Tisu merupakan salah satu barang yang seringkali ditemukan di kehidupan kita sehari-hari. Tisu ada berbagai macam jenisnya, ada tisu kering untuk wajah (facial tissue), tisu higienis, tisu basah, tisu dapur, dan lain sebagainya. Dilansir dari wikipedia.org, kertas tisu digunakan untuk membuat berbagai produk yang memiliki sifat dan kebutuhan mutu yang berbeda, yang mencakup kekuatan, daya serap, berat dasar, ketebalan, kecerahan, dan lain sebagainya. Tisu sejatinya digunakan sebagai alat pembersih, tergantung jenis tisu apa yang digunakan. Jika kita perhatikan di lingkungan sekitar kita, pasti banyak ditemukan penggunaan tisu, baik itu di rumah makan, toilet, di fasilitas kesehatan, bahkan di setiap rumah pun banyak yang menggunakan tisu.
Masyarakat mungkin berpikir, dengan adanya tisu bisa membuat sesuatu menjadi bersih dan higienis, juga lebih praktis karena pada dasarnya tisu hanya digunakan sekali saja lalu dibuang. Namun ternyata jika kita menggunakan tisu secara berlebihan akan memberi dampak yang buruk, bukan hanya bagi lingkungan tetapi juga bagi kesehatan. Tisu yang kita sering gunakan ini berasal dari kayu. Ya, kayu yang berasal dari pohon tersebut diproses melalui beberapa tahap sampai menjadi bubur kertas atau paper pulp dengan menggunakan mesin pencetak kertas. Kertas tisu dapat dibuat dengan paper pulp yang sudah di daur ulang dan juga dari bubur kertas murni (virgin pulp). Â
Penggunaan tisu di lingkungan rumah tangga menjadi sorotan, karena digunakan secara berlebihan dan terkesan menghambur-hamburkan tanpa adanya kepentingan yang berarti. Masalah ini memang sudah terjadi sejak dahulu, namun di tengah pandemi ini yang memaksa orang-orang untuk berdiam di rumah, penggunaan tisu cenderung meningkat. Tidak hanya itu, tuntutan untuk selalu menjaga kebersihan juga membuat masyarakat menjadi sering menggunakan tisu.
Tanpa kita sadari bahwa penggunaan tisu di kehidupan sehari-hari dapat membawa dampak bagi lingkungan hidup. Tisu yang merupakan benda kecil ternyata dapat menimbulkan permasalahan besar bagi kehidupan manusia jangka panjang. Dilansir dari http://ditjenppi.menlhk.go.id, masyarakat Indonesia yang hidup di kota besar mempunyai kebiasaan untuk menghabiskan tiga lembar tisu untuk mengeringkan tangan. Sedangkan secara global, WWF memperkirakan bahwa setiap hari, sekita 270.000 pohon ditebang dan berakhir di tempat sampah, 10% dariÂ
Berdasarkan data di atas, tentu kita merasa miris karena penggunaan tisu di lingkungan sekitar kita memang sangat banyak jumlahnya. Mungkin hal ini tidak terlalu diperhatikan oleh orang banyak, padahal dari hal kecil ini saja sudah membawa dampak yang luar biasa bagi kelestarian alam di masa depan. Salah satu dampak yang paling  dirasakan adalah hadirnya limbah atau sampah tisu di lingkungan sekitar rumah. Â
Data persampahan yang terdapat pada Baseline Informasi persampahan dari website ciptakarya.pu.go.id menunjukkan bahwa kapasitas masuk TPA (tempat pembuangan akhir) di  Indonesia mencapai angka 310.173. 407 m3 per tahun. Data persampahan yang ada di Provinsi Jawa Barat, tercatat Kabupaten/ Kota yang menyumbang sampah terbesar adalah Kota Cimahi, yang mana mencapai 4, 98 liter per orang per hari. Artinya, setiap hari satu orang penduduk Kota Cimahi menyumbangkan sampah sebesar 4, 98 liter, dengan komposisi sampah organik sebesar 47%, sampah kertas 8 %, sampah kaca 1%, sampah plastik 14%, sampah logam 1%, sampah kain 2%, dan jenis sampah lain sebanyak 20%. Hal tersebut tentu membuat kita harus tersadar, dan mau untuk bijak dalam pengendalian sampah, terutama sampah kertas/ tisu yang dapat berdampak bagi lingkungan hidup.
Jika kita memerhatikan lingkungan sekitar kita, tentu banyak ditemukan sampah tisu berwarna putih yang kadang berserakan. Perilaku masyarakat yang acuh tak acuh terhadap kebersihan lingkungan juga menyebabkan dampak yang merugikan, salah satunya banjir. Dilansir dari nationalgeographic.co.id, sampah tisu juga ternyata sulit untuk terurai, terutama tisu basah. Tidak seperti kertas toilet pada umumnya, tisu basah mengandung bahan-bahan yang tidak mudah hancur. Oleh sebab itu, sangat berbahaya jika membuang sampah tisu basah ke toilet maupun ke selokan karena dapat menyebabkan penyumbatan, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya banjir.
Selain menimbulkan sampah dan banjir, penggunaan tisu yang tidak bijak juga membuat penyusutan terhadap luas hutan alam Indonesia. Menurut Koesnadi dari Sekjend Sarekat Hijau Indonesia (SHI) tentang hitungan sederhana bagaimana penyusutan Hutan Alam Indonesia akibat dari penggunaan tisu oleh masyarakat, "Jika jumlah penduduk Indonesia 200 juta orang dan setiap satu harinya 1 orang menggunakan gulung kertas tisu. Artinya penggunaan kertas tisu bisa mencapai 100 juta gulung tisu per hari, berarti per bulannya pemakaian tisu di Indonesia mencapai 3 milyar gulung. Bila berat kertas tisu itu 1 gulung mencapai kg, maka 3 milyar dihasilkan angka kira-kira 750.000.000 kg setara dengan 750.000 ton, bila untuk menghasilkan 1 ton pulp diperlukan 5 m3 kayu bulat, dengan asumsi kayu bulat 120 m3 per hektar (diameter 10 up) maka sudah bisa ditebak penggunaan hutan untuk urus kebersihan mencapai ratusan ribu hektar setiap bulannya".
Dari pernyataan tersebut memang sangat relevan dengan keadaan saat ini. Cuaca yang seringkali tidak stabil merupakan salah satu dampak dari berkurangnya jumlah pohon di bumi, khususnya di Indonesia. Penggunaan kayu dari pohon sebagai bahan baku pembuatan kertas atau tisu, tidak seimbang dengan penanaman kembali (reboisasi) hutan yang telah dieksploitasi sumber daya alamnya. Coba bayangkan, jika hal tersebut terus terjadi, maka diperkirakan hutan Indonesia akan habis dan tentunya akan berdampak pada keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia.
Kesadaran masyarakat terhadap kelestarian lingkungan perlu ditingkatkan, karena bagaimanapun juga bumi tempat kita berpijak ini perlu kita jaga. Penggunaan bahan yang berasal dari alam perlu dikontrol jumlahnya, juga harus diseimbangkan dengan kapasitas sumber daya alam yang tersedia, seperti contoh penggunaan tisu yang telah dibahas tadi. Hutan yang digunakan untuk produksi bahan kebutuhan seperti tisu perlu diawasi pengelolaannya. Hutan produksi merupakan hutan yang memiliki potensi untuk menghasilkan produk baik itu untuk bidang industri maupun bidang lainnya. Oleh sebab itu, pengelolaan hutan produksi harus benar-benar diperhatikan agar sumber daya alam yang terdapat di dalamya tidak habis dan dapat terus tersedia bagi kelangsungan kehidupan alam di masa yang akan datang.
Untuk meminimalisir penggunaan tisu dan mengurangi limbah tisu di lingkungan, tentu kita harus senantiasa bersikap bijaksana. Tidak harus menggunakan tisu, kita juga bisa menggunakan alat lain yang lebih efisien dan ramah lingkungan, misalnya sebisa mungkin menggunakan handuk atau sapu tangan sehabis cuci tangan. Jika terpaksa harus menggunakan tisu, gunakan secukupnya.Â
WWF Indonesia pernah mengkampanyekan gerakan #30clapschallenge, yaitu gerakan 30 kali tepuk tangan setelah mencuci tangan. Tujuan dari gerakan ini adalah untuk mengurangi penggunaan alat pengering tangan seperti tisu, karena mampu mengurangi air sebanyak 80% pada tangan yang basah setelah mencuci tangan, sehingga penggunaan tisu menjadi tidak perlu lagi.Â
Selain itu, kegiatan penanaman pohon atau reboisasi mempunyai arti penting bagi kelestarian alam, karena sebagaimana yang kita tahu pohon dapat menghasilkan oksigen yang dapat mencegah global warming. Dari cara-cara tersebut, diharapkan masyarakat dapat terus tersadar bahwa pentingnya menjaga lingkungan hidup di sekitar kita, karena apa yang kita perbuat untuk alam, maka kita juga akan mendapatkan hasilnya dari alam.Â
Jika kita menuai kebaikan di alam, maka alam pun senantiasa akan memberi kemanfaatan yang baik bagi kita. Namun, jika kita melakukan suatu keburukan pada alam, maka kita sendirilah yang akan merasakan akibatnya. Oleh karena itu, bijaklah kepada alam, agar kelestariannya dapat senantiasa terjaga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H