Mohon tunggu...
Faidatul Hikmah
Faidatul Hikmah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung || Ketua Umum Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung

Mahasiswa Berprestasi 2 Tingkat Fakultas Hukum UBB Tahun 2022 || Ketua Umum Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung|| Anggota DPC PERMAHI BABEL

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perkara Pidana Anak Meningkat, Perlukah Reformulasi Kebijakan Hukum Pidana dengan Penguatan Diversi?

29 Oktober 2022   17:08 Diperbarui: 29 Oktober 2022   17:15 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perkara pidana anak merupakan bentuk khusus (lex specialis) dalam tataran hukum pidana, lantaran dilakukan oleh seorang yang masih dibawah umur sehingga belum dikategorikan sebagai subjek hukum yang cakap (naturalpersoon). Untuk itu, pendekatan yang digunakan juga tentu berbeda, dengan masih memberikan kesempatan atau keringanan bagi pelaku sesuai perbuatan yang dilakukannya. Penerapan Restorative justice menjadi instrumen optimal yang dapat digunakan, lantaran tetap tidak meninggalkan kewajiban bertanggung jawab pelaku, namun juga tidak memberatkan sebagaimana sifat pidana retributif yang umum dikenakan bagi pelaku usia dewasa.

Beberapa keuntungan dasar dari pemanfaatan RJ dalam penanganan kasus perundungan pada anak, terbagi dalam beberapa pokok pikiran berikut. Pertama, perlindungan dua arah. Restorative justice mengutamakan penyelesaian alternatif tanpa menjatuhkan pidana bagi pelaku, dengan memanfaatkan upaya pemulihan kerugian yang dialami oleh korban. Dalam kasus perundungan yang dilakukan oleh anak, ini sekaligus memberikan upaya perlindungan yang lebih pasti, baik kepada korban maupun pelaku. Selain itu, lantaran kasus perundungan kerap muncul dari faktor psikologis, misalnya salah asuh dan lingkungan pertemanan yang buruk, adanya mekanisme Restorative justice juga memberi kesempatan bagi pelaku untuk memperbaiki perilakunya.

Kedua, pemulihan hak-hak korban secara lebih optimal. Trauma dan ketakutan berkepanjangan adalah dampak ikutan yang kerap muncul pasca terjadinya perundungan. Seorang korban perundungan cenderung merasa tidak aman, bahkan saat pelaku telah diproses secara hukum. Hal ini lantaran konsep pidana bersifat memberi hukuman bagi pelaku, dan tidak secara linear memulihkan kerugian materiil yang dialami korban, baik psikis, mental, maupun kepercayaan dirinya. Untuk itu, Restorative justice dapat dimanfaatkan sebagai titik temu, agar pelaku dapat mengakui perbuatan dan mengajukan permintaan maaf terhadap korban. Restorative justice dapat membantu pemulihan korban perundungan secara lebih baik.

Ketiga, proses penanganan yang cepat, substantif, dan tidak membutuhkan prosedur berbelit. Berbeda dengan penyelesaian litigasi yang harus memenuhi berbagai ketentuan hukum acara dan prosedur pengadilan yang memerlukan waktu, biaya, dan proses panjang, penyelesaian Restorative justice dapat dilakukan dengan proses yang relatif lebih cepat. Penegak hukum, bersama dengan lembaga terkait, misalnya Komisi Perlindungan Anak Indonesia, sekolah, orang tua, dan anak dapat dipertemukan guna memperoleh penyelesaian bersama. Hal ini dapat memudahkan pencapaian rasa keadilan dan pemulihan kerugian.

Meski, konsep Restorative justice tidak dapat diterapkan secara langsung pada semua kasus perundungan dan kasus pidana yang dilakukan oleh anak, melainkan juga dibatasi berlakunya berdasarkan ketentuan dalam UU SPPA, yakni hanya berlaku dalam hal anak berada diatas usia 12 tahun, perbuatan pidana dengan ancaman dibawah 7 tahun, dan bukan merupakan perulangan tindak pidana.

Perluasan Konsep Diversi

Sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, prinsip diversi merupakan instrumen hukum yang dinormatisasi dengan tujuan untuk menjauhkan anak dari pemidanaan. Prinsip ini juga memperoleh pengaturan yang lugas melalui Pasal 7 Ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Meski demikian, tidak semua perkara dapat diselesaikan melalui diversi, melainkan dibatasi atas beberapa persyaratan pokok yakni diversi dilakukan terhadap anak usia diatas 12 tahun, tindak pidana tidak diancam dengan pidana penjara 7 tahun, dan bukan merupakan tindak pidana perulangan. Sementara itu, perkara yang telah di-diversi-kan juga dapat batal dan dilanjutkan pemidanaannya, sesuai Pasal 13 UU SPPA apabila;

Proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan

Kesepakatan diversi tidak dapat dilaksanakan

Dengan demikian, proses diversi sangat bersifat terbatas, dan pada akhirnya bergantung pada pemaafan yang diberikan oleh pihak korban. Sementara bagi pelaku, tidak terselesaikannya diversi dapat berarti pemidanaan. Namun, hal ini bukan satu-satunya permasalahan. Permasalahan yang lebih fundamental ialah syarat suatu perkara dapat diselesaikan secara diversi yang limitatif, sehingga bagi anak yang melanggar ketentuan hukum diluar perlindungan diversi, misalnya dalam hal anak belum berumur 12 tahun, maka diversi menjadi tumpul (tidak dapat digunakan).

Untuk itu, perlu dilakukan reformulasi kebijakan hukum acara pidana dengan menetapkan diversi pada semua jenis tindak pidana anak, agar aparat penegak hukum dalam semua perkara pidana anak dapat mengutamakan penggunaan diversi. Pemberlakuan ini akan memberi perlindungan lebih baik bagi setiap pihak, terutama bagi pelaku. Sedangkan bagi korban, diversi juga merupakan wadah komunikasi yang bisa dijalin guna menyelesaikan perkara secara damai tanpa harus melalui pengadilan pidana dan pemidanaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun