Media sosial, dapat menjadi manfaat atau bahkan bumerang untuk diri sendiri. Bagaimana cara kita menggunakannya, akan menentukan hasilnya.
Di era digital sekarang ini, cara manusia berkomunikasi, berinteraksi, dan memandang dunia telah berubah seiring dengan adanya media sosial. Platform-platform media sosial seperti TikTok, YouTube, Instagram, dan Facebook dulunya digunakan untuk berbagi momen. Namun, sekarang platform-platform tersebut menjadi panggung orang-orang untuk menunjukkan versi terbaik dari hidup mereka.Â
Foto-foto makanan mewah, pencapaian karir, liburan mewah, hingga penampilan fisik yang sempurna, menyebabkan terbentuknya standar-standar baru dan standar tersebut diikuti secara massal. Namun, di balik kilaunya dunia maya, ada tekanan nyata yang berdampak pada kehidupan sehari-hari banyak orang. Perlu digarisbawahi bahwa yang ada dalam tulisan ini tidak berlaku untuk semua orang.
Dari fenomena yang terjadi, muncullah pertanyaan penting, "Apakah kita hidup untuk diri sendiri atau untuk memenuhi ekspektasi yang dibentuk oleh standar media sosial?"
Munculnya standar palsu dan FOMO
Hadirnya media sosial menciptakan standar kehidupan yang semakin jauh dari realitas. Kehidupan di media sosial sama halnya dengan sampul buku yang keindahannya mampu menghipnotis mata, namun kehidupan nyata atau isinya tak mencerminkan keindahan tersebut. Hal yang jarang disadari oleh orang-orang adalah konten di platform-platform tersebut yang sudah diatur dengan sedemikian rupa. Hal tersebut menampilkan ilusi kesempurnaan yang sebenarnya tidak realistis. Realitas sehari-hari yang penuh kegagalan, tantangan, dan kekurangan seringkali disembunyikan di balik layar.
Dari situ terbentuklah standar palsu yang kemudian diikuti oleh banyak orang, yang tanpa mereka sadari mereka hanya melihat hasil dari proses seleksi yang ketat, bukan kehidupan sehari-hari yang sebenarnya. Akibatnya, orang-orang mulai berpikir bahwa standar kesempurnaan yang dipamerkan di media sosial adalah norma yang harus mereka capai.
Misalnya kehidupan atau gaya hidup yang dipertontonkan di media sosial seringkali menunjukkan kesuksesan dan kemewahan yang seolah-olah dapat dicapai dengan mudah. Kehidupan yang serba glamor menciptakan anggapan bahwa kesuksesan dan kebahagiaan selalu terkait dengan materi. Padahal, dibalik konten-konten mewah yang dipertontonkan, tidak jarang mereka berjuang dengan tekanan sosial, masalah keuangan, dan bahkan kesehatan mental.
Sayangnya, karena standar palsu ini terus menerus ditampilkan dan tersebar luas, banyak orang yang terjebak dalam lingkaran setan untuk terus mencapai kesempurnaan yang tidak mungkin dicapai. Mereka terobsesi untuk meniru tren dan menjalani gaya hidup yang seolah-olah sempurna, yang pada akhirnya tidak membuat mereka lebih bahagia.
Ada sebutan tersendiri untuk orang-orang yang selalu ingin mengikuti tren, yaitu FOMO. FOMO (fear of Missing Out) adalah perasaan takut ketinggalan sesuatu yang sedang populer di media sosial. Ketika melihat orang lain melalukan sesuatu yang baru dan itu menjadi tren, ada dorongan kuat untuk ikut melakukannya juga, meskipun mereka tau itu tidak sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka. Pengalaman yang harusnya bersifat personal dan menyenangkan, berubah menjadi cara agar mendapatkan validasi dari orang lain melalui jumlah likes dan komentar.
Kehidupan yang bergantung pada pencitraan
Ketergantungan pada pencitraan di media sosial mengubah cara pandang dan penilaian banyak orang. Kini, banyak yang menilai kesuksesan atau kebahagiaan bukan berdasarkan pencapaian pribadi atau kepuasan diri, melainkan dari seberapa banyak likes, komentar, atau followers yang mereka miliki. Fenomena ini memunculkan istilah baru seperti "clout chasing", di mana seseorang melakukan berbagai upaya ekstrem, termasuk hal-hal yang tidak sesuai dengan prinsip atau kenyamanannya, hanya demi mendapatkan perhatian dan popularitas di dunia maya.
Penting untuk disadari bahwa popularitas di media sosial seringkali bersifat sementara dan tidak mencerminkan nilai diri seseorang yang sebenarnya. Penggunaan media sosial sebagai alat untuk mendapatkan validasi hanya akan membuat seseorang terjebak dalam siklus ketidakpuasan yang berkelanjutan. Setelah mendapatkan perhatian, mereka akan terus menerus merasa harus mempertahankan atau meningkatkan popularitasnya, meskipun harus mengorbankan kebahagiaan atau kesehatan mental mereka.
Menemukan keseimbangan
Meski media sosial bisa berdampak negatif, kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan platform ini. Masalahnya terletak pada cara kita menggunakannya. Jika digunakan dengan bijak, media sosial bisa menjadi alat yang positif untuk berbagi pengalaman, berkomunikasi, dan mendapatkan informasi. Namun, kita perlu lebih kritis dalam menilai konten yang kita lihat dan menyadari bahwa tidak semua yang ada di media sosial mencerminkan kenyataan.
Untuk menemukan keseimbangan, penting bagi kita untuk lebih fokus pada kehidupan nyata dan apa yang benar-benar penting. Alih-alih membandingkan diri dengan orang lain di media sosial, kita harus belajar menerima diri apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.Â
Kita juga perlu menghindari tekanan untuk selalu mengikuti tren atau standar yang ditetapkan oleh media sosial, dan lebih berfokus pada apa yang membuat kita bahagia dan merasa puas.Â
Kesadaran akan dampak media sosial terhadap kehidupan kita dapat membantu kita mengendalikan cara kita menggunakan platform tersebut. Dengan demikian, kita bisa tetap terhubung dengan dunia digital tanpa mengorbankan kebahagiaan dan kesejahteraan mental di dunia nyata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H