Karya Faiq Ahmad JiddanÂ
Ada sebuah perkampungan yang berada di pesisir pantai. Kebanyakan warga kampung itu bekerja sebagai nelayan yang pergi melaut saat malam hari. Warga kampung itu sangat rukun dan saling tolong menolong satu dengan lainnya.
Anak-anak perkampungan itu tidak diizinkan untuk pergi melaut. Jadi anak-anak hanya bermain di siang hari dan menolong menyiapkan peralatan melaut pada sorenya. Setiap hari, itu terjadi dan terus terulang tanpa ada masalah.
Hari itu, Jakka sedang duduk di atas batu. Ia melihat tertelannya matahari yang pergi masuk ke dalam laut. Suara ombak dan kicau burung camar semakin riuh. Pemandangan yang sering dilihat oleh jakka saat sendirian.Â
Di kala kesendiriannya itu, ia sering mempertanyakan kepada dirinya, bagaimana keadaan saat kita berada di tengah lautan? Lalu di mana ujung lautan yang luas itu? Adakah harta karun di sana? Banyak pertanyaan yang membuatnya penasaran. Di tengah renungan Jakka, tiba-tiba ada yang berteriak.
"Hei Jakka! Sedang apa kamu?!" Jopen temanku berteriak dan berjalan ke arahku.Â
Aku hanya melihat sekilas ke arah Jopen dan tidak menjawabnya karena ia pasti sudah tahu inilah kebiasaanku. Jopen juga. Jopen anak tetanggaku yang juga sudah menjadi sahabatku. Kami dari dulu memang senang bermain dan menikmati sunset bersama. Sepertrinya hari ini Jopen juga akan menikmati sunset bersamaku.
"Kalau Jopen sedang apa sekarang?" Tanyaku kepada Jopen.
"Aku ingin melihat sunset," Jopen menunjuk ke arah matahari.
"Berarti tujuan kita disini sama, maka jangan tanyakan pertanyaan yang sama berulang kali," Bilangku ke Jopen dengan kesal.
"Namanya juga basa-basi," Jopen pun tertawa.
Jopen, menurutmu apakah ada ujung lautan dari yang luas ini? Apakah harta karun itu ada? Apakah di tengah lautan ada binatang raksasa? Apakah Atlantis itu ada, kota tenggelam yang misterius?
"Sabar-sabar kalau nanya itu satu-satu, emangnya aku ensiklopedia?" Jawab Jopen yang tidak menjawab satu pun pertanyaan Jakka.Â
Tapi itu sangat membuatku pensaran. Semua itu memenuhi pikiranku, oh iya apakah kamu pernah mendengar kota bikini bottom? Sekarang lagi banyak dibicarakan.
"Oh itu, aku juga tidak tahu," Bilang Jopen.
Kenapa kita tidak boleh ikut melaut bersama warga kampung? Padahal kalau boleh pasti semua pertanyaan ini akan terjawab. Tapi aku punya rencana yang bagus, aku akan menyelinap ke dalam kapal besok sore.Â
"Apa?!" Jopen terkejut mendengarnya," Apa kamu sudah gila? Itu sangat berbahaya dan kita belum pernah kesana. Bagaimana jika kamu terjatuh lalu dimakan hiu dan kamu takkan hidup lagi."Â
Walaupun begitu aku akan tetap pergi bagaimanapun caranya. Aku akan mencari waktu yang tepat untuk masuk ke dalam kapal. Aku akan melihat dunia yang lebih luas lagi.
"Bagaimana kalau kamu mencoba untuk bertanya ke ayahmu dahulu. Mungkin kamu akan dibolehkan untuk ikut dengan ayahmu," Jopen mencoba memberi saran.
"Pasti tidak akan dibolehkan!" Jakka mengeraskan suaranya.
"Kalau begitu jangan pergi lebih baik kamu menolong ibumu memasak atau bermain, daripada mencari di mana ujung laut," Jopen berdiri dan pergi.
Hari semakin gelap, ombak pun semakin tinggi. Jakka masih memikirkan cara menyelinap ke dalam kapal. Sepuluh menit kemudian Jakka memutuskan untuk beranjak pergi menuju rumah. Sepanjang perjalanan la melihat semua warga sedang sibuk mempersiapkan untuk pergi mencari nafkah. Di sana banyak anak-anak yang sedang mengangkat jaring, umpan dan semua yang dibutuhkan untuk melaut.
Saat aku tiba di rumah tampak ibu yang sedang menyiapkan makan malam.
"Jakka sudah sampai, ayo langsung mandi lalu makan!" Ujar Ibu sambil menuangkan nasi ke piring
"Baik bu," Jakka mengambil handuknya dan masuk ke dalam kamar mandi.
Setelah mandi Jakka duduk di kursi yang di depannya telah terhidang nasi sambal ikan kakap beserta sayurnya. Jakka pun menyantap masakan ibunya itu.
"Bu, apa ibu pernah ikut pergi melaut bersama kakek dulu?" Tanyaku sambal mengunyah makan malam.
"Belum, memangnya kenapa?"
"Tidak cuma mau bertanya saja. Ayah ada dimana bu?"
"Ayah sedang di luar lagi mempersiapkan untuk pergi melaut."
"Oh." Jawabku pendek.
Setelah makan aku pergi ke luar untuk menemui ayah yang sedang sibuk dengan jaringnya.
"Jakka ambilkan keranjang itu!" Ayah menyuruhku yang baru saja tiba.
"Baik yah!" Jawab Jakka
Aku harus berani bertanya kepada ayah, kalau tidak aku tidak akan pernah tahu dimana ujung laut itu berada.
"Yah, apa aku boleh bertanya?" Ucap Jakka.
"Boleh," Jawab ayah.
"Apakah aku dapat ikut bersamamu melaut, aku ingin melihatnya. Aku penasaran akan lautan itu."
"Oh masalah ini, kamu boleh ikut kok," Jawab ayah.
"Seriusan yah?" Jakka senang sekali mendengar jawaban ayahnya itu.
"Boleh asalkan umurmu sudah tujuh belas tahun! Sekarang belum waktunya untukmu. Lautan itu sangat berbahaya dan itu bukan untuk anak yang ingin melihat ujung lautan."
"Hmmm..." Wajah Jakka langsung terlihat murung mendengarnya.
"Jangan sedih dong. Ayah janji, ayah akan membawa kamu ikut pergi!" Jika sudah waktunya.
Dengan berat hati aku mendengarkan perkataan ayahku saat itu. Aku mengurungkan hati untuk menyelinap ke kapal, sepertinya apa yang dikatakan ayah itu benar. Semakin lama aku menunggu maka aku juga akan semakin penasaran akan hal itu. Setelah menemukan jawabannya aku akan jauh Bahagia daripada mengetahuinya sekarang
Sekarang umurku sudah empat puluh tahun dan anakku juga ingin lautan, maka aku menceritakan kisah ini kepadanya.
"Nak besok kamu akan dapat pergi ke sana tetapi kini belum saatnya," Jakka berbicara kepada anaknya.Â
"Baiklah, besok aku pasti akan membuat ceritaku lebih menarik daripada ayah!"
Akupun tersenyum mendengarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H