Mohon tunggu...
Fadli Ulil
Fadli Ulil Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bissmillah...

Seorang Kompasianer yang ingin berbagi manfaat melalui tulisan. Kunjungi akun saya : twitter : @fadli_ulil | Instagram : fadli.ulil | Blog : www.fadliulil.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gelar Haji, Titel Agama atau Titel dari Masyarakat?

22 September 2016   19:15 Diperbarui: 22 September 2016   19:40 645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | apakabardunia.com

Musim haji sudah usai, para jamaah haji mulai bersiap pulang ke tanah air untuk menemui sanak keluarganya yang ditinggalkan selama berkunjung ke Baitullah. Mereka pulang secara bergantian, dimuali dengan kelompok terbang (Keloter) 1 yang sudah tiba di tanah air sejak minggu (18/09/2016) kemarin. 

Mengutip berita dari Koran Sindo (19/09/2016), telah tercatat gelombang pertama keberangkatan jamaah haji ke tanah air dimulai dari kloter 1 Debarkasi Banjarmasin (BDJ01) melalui Bandar Internasional King Abdul Aziz (KAAIA) Jeddah. 

Sebanyak 300 jamaah haji kembali dari tanah suci dengan Pesawat Garuda Indonesia, kepulangan mereka tahun ini (2016/1437 H) akan dilaksanakan dalam dua gelombang, dari Jeddah dan Madinah. Gelombang pertama kepulangan dimulai pada tanggal 17-29 September 2016 (dari Jeddah), lalu disusul kepulangan gelombang kedua pada 30 September-15 Oktober 2016 mendatang (dari Madinah). 

Kepulangan jamaah haji ke tanah air selalu dinantikan oleh sanak keluarganya, setelah lamanya beribadah dalam menunaikan rukun islam yang kelima untuk memenuhi panggilan Allah. Sepulangnya dari sana kebanyakan pada masyarakat Indonesia akan menyematkan suatu gelar pada orang yang telah melaksanakan ibadah haji. 

Memanggil dengan sebutan pak haji (bagi laki-laki) dan bu hajjah (bagi perempuan) mungkin sebagai tanda penghormatan yang sudah menjadi kebiasaan pada kebanyakan masyarakat indonesia. Orang islam Indonesia pada umumnya sering menyematkan gelar haji di depan namanya usai beribadah haji, bahkan tidak jarang mereka mencantumkan gelar itu pada dokumen atau surat-surat penting seperti KTP, ijazah, Kartu Keluarga dan berkas penting lainnya. 

Gelar haji sengaja dicantumkan dengan berbagai alasan, diantaranya ada yang mengatakan sebagai salah satu syiar agama supaya orang lain tertarik agar segera mengikuti langkahnya untuk menunaikan ibadah haji. Ada lagi yang beralasan bahwa besarnya pengorbanan baik secara materil dan lamanya waktu dalam menunggu serta pelaksanaan dalam berhaji yang melatar belakangi keinginan untuk di sematkannya gelar haji atau hajjah didepan namanya agar tetap meninggalkan kesan pada diri mereka. 

"Sejauh ini alasannya dapat di maklumi, tapi apakah alasan tersebut dapat dibenarkan?"

Menurut sumber yang saya baca, asal usul sebutan gelar haji bagi mereka yang telah menunaikan ibadah haji pada awalnya tidak ada, sebutan haji baru muncul beberapa abad setelah wafatnya Rasullah SAW. Sejarah pemberian gelar haji dimulai pada tahun 654 Hijriah, pada saat kalangan tertentu di kota makkah bertikai dan pertikaian ini menimbulkan kekacauan dan fitnah yang mengganggu keamanan kota Makkah. 

Kondisi yang tidak kondusif mengakibatkan hubungan kota Makkah dengan dunia luar terputus, kondisi itu semakin parah dengan bertambahnya kekacauan yang menimbulkan konflik besar yang mengakibatkan tidak dapat diselenggarakannya ibadah haji pada tahun itu, bahkan penduduk setempat sekalipun juga tidak dapat melaksanakannya. 

Setelah satu tahun berselang keadaan mulai membaik, ibadah haji dapat dilaksanakan kembali walaupun dengan cara yang tidak mudah. Mereka yang berasal dari luar kota Makkah selain harus mempersiapkan mental, mereka juga harus mempersiapkan diri seperti hendak pergi berperang, jamaah haji harus membawa senjata sebagai perlindungan diri terhadap hal-hal yang dapat membahayakannya. 

Pada waktu itu melepas orang untuk pergi berhaji hampir sama dengan merelakan kepergian orang untuk pergi ke medan perang, karena mereka yang berhaji dihadapkan pada dua pilihan berupa kemungkinan antara hidup dan mati. Maka sekembalinya dari ibadah haji, mereka disambut dengan upacara kebesaran bagaikan menyambut pahlawan yang pulang dari medan perang. Tabuhan Tambur dan Seruling mengiringi kedatangan mereka, bahkan sampai di eluk-elukkan dengan sebutan “Ya Hajj, Ya Hajj”. Maka berawal dari sanalah setiap orang pulang berhaji diberi gelar “Haji”. 

Asal-usul gelar “Haji” di indonesia 

Mengutip Situs Online kerinci.kemenag.go.id (12/05/2013), Pada zaman penjajahan Belanda, waktu itu umat muslim sangat dibatasi gerak-geriknya dalam berdakwah. Segala sesuatu yang berkaitan dengan penyebaran agama harus mendapatkan ijin dari pemerintah belanda, bahkan mereka membatasi segala bentuk peribadatan yang dilakukan oleh kaum muslim termasuk bagi yang ingin melakukan ibadah haji, karena takut hal tersebut akan memupuk rasa persaudaraan dan persatuan diantara kalangan pribumi yang akan menimbulkan pemberontakan. Belanda sangat berhati-hati karena pada saat itu orang yang pergi haji ketika pulang ke tanah air selalu melakukan perubahan dan perlawanan. 

Seperti contoh Muhammad Darwis yang pergi haji dan ketika pulang mendirikan Muhammadiyah, Hasyim Asyari yang pergi haji kemudian pulang mendirikan Nahdatul Ulama dan Samanhudi yang pergi haji kemudian kembali ke tanah air mendirikan Sarekat Dagang Islam. Bahkan ada juga tokoh yang ketika pulang beribadah haji melakukan perlawanan terhadap belanda contohnya seperti Pangeran Diponegoro yang pergi haji dan ketika pulang melakukan perlawanan terhadap belanda, Imam Bonjol yang pergi haji dan ketika pulang melakukan perlawanan terhadap belanda dengan pasukan paderinya. Maka salah satu upaya belanda untuk mengawasi dan memantau aktivitas serta gerak-gerik para ulama tanah air dengan mengharuskan penambahan gelar haji di depan nama orang yang telah menunaikan ibadah haji, ketentuan ini diatur dalam peraturan pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903. 

Untuk memudahkan pengawasan para jemaah haji, pemerintah Hindia Belanda memberikan cap (gelar) baru kepada mereka, yaitu “Haji”. Memang dari sejarahnya, mereka yang ditangkap, diasingkan, dan dipenjarakan adalah mereka yang memiliki cap haji. 

Sungguh ironis, ternyata sebegitu sulitnya orang pada masa itu untuk pergi beribadah haji ke baitullah. Jika melihat fakta tersebut, maka ternyata gelar haji hanya merupakan upaya pemerintah hindia belanda untuk mengawasi pergerakan muslim pribumi pada masa itu. 

Tetapi sepertinya pada zaman sekarang gelar haji sering sekali menjadi pembanding antara orang yang sudah mampu berhaji dan orang yang belum, seperti yang sering ditayangkan pada layar televise dalam serial “Tukang Bubur Naik Haji” dimana sosok haji muhidin yang bangga dengan kehajiannya dan bahkan akan marah ketika tidak menghormati status hajinya apalagi jika lupa memanggil dengan sebutan pak haji. Walaupun itu hanya sebuah film layar kaca, namun tidak jarang juga kita jumpai pada kehidupan nyata. 

Seharusnya ibadah haji menjadi sarana berbenah diri untuk menuju kebaikan yang di ridhoi oleh Allah SWT, sepertinya itu lebih utama dibandingkan hanya mempermasalahkan gelar haji. 

Wallahu a'lam bishawab

*** 

Mengutip dari berbagai sumber dengan mengadakan perbaikan seperlunya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun