Asal-usul gelar “Haji” di indonesia
Mengutip Situs Online kerinci.kemenag.go.id (12/05/2013), Pada zaman penjajahan Belanda, waktu itu umat muslim sangat dibatasi gerak-geriknya dalam berdakwah. Segala sesuatu yang berkaitan dengan penyebaran agama harus mendapatkan ijin dari pemerintah belanda, bahkan mereka membatasi segala bentuk peribadatan yang dilakukan oleh kaum muslim termasuk bagi yang ingin melakukan ibadah haji, karena takut hal tersebut akan memupuk rasa persaudaraan dan persatuan diantara kalangan pribumi yang akan menimbulkan pemberontakan. Belanda sangat berhati-hati karena pada saat itu orang yang pergi haji ketika pulang ke tanah air selalu melakukan perubahan dan perlawanan.
Seperti contoh Muhammad Darwis yang pergi haji dan ketika pulang mendirikan Muhammadiyah, Hasyim Asyari yang pergi haji kemudian pulang mendirikan Nahdatul Ulama dan Samanhudi yang pergi haji kemudian kembali ke tanah air mendirikan Sarekat Dagang Islam. Bahkan ada juga tokoh yang ketika pulang beribadah haji melakukan perlawanan terhadap belanda contohnya seperti Pangeran Diponegoro yang pergi haji dan ketika pulang melakukan perlawanan terhadap belanda, Imam Bonjol yang pergi haji dan ketika pulang melakukan perlawanan terhadap belanda dengan pasukan paderinya. Maka salah satu upaya belanda untuk mengawasi dan memantau aktivitas serta gerak-gerik para ulama tanah air dengan mengharuskan penambahan gelar haji di depan nama orang yang telah menunaikan ibadah haji, ketentuan ini diatur dalam peraturan pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903.
Untuk memudahkan pengawasan para jemaah haji, pemerintah Hindia Belanda memberikan cap (gelar) baru kepada mereka, yaitu “Haji”. Memang dari sejarahnya, mereka yang ditangkap, diasingkan, dan dipenjarakan adalah mereka yang memiliki cap haji.
Sungguh ironis, ternyata sebegitu sulitnya orang pada masa itu untuk pergi beribadah haji ke baitullah. Jika melihat fakta tersebut, maka ternyata gelar haji hanya merupakan upaya pemerintah hindia belanda untuk mengawasi pergerakan muslim pribumi pada masa itu.
Tetapi sepertinya pada zaman sekarang gelar haji sering sekali menjadi pembanding antara orang yang sudah mampu berhaji dan orang yang belum, seperti yang sering ditayangkan pada layar televise dalam serial “Tukang Bubur Naik Haji” dimana sosok haji muhidin yang bangga dengan kehajiannya dan bahkan akan marah ketika tidak menghormati status hajinya apalagi jika lupa memanggil dengan sebutan pak haji. Walaupun itu hanya sebuah film layar kaca, namun tidak jarang juga kita jumpai pada kehidupan nyata.
Seharusnya ibadah haji menjadi sarana berbenah diri untuk menuju kebaikan yang di ridhoi oleh Allah SWT, sepertinya itu lebih utama dibandingkan hanya mempermasalahkan gelar haji.
Wallahu a'lam bishawab
***
Mengutip dari berbagai sumber dengan mengadakan perbaikan seperlunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H