Mohon tunggu...
Faidzoh Iffatul
Faidzoh Iffatul Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Hanya sekadar mencurahkan isi pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Kehidupan yang Terdikte Konten: Ketika Standar Media Sosial Menjadi Tolak Ukur Realita

13 Oktober 2024   12:09 Diperbarui: 13 Oktober 2024   12:25 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Ketergantungan pada pencitraan di media sosial mengubah cara pandang dan penilaian banyak orang. Kini, banyak yang menilai kesuksesan atau kebahagiaan bukan berdasarkan pencapaian pribadi atau kepuasan diri, melainkan dari seberapa banyak likes, komentar, atau followers yang mereka miliki. Fenomena ini memunculkan istilah baru seperti "clout chasing", di mana seseorang melakukan berbagai upaya ekstrem, termasuk hal-hal yang tidak sesuai dengan prinsip atau kenyamanannya, hanya demi mendapatkan perhatian dan popularitas di dunia maya.

Penting untuk disadari bahwa popularitas di media sosial seringkali bersifat sementara dan tidak mencerminkan nilai diri seseorang yang sebenarnya. Penggunaan media sosial sebagai alat untuk mendapatkan validasi hanya akan membuat seseorang terjebak dalam siklus ketidakpuasan yang berkelanjutan. Setelah mendapatkan perhatian, mereka akan terus menerus merasa harus mempertahankan atau meningkatkan popularitasnya, meskipun harus mengorbankan kebahagiaan atau kesehatan mental mereka.

Menemukan keseimbangan

Meski media sosial bisa berdampak negatif, kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan platform ini. Masalahnya terletak pada cara kita menggunakannya. Jika digunakan dengan bijak, media sosial bisa menjadi alat yang positif untuk berbagi pengalaman, berkomunikasi, dan mendapatkan informasi. Namun, kita perlu lebih kritis dalam menilai konten yang kita lihat dan menyadari bahwa tidak semua yang ada di media sosial mencerminkan kenyataan.

Untuk menemukan keseimbangan, penting bagi kita untuk lebih fokus pada kehidupan nyata dan apa yang benar-benar penting. Alih-alih membandingkan diri dengan orang lain di media sosial, kita harus belajar menerima diri apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. 

Kita juga perlu menghindari tekanan untuk selalu mengikuti tren atau standar yang ditetapkan oleh media sosial, dan lebih berfokus pada apa yang membuat kita bahagia dan merasa puas. 

Kesadaran akan dampak media sosial terhadap kehidupan kita dapat membantu kita mengendalikan cara kita menggunakan platform tersebut. Dengan demikian, kita bisa tetap terhubung dengan dunia digital tanpa mengorbankan kebahagiaan dan kesejahteraan mental di dunia nyata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun