"Maafin aku nis. Maap banget".
"Nis".
Memanggil, tettt...tettt..tett...
Tett...tettt...tettt....
Di layar handhpone sakti masih saja tertulis memanggil, bukan berdering. Entah karena anissa sedang mencharge handphonenya atau memang sengaja mematikan data seluler nya akibat kesal dengan sakti, entahlah. Saat ini waktu telah menunjukkan pukul 06:00 pagi dan sakti belum menunaikan shalat shubuh. Tanpa ada sedikit rasa takut dan cemas terhadap dirinya sendiri.
Sakti meninggalkan kamarnya dan menuju kamar mandi untuk berwudhu.
Tidak sampai tiga menit sakti melaksanakan shalatnya, entah apa yang membuatnya tergesa-gesa dalam shalatnya. Karena masuk sekolah pukul 07:20 atau memang ingin menelfon wanita spesialnya tadi. Entahlah, aku tidak tahu.
Ahmad Bustomi Sakti, itulah namanya kerap dipanggil sakti. Â Teman kecilku dulu sewaktu di desa dan kini tinggal sendiri di sebuah kost-an di daerah pusat kota. Dia anak seorang saudagar kaya pemilik kafe terbesar di daerahnya.Â
Nama sakti ini diambil dari nama terakhir bapaknya, entah dengan maksud agar kelak dapat meneruskan usaha bapaknya atau bukan sampai saat ini aku tak tahu. Yang jelas, seantero sekolahnya tahu bahwa sakti adalah anak seorang saudagar kaya dan tak heran jika banyak wanita dari kelas 1 sampai kelas 3 yang seumuran dengannya mengajak kenalan.
Oiya, 1 bulan yang lalu aku izin kepada orang tua pergi ke kota untuk bertemu dengan temanku yang di kota. Hari minggu pagi, aku berangkat dari desa menggunakan mobil angkutan umum menuju stasiun dan menaiki kereta jurusan Tanah Abang.Â
Tidak seperti dulu, seiring berkembangnya zaman semua lebih praktis, lebih mudah dan terbilang tidak membuat manusia lelah berkat hadirnya teknologi yang semakin hari semakin pesat, terutama diabad 21 ini. Mulai dari pemesanan dan pembayaran tiket secara online tanpa harus mengantri lama di depan loket karcis. Saat ini hampir semua manusia termasuk akupun sudah menggunakan dan merasakan manfaat dari berkembangnya teknologi tersebut.