Menilik akar penyebab maraknya perkosaan di atas, tak adil rasanya jika solusi atas maraknya kekerasan seksual hanya dititikberatkan pada pemberatan hukuman bagi pelaku. Bukan hendak membela pelaku, akan tetapi –jika kita mau jujur- dengan sistem demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai liberal, pelaku-pelaku kejahatan seksual akan terus diproduksi. Bahkan usianya semakin dini. Sebagaimana dinyatakan kriminolog Anggi Aulina, pelaku dibentuk oleh struktur dan kultur negara kita.
Solusi atas maraknya kekerasan seksual haruslah multidimensi. Bukan hanya dari sisi penegakan hukum. Solusi itu akan kita dapatkan dalam sistem Islam. Islam bertentangan secara diametral dengan demokrasi. Jika demokrasi sekedar mengakui adanya Tuhan tapi menolak aturan Tuhan dalam kehidupan, maka Islam mengakui adanya Allah sebagai Tuhan yang menciptakan (al-khaaliq) sekaligus Pembuat Hukum (al-mudabbir). Inilah akidah Islam.
Akidah Islam menjadi landasan dalam sistem pergaulan, pornografi-pornoaksi mutlak diharamkan untuk segala usia. Produksi media yang memuat konten pornografi-pornoaksi dilarang, meskipun atas nama seni. Islam mewajibkan pemeluknya menutup aurat dengan sempurna, sama sekali tidak boleh ada rangsangan fantasi seksual di ranah publik. Rangsangan seksualitas hanya boleh ada dalam kehidupan privat suami-istri. Islam melarang kehidupan yang bebas dan campur-baur antara laki-laki dan perempuan. Pertemuan laki-laki dan perempuan hanya diperbolehkan jika ada hajat syar’i seperti jual-beli, menuntut ilmu, pengobatan, dan sebagainya.
Akidah Islam juga menjadi landasan dalam sistem pendidikan. Tujuan pendidikan adalah menciptakan pribadi takwa sekaligus menguasai iptek untuk kemaslahatan manusia. Bukan output yang sekedar siap kerja/mengejar nilai-nilai materi seperti sekarang. Akidah Islam menjadi ruh dalam setiap mata pelajaran dan proses pembelajaran. Berbeda dengan sekarang, dimana Islam hanya dipelajari sebagai wawasan, bukan pedoman hidup.
Dengan demikian, fantasi-fantasi liar tidak akan beredar di masyaraklat. Kalau terbersit niat jahat saat ada kesempatan dan lemah pengawasan, maka iman takwa yang dibentuk sistem pendidikan Islam menjadi bentengnya. Jika masih saja ada yang melanggar, maka Islam memberikan sanksi yang berat. Pelaku perkosaan dijatuhi hukuman zina, yakni dicambuk 100 kali (jika belum menikah) dan dirajam hingga mati (jika sudah menikah). Jika disertai pembunuhan, sanksinya adalah qishash atau membayar diyat. Jika pembunuhan dilakukan secara berkelompok, maka mereka yang terlibat langsung dikenai sanksi qishash dan yang mempermudah pembunuhan dipenjara. Beratnya sanksi ini akan memberi efek jera, mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa. Sanksi ini sungguh memberi keadilan pada korban dan pelaku. Karena bagi pelaku, sanksi ini akan menjadi penebus dosanya di akhirat.
Jangan Lagi Ada Yuyun Berikutnya
Kita tentu tidak ingin, Indonesia yang diperjuangkan oleh darah para pahlawan dan syuhada’, dirusak moral generasinya oleh ideologi liberal. Bukannya menjadi negara yang maju dan bangkit, justru Indonesia terpuruk dan menjadi negara sasaran penjajahan budaya oleh Barat. Kita tentu tak ingin ada Yuyun-yuyun berikutnya. Jika demokrasi terbukti tak mampu membendung kerusakan yang ada, salahkah jika kita menoleh kepada Islam? Dalam panggung sejarah selama 14 abad, ketika Islam diterapkan secara sempurna dalam sebuah negara (khilafah), terbukti tercapai ketinggian peradaban yang tiada tandingnya. Bahkan, hidup di dalamnya umat Islam dan non Islam secara mulia, aman dan damai. Semua menikmati kerahmatan hukum-hukum Islam.[]
*)penulis adalah ibu rumah tangga, alumni TMaI Al-Amien Prenduan – Sumenep – Madura, tinggal di Jember
dimuat di Radar Jember, 18 Mei 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H