Mohon tunggu...
Faidatul Hikmah
Faidatul Hikmah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung || Ketua Umum Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung

Mahasiswa Berprestasi 2 Tingkat Fakultas Hukum UBB Tahun 2022 || Ketua Umum Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung|| Anggota DPC PERMAHI BABEL

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kasus Mutilasi Kembali Terjadi, Perlukah Pengaturan Khusus dalam Hukum Pidana?

20 Maret 2023   15:20 Diperbarui: 20 Maret 2023   15:54 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Faidatul Hikmah

Mahasiswa Berprestasi 2 Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung

Ignorantia excusatur non juris sed facti

-Ketidaktahuan akan fakta-fakta dapat dimaafkan, tapi tidak demikian halnya ketidaktahuan akan hukum-.

Salah satu contoh kasus pembunuhan hingga hilangnya organ tubuh yang masih hangat baru-baru ini Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Ditemukan sosok mayat anak kecil di Perkebunan Kelapa Sawit Buki Intan Bine Blok S47-48 Divisi 3 PT BPL, Desa Ibul, Kecamatan Simpang Teritip, Kabupaten Bangka Barat. Kejadian ini bermula pada Minggu, 5 Maret 2023 lalu,  dikabarkan hilang di Perkebunan Sawit PT Leidong Wess Indonesia, Desa Terentang, Kecamatan Kelapa. 

Setelah dikabarkan 4 hari hilang, ditemukanlah sosok Kondisi jenazah Hafiza (8) ditemukan mengenaskan serta kaki dan tanggannya terikat dengan kondisi organ dalamnya hilang dengan dipenuhi tiga puluh tusukan dan luka sayatan.  Ironisnya, orang tua korban sempat mendapat teror dari orang yang tak dikenal melalui pesan Whatsapp dengan meminta tebusan Rp 100 juta. Saat ini, kepolisian sedang berusaha mengungkap siapa pelaku pembunuhan sadis tersebut.

Kasus pembunuhan sadis yang menimpa Hafiza pada awal Maret 2023 lalu menyita perhatian publik di Bangka Belitung dan Indonesia. Pasalnya, bocah yang baru beranjak usia 8 tahun asal Bangka Barat itu harus meregang nyawa dengan sejumlah luka akibat benda tajam di Perkebunan Kelapa Sawit Buki Intan Bine Blok S47-48 Divisi 3 PT BPL, Desa Ibul, Kecamatan Simpang Teritip. Kejadian ini bermula pada Minggu, 5 Maret 2023 lalu, saat ia dilaporkan hilang di area Perkebunan Sawit PT Leidong Wess Indonesia, Desa Terentang, Kecamatan Kelapa. 

Setelah melalui proses pencarian selama 4 hari, Hafiza ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa.  Ironisnya, orang tua korban sempat mendapat teror dari orang tak dikenal melalui pesan Whatsapp dengan meminta tebusan Rp 100 juta. Saat ini, kepolisian sedang berusaha mengungkap siapa pelaku pembunuhan sadis tersebut. Berdasarkan hasi autopsi, diketahui bahwa sejumlah organ Hafiza juga raib, sehingga terdapat indikasi dilakukanya mutilasi oleh pelaku.

Peristiwa pembunuhan yang dilakukan dengan mutilasi memang bukan perkara baru di Indonesia. Sejumlah kasus serupa telah dan terus terjadi selama beberapa dekade terakhir. Berbagai motif menjadi latar belakang pelaku melakukan mutilasi terhadap korbanya, mulai dari upaya menghilangkan jejak kriminal, motif dendam pribadi, jual beli organ tubuh tertentu, hingga kondisi kejiwaan dan untuk ritual aliran sesat yag dianut pelaku. 

Bagaimapun alasanya, pembunuhan dan mutilasi adalah bentuk pelanggaran atas Hak Asasi Manusia (HAM), dan dengan demikian bertentangan dengan prinsip perlindungan hukum di Indonesia. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pembunuhan yang disertai mutilasi dikategorikan sebagai kejahatan (mala in see), baik termasuk sebagai pembunuhan biasa maupun pembunuhan berencana.

Belum Terdapat Pengaturan Khusus

Hukum pidana Indonesia mengklasifikasikan suatu tindak pidana berdasarkan asas legalitas, yang berarti bahwa suatu perbuatan dikategorikan sebagai tindak pidana tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang dalam hal ini merujuk pada KUHP lama, sebelum mulai berlaku efektifnya KUHP baru pada 2025 mendatang. Dalam KUHP, pembunuhan diatur dalam Buku II tentang Kejahatan, dan perkara mutilasi dapat menjadi bagian dari beberapa jenis tindak pidana. 

Pertama, jika kasus mutilasi dilakukan namun tidak menyebabkan kematian, maka dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penganiayaan. Kedua, jika mutilasi dilakukan dan menyebabkan kematian, baik mutilasi dilakukan sebelum atau sesudah korban meninggal dunia, maka dikategorikan sebagai tindak pidana pembunuhan (Pasal 338, 339, 340 KUHP).

Secara umum, mutilasi yang menyebabkan kematian memang masih termasuk sebagai tindak pidana pembunuhan. Hal ini merujuk pada bunyi Pasal 338 KUHP, yang menerangkan bahwa pidana pembunuhan adalah "sengaja menghilangkan atau merampas nyawa orang lain''. 

