lainnya yang membahas mengenai agenda literasi, seperti : membaca, menulis, critical thinking, creativity to problem solving, dan lainnya. Jelas sekali, saya sangat tertarik dengan hal semacam itu. 

Saya lebih senang melihat konten yang dapat mengedukasi penikmatnya daripada konten yang sepertinya tak ada faedah nya sama sekali. Dan faktanya saya melihat ada ribuan penonton, ribuan pembaca, ribuan peminat yang mengakses konten-konten tersebut. 

Hal itu membuat pikiran saya berdecak kagum sekaligus terhairan-hairan tak menyangka. Mengherankan sekaligus kagum pasalnya di Negara Indonesia yang katanya menduduki peringkat sangat rendah sekali dalam 3 aspek pendidikan, yang salah satunya adalah kemampuan dan minat literasi. Tapi siapa sangka, konten yang berbau literasi tersebut alih-alih mendapati banyak ribuan peminat juga. 

Sehingga secara tak langsung timbullah ekspektasi saya karena hal itu ; sebenarnya masyarakat Indonesia telah nampak keminatannya dalam bidang literasi, telah nampaklah kesadaran akan pentingnya membaca dan menulis, telah nampaklah ada rasa kemauan yang cukup tinggi bagi semua. Namun, mengapa ranking kita begitu jauh sekali padahal minat kita setidaknya sudah terlihat walau belumlah mumpuni? Setidaknya ada suatu kekeliruan menurutku. Mari akan kutunjukkan!

Kala itu, saat dimana sekolah benar-benar ditutup ihwal virus corona yang menyebar merambak seantero negri, lalu mau tak mau haruslah diganti dengan metode pembelajaran di rumah saja melalui daring. Saya seringkali membantu teman-teman saya mengerjakan banyak tugas mereka yang diberikannya oleh gurunya. Satu waktu, saya sedang membantu salah seorang teman saya mengerjakan tugasnya, ia diberikan tugas untuk merangkum materi Biologi tentang Metabolisme Sel sebanyak satu bab penuh. Ia diberinya oleh gurunya ebook materi sebagai acuan untuk tugasnya. Setelah kami membaca lembar per lembar, uraian materi pada ebook nya terasa berbelit-belit nan sukar untuk dipahami. 

Akhirnya, saya menyarankan kepadanya carilah bahan materi yang lain yang bisa membuatnya memahaminya dengan mudah. Tanpa pikir panjang, ia menuruti saran saya. Lantas, dikumpulkannya sebagian materi itu yang ia search, lalu kami pilah mana yang sepatutnya mudah untuk dipahami. Saya temuilah salah satu ebook yang sangat-sangat mudah untuk dipahami. Ringkas, padat, sederhana, tak bertele-tele. 

Sekali baca pun langsung paham. Saya sarankan lagi untuk rangkum saja ebook yang mudah itu daripada yang dari gurunya, sukar. Pendek saja kuberpikir. Karena pada saat itu saya berpikir seorang guru takkan memprotes tugasnya, yang penting substansi nya sama ; mengenai Metabolisme sel, dan rangkumannya pun nanti tak jauh beda, malah harusnya bisa lebih baik sebab mudah dipahami juga. Tapi, setelah ia selesai merangkum dan lalu dikumpulkan tugasnya. 

Seketika langsung ditolaklah oleh gurunya itu, dengan dalih tak sesuai dengan materi yang ia beri. Batin ini terasa bersalah sekali sebab saya biang kerok dari kesalahan rangkumannya itu. Mau tak mau kita mulai kembali dari awal untuk mengerjakan sesuai dengan apa yang diinginkan gurunya.

Dari sepenggal cerita itu, saya agak sedikit gusar dan mungkin tak terima juga, sempat saya tanyakan pada sebagian teman saya ihwal kegusaran itu. "Kenapa harus sesuai dengan apa yang diberikan guru? Apa bedanya materi dari guru dengan materi yg lain? Toh sama-sama Metabolisme Sel? Apa bedanya rangkuman dari bahan guru dengan bahan materi yg lain? 

Kok malah bahas fisik rangkumannya? Bukan substansi rangkumannya? Toh tetep saja pakai yang itu atau pakai yang ini juga jika kedua-duanya berpotensi lebih membuat si murid paham, Apa salah nya? 

Dimana salahnya? Dimana kekeliruannya? Menurut saya yang penting itu substansi bukan eksistensi. Apalagi jika bahan ajarnya tak membuat paham sama sekali. Hanya sekedar mengumpulkan tugas saja dan lalu mendapat nilai, selepas itu lalai entah kemana. Nilai? Makhluk apa pula itu? Ia hanya angka kosong tak bermakna. Daripada pakai bahan ajar ebook itu yg mumetnya minta ampun. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun