Mohon tunggu...
Faidzoh Iffatul
Faidzoh Iffatul Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Hanya sekadar mencurahkan isi pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Kehidupan yang Terdikte Konten: Ketika Standar Media Sosial Menjadi Tolak Ukur Realita

13 Oktober 2024   12:09 Diperbarui: 13 Oktober 2024   12:25 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Media sosial, dapat menjadi manfaat atau bahkan bumerang untuk diri sendiri. Bagaimana cara kita menggunakannya, akan menentukan hasilnya.

Di era digital sekarang ini, cara manusia berkomunikasi, berinteraksi, dan memandang dunia telah berubah seiring dengan adanya media sosial. Platform-platform media sosial seperti TikTok, YouTube, Instagram, dan Facebook dulunya digunakan untuk berbagi momen. Namun, sekarang platform-platform tersebut menjadi panggung orang-orang untuk menunjukkan versi terbaik dari hidup mereka. 

Foto-foto makanan mewah, pencapaian karir, liburan mewah, hingga penampilan fisik yang sempurna, menyebabkan terbentuknya standar-standar baru dan standar tersebut diikuti secara massal. Namun, di balik kilaunya dunia maya, ada tekanan nyata yang berdampak pada kehidupan sehari-hari banyak orang. Perlu digarisbawahi bahwa yang ada dalam tulisan ini tidak berlaku untuk semua orang.

Dari fenomena yang terjadi, muncullah pertanyaan penting, "Apakah kita hidup untuk diri sendiri atau untuk memenuhi ekspektasi yang dibentuk oleh standar media sosial?"

Munculnya standar palsu dan FOMO

Hadirnya media sosial menciptakan standar kehidupan yang semakin jauh dari realitas. Kehidupan di media sosial sama halnya dengan sampul buku yang keindahannya mampu menghipnotis mata, namun kehidupan nyata atau isinya tak mencerminkan keindahan tersebut. Hal yang jarang disadari oleh orang-orang adalah konten di platform-platform tersebut yang sudah diatur dengan sedemikian rupa. Hal tersebut menampilkan ilusi kesempurnaan yang sebenarnya tidak realistis. Realitas sehari-hari yang penuh kegagalan, tantangan, dan kekurangan seringkali disembunyikan di balik layar.

Dari situ terbentuklah standar palsu yang kemudian diikuti oleh banyak orang, yang tanpa mereka sadari mereka hanya melihat hasil dari proses seleksi yang ketat, bukan kehidupan sehari-hari yang sebenarnya. Akibatnya, orang-orang mulai berpikir bahwa standar kesempurnaan yang dipamerkan di media sosial adalah norma yang harus mereka capai.

Misalnya kehidupan atau gaya hidup yang dipertontonkan di media sosial seringkali menunjukkan kesuksesan dan kemewahan yang seolah-olah dapat dicapai dengan mudah. Kehidupan yang serba glamor menciptakan anggapan bahwa kesuksesan dan kebahagiaan selalu terkait dengan materi. Padahal, dibalik konten-konten mewah yang dipertontonkan, tidak jarang mereka berjuang dengan tekanan sosial, masalah keuangan, dan bahkan kesehatan mental.

Sayangnya, karena standar palsu ini terus menerus ditampilkan dan tersebar luas, banyak orang yang terjebak dalam lingkaran setan untuk terus mencapai kesempurnaan yang tidak mungkin dicapai. Mereka terobsesi untuk meniru tren dan menjalani gaya hidup yang seolah-olah sempurna, yang pada akhirnya tidak membuat mereka lebih bahagia.

Ada sebutan tersendiri untuk orang-orang yang selalu ingin mengikuti tren, yaitu FOMO. FOMO (fear of Missing Out) adalah perasaan takut ketinggalan sesuatu yang sedang populer di media sosial. Ketika melihat orang lain melalukan sesuatu yang baru dan itu menjadi tren, ada dorongan kuat untuk ikut melakukannya juga, meskipun mereka tau itu tidak sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka. Pengalaman yang harusnya bersifat personal dan menyenangkan, berubah menjadi cara agar mendapatkan validasi dari orang lain melalui jumlah likes dan komentar.

Kehidupan yang bergantung pada pencitraan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun