Mohon tunggu...
Faiq Aminuddin
Faiq Aminuddin Mohon Tunggu... Guru - Guru

pelayan pelajar Irsyaduth Thullab dan penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sapu Terbang

7 Oktober 2024   10:04 Diperbarui: 7 Oktober 2024   10:09 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sapu Terbang
cerita anak oleh Faiq Aminuddi

Hari masih pagi. Siti bangun tidur. Dia masih ingat cerita ibu tadi malam. Cerita tentang penyihir dan sapu terbang. Ya, sapu yang bisa terbang. Siti ingin naik sapu terbang. Melayang-melayang di langit. Berputar-putar di atas atap rumah.

Siti berjalan ke luar kamar. Di ruang tengah, ayah sedang menyapu. Siti melihat sapu itu bergerak maju mundur. Di lantai ada kertas, bungkus permen, batang korek api, dan debu. Sampah-sampah itu dikumpulkan dengan sapu lalu didorong ke dalam sekop. Selesai menyapu, Ayah pergi ke dapur. Siti bertanya dalam hati, "Mengapa ayah tidak terbang dengan sapu?"

Siti mengambil sapu. Siti menyeret sapu ke halaman. Tangan Siti memegang tangkai sapu. Siti berdiri di atas rambut sapu.

"Ayo terbang."

Siti berpegangan pada tangkai sapu. Kuat sekali. Dia takut jatuh.

"Enak juga naik sapu". Siti melihat langit. Dia ingin terbang ke atas sana. Tangkai sapu ditarik ke atas. 

"Mengapa sapu ini tidak bisa terbang tinggi? Mungkin aku harus terbang ke atas atap rumah. Istirahat di atas atap sebentar kemudian terbang lagi ke langit.

Siti melihat burung terbang di langit. Ada yang putih ada yang hitam. Burung-burung terbang melayang-layang dan berputar-putar. Di atas pohon nangka itu ada burung. Siti mendengar kicaunya.

"Selamat pagi, Burung. Boleh Aku bertamu ke rumahmu? Kamu sudah sarapan?"

Burung itu berkicau sambil melompat-lompat. Siti memutar tangkai sapu. Sekarang sapu menghadap ke pohon nangka.

"Ayo kita terbang ke rumah burung itu."

Burung masih berkicau.

Siti melihat sapu terbangnya.

"Mengapa kamu tidak bisa terbang cepat? Ayo tolong aku. Antarkan aku ke rumah burung itu. Dia sedang sarapan bersama keluarganya." Siti menarik tangkai sapu keras sekali.

Klak ! Tangkai sapu patah.

"Kau kenapa, Sapu? Oo. Kalau begini, Kau harus dibawa ke bengkel. Tapi dimana bengkel sapu terbang?"

Budi lewat di jalan depan rumah Siti. Budi sedang lari pagi bersama bapaknya.

Siti berteriak "Budi!"

Budi menoleh. Budi menemui Siti. Siti menunjukkan sapunya kepada Budi. Sapu itu patah menjadi dua.

"Ayo kita perbaiki."

Budi mencari tali. Siti memegangi sapu. Budi mengikatnya dengan tali. Jadi. Sapu tersambung kembali. Siti senang sekali.

"Sekarang sapuku bisa terbang lagi. Ayo, Budi, kita naik sapu ini. Kita terbang ke rumah burung itu."

Siti menunjuk ke atas pohon nangka.

"Kau berdiri di belakangku. Aku yang jadi pilotnya."

Mereka berdua berdiri di atas rambut sapu. Siti memegang tangkai sapu.

"Awas pegangan!" Budi pegangan pada pundak Siti.

"Siti... Sapu ini tidak bisa terbang."

"Rusak sih."

"Sapu memang tidak bisa terbang. Yang bisa terbang itu burung. Lihat itu!" Budi menunjuk burung merpati. Burung merpati terbang dari atas atap. Dia hinggap di tanah lalu terbang lagi.

"Siti, kalau mau terbang, jadi burung saja."

"Mengapa ?"

"Burung bisa terbang. Sapu tidak bisa."

"Kalau sapu terbang? Sapu terbangnya penyihir bisa terbang lho."

"Siti mau jadi penyihir?"

Siti geleng-geleng.

"Ayo kita jadi burung," usul Budi.

Siti dan Budi mencari daun. Daun untuk sayap.

Daun bunga matahari?

Ah terlalu kecil. Kurang besar untuk sayap.

Daun nangka?

Kurang besar. Daun..... 

Daun pisang. Ya daun pisang.

Siti lari ke dalam rumah. Budi ikut.

"Bu, tolong ambilkan daun pisang"

"Untuk apa, Nak?"

"Untuk sayap."

"Sayap? " mata ibu terbelalak.

"Siti mau terbang seperti burung."

Ibu mengangguk-angguk.

"Daun pisang tidak kuat untuk terbang. Mudah sobek."

"Lalu pakai daun apa, Bu?"

"Kalau mau terbang, ya naik pesawat terbang?"

"Kalau naik sapu, bisa?"

"Sapunya bisa terbang?"

Mereka diam. Budi menggaruk-garuk kepala. 

"Bisa." Jawab Budi.

Budi berlari ke halaman. Siti ikut. Ibu ikut juga.

Budi mengambil sapu.

"Sapu ini bisa terbang. Lihat...."

Budi melempar sapu ke atas. Sapu melayang tapi hanya sebentar.

"Bisa terbang kan?"[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun