Jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat, infeksi TBC akan menjangkiti ratusan ribu orang di kemudian hari. Cara mengatasinya harus dengan menemukan kasus sebanyak-banyaknya, untuk diobati sesuai standar dan menerapkan kewajiban untuk melapor (mandatory notification) bagi fasilitas pelayanan kesehatan, disamping upaya poromosi dan pencegahan.
Upaya penemuan kasus TBC
Penemuan kasus dan diobati dapat memutus rantai penularan. Kementerian Kesehatan melalui Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS PK), dimana petugas puskesmas melaksanakan kunjungan rumah (ketok pintu), bila terdapat anggota keluarga usia ≥15 tahun, yang menderita batuk dan sudah 2 minggu berturut turut belum sembuh atau diagnosis sebagai penderita TBC, dirujuk ke puskesmas untuk memperoleh kepastian diagnosa dan pengobatan sesuai standar.
Upaya lain melalui investigasi kontak, petugas kesehatan atau kader mendatangi tempat tinggal pasien, mencari apakah ada anggota keluarga lainnya serumah yang tertular atau justru menjadi sumber penularan.
Informasi tentang adanya pasien TBC diperoleh dari puskesmas atau dokter praktik/klinik yang melapor ke puskesmas melalui jejaring kerjasama antara praktik dokter dan puskesmas.Â
Investigasi kontak perlu dukungan dan kerjasama dengan masyarakat, agar petugas yang datang ke rumah dapat diterima dengan baik dan bila ada anggota keluarga yang terduga TBC (presumptive TB) mau dirujuk segera ke puskesmas.
Upaya pencegahan dan promosi dilakukan dengan cara membuat ruangan dirumah berventilasi baik (udara mengalir minimal 12 kali per jamnya) dan mempermudah sinar matahari menerangi ruangan secara efektif.
Di fasilitas pelayanan kesehatan khususnya ditempat berkumpulnya pasien, seperti di loket pendaftaran, diterapkan strategi TemPO (Temukan, Pisahkan dan Obati dengan tepat), yaitu bila ditemukan pasien batuk, diberikan masker, dipisahkan dari pasien lain dan diprioritaskan untuk memperoleh pengobatan, sehingga pasien dapat segera pulang.
Skrining dapat digunakan untuk menemukan kasus terduga TBC, dilakukan pada populasi tertentu yang diprakirakan merupakan hotspot TB, misalnya didaerah kumuh padat penduduk, pondokan, lapas rutan, barak. Skrining yang dilakukan saat seleksi penerimaan calon pekerja, calon mahawiswa dan lain lain, bila ditemukan terduga TBC harus dilaporkan ke puskesmas atau rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Menurut data hanya 1% dokter praktik pribadi/klinik; 62% RS pemerintah dan 30% rumah sakit swasta yang melaporkan kasus TBC.
Dokter praktik pribadi/klinik enggan melaporkan karena harus mengisi formulir pencatatan dan pelaporan yang sangat rumit dan banyak isiannya, disamping itu standar prosedur pelaporan belum diatur dengan baik, apakah dokter praktik yang datang melapor ke puskesmas atau petugas puskesmas yang datang mengambil laporannya.Â
Bagi rumah sakit seharusnya tidak ada kendala, karena sistem pelaporan sudah terbangun dengan baik, namun kenyataannya masih banyak yang tidak melaporkan. Dalam hal ini peran dinas kesehatan kabupaten/kota perlu ditingkatkan, melakukan monitoring evaluasi yang ketat dan memberikan sangsi bagi yang tidak melaporkan.
Saat ini sebagian dari kendala pencatatan dan pelaporan sudah dapat diatasi, dengan diperkenalkannya aplikasi wifi TB. Dokter dapat mengunduh dan verifikasi melalui email ke puskesmas setempat agar dapat menggunakannya. Namun sosialisasi wifi TB masih sangat kurang, sehingga hanya sebagian kecil dokter praktik dan klinik yang menggunakannya.