Sengaja yang di dimaksud ialah menghilangkan nyawa sebagai tujuan yang dikehendaki, dimaksud atau dapat dibayangkan oleh pelaku. Kesengajaan ini dinilai berdasarkan willen and wetten (menginginkan dan mengetahui), pelaku menginginkan kematian korban dan menyadari bahwa perbuatanya dapat mengarah pada kematian korban tersebut. Berdasarkan willen dan wetten tersebut, kejahatan pembunuhan dapat dibagi secara umum menjadi dua, yakni pembunuhan biasa (Pasal 338) dan pembunuhan berencana (Pasal 340). Pembunuhan biasa diancam pidana paling lama 15 tahun, sedangkan pembunuhan berencana diancam pidana maksimal mati.

Namun, lantaran tidak terdapat pengaturan khusus terkait mutilasi, maka pembunuhan yang dilakukan dengan mutilasi terhadap tubuh korban belum tentu dikategorikan sebagai pembunuhan berencana, melainkan dapat menjadi pembunuhan biasa. Hal ini lantaran salah satu unsur delik pembunuhan berencana adalah adanya rencana (moord) yang telah disiapkan oleh pelaku sebelum dilakukan pembunuhan.

 Sedangkan dalam beberapa kasus, mutilasi dapat terjadi secara spontan, tanpa direncanakan sebelumnya akibat emosi dan adrenalin yang meluap, goncangan psikologis, atau ketakutan pelaku bahwa perbuatan yang tidak direncanakan tersebut diketahui oleh orang lain. Karenanya, terdapat peluang bagi pelaku pembunuhan dengan mutilasi untuk diancam pidana pembunuhan biasa dengan pidana maksimal 15 tahun penjara.

Mutilasi Sebagai Bentuk Kejahatan Berat

Berbeda dengan pembunuhan biasa, mutilasi tidak boleh hanya dilihat dari status meninggalnya korban, tetapi juga bentuk perbuatan yang dilakukan oleh pelaku sebelum atau sesudah korban meninggal dunia. Pelaku yang memutilasi korban setelah meninggal dunia, meski sebelumnya dilakukan tanpa rencana, harus dipandang telah melakikan kejahatan berat dan dihukum setara dengan pembunuhan berencana, yakni maksimal pidana mati. Hal ini lantaran pelaku tidak memiliki rasa penyesalan atas perbuatan yang baru dilakukan, dan melakukan tindakan tidak manusiawi terhadap jenazah korban serta melakukan tindakan yang melebihi batas delik pembunuhan. 

Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa pembunuhan dengan mutilasi seharusnya menjadi bagian delik tersendiri yang memperoleh pengaturan dalam KUHP. Pengertian mutilasi yang dimaksud ialah tindakan memotong-motong tubuh korban yang dilakukan setelah korban meninggal dunia sehingga menimbulkan tambahan luka yang bukan merupakan luka penyebab kematian korban.

Tindakan sadis dengan mutilasi dapat dikomparasikan dengan penganiyaan. Dalam penganiyaan biasa yang tidak menyebabkan kematian, pelaku diancam pidana penjara maksimal 8 tahun (Pasal 354 Ayat 1 KUHP), sedangkan jika penganiayaan tersebut menyebabkan kematian maka diancam dengan pidana 10 tahun. Pembunuhan yang dilakukan tanpa mutilasi juga harus dipandang 'lebih ringan' daripada pembunuhan yang dilakukan dengan mutilasi. Atau setidaknya, pembunuhan tidak berencana namun dilakukan dengan mutilasi disepadankan hukumnya dengan pembunuhan berencana.

Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi HAM. Komitmen ini secara substantif ditasbihkan dalam Pasal 28A-28J UUD 1945, dan bersumber pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Pasal 3 DUHAM secara tegas menetapkan bahwa negara-negara anggota PBB, termasuk Indonesia, menyatakan "Setiap orang mempunyai hak atas penghidupan, kemerdekaan, dan keselamatan". Sedang Pasal 6 Ayat (1) tegas menyebutkan bahwa "Setiap orang berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. 

Hal ini dilindungi oleh hukum". Tindak pidana pembunuhan adalah perbuatan yang tidak dapat diterima dan harus di hukum dengan berat. Namun, perbuatan yang dilakukan setelah dilakukanya pembunuhan juga harus ditambahkan dalam hukuman. Misalnya bagi pelaku pembunuhan yang kemudian memperkosa korbanya, harus diberikan pidana berlapis. Begitu pula dengan pelaku pembunuhan yang melakukan mutilasi, harus diberikan pidana yang lebih berat.

Kedepan, adalah penting bagi Indonesia untuk memperkuat kembali substansi hukumnya. Memberi jerat pidana maksimal bagi pelaku pelanggaran HAM yang amoral dan tidak manusiawi. Juga upaya penegakan hukum harus terus ditingkatkan kompetensinya, sebagai bagian upaya dalam mewujudkan keadilan substantif, melindungi hak asasi manusia, dan menimbulkan efek jera serta mencegah potensi terjadinya tindak pidana serupa di masa mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun