Menurut penjelasan dari Seno Hadi Sumitro dalam prespektif Al-Qur'an, ada empat faktor yang dilakukan agar mencapai haji mabrur dan diterima oleh Allah. Pertama, terbebas dari syirik kecil atau besar. Kedua, hati yang ikhlas karena Allah.Â
Ketiga, selalu ingat kepada Allah dalam semua keadaan. Keempat, mengistiqamahkan amal baik dan takwa. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa menjalankan ibadah haji bukan hanya mengkhususkan pada aspek kewajiban fikih saja, melainkan dari aspek sosial kemasyarakatan juga tidak boleh dipandang sebelah mata.Â
Dalam hal ini relevansi yang kuat dengan mewujudkan moralitas individu sangat dibutuhkan agar seorang yang melaksanakan haji menyandang haji yang mabrur. Namun moralitas tersebut belum sepenuhnya didapatkan, sedikit banyaknya seorang ketika sudah melaksanakan ibadah haji didalam kehidupanya sama seperti dulu sebelum berhaji tidak mengalami perubahan bahkan malah justru lebih buruk.
Keburukan seseorang setelah melaksanakan ibadah haji biasanya memiliki sifat riya' atau pamer dengan apa yang mereka capai dengan gelar barunya yaitu gelar haji. Mereka yang sudah menyandang sebutan haji juga menganggap dirinya lebih mulia sehingga banyak yang memanfaatkan gelar haji tersebut untuk kepentingan pribadinya agar selalu dihormati dan didengar semua tutur katanya.Â
Hal ini sangat menghawatirkan mengingat masyarakat awam yang memiliki anggapan bahwa seseorang yang telah kembali dari tanah suci maka dirinya telah suci, sehingga segala tutur kata dan perilakunya dianggap selalu dalam kebenaran. Â
Padahal kemuliyaan dan kesucian seseorang bukan dilihat dari gelar ataupun pencapaian telah melaksanakan seluruh ibadah, namun kemuliyaan seseorang terletak pada ketakwaan yang murni dan tingginya moralitas sosial. Seperti dalam potongan ayat dari QS. Al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi
........ Â
Artinya : "Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."(QS. Al-Hujurat: 49; 13).
 Memang sudah menjadi tantangan yang berat bagi seorang haji dengan membawa gelar haji pada nama panggilanya itu. Tidak heran jika mereka menjadi berbangga diri dan merasa telah suci, karena kemungkinan mereka mengetahui hadis tentang hal tersebut, yaitu riwayat dari Imam Bukhari dan Imam Muslim yang artinya
"Barangsiapa yang mengerjakan ibadah haji dan dia tidak melakukan jima' dan tidak melalukan perbuatan dosa, dia akan kembali dari dosa-dosanya seperti pada hari dimana ia dilahirkan oleh ibunya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Bukan hanya itu, dengan banyaknya keutamaan yang didapat setelah berhaji seperti Allah membanggakanya di depan malaikat, pahalanya sebanding dengan jihad, mendapatkan surga, serta doanya akan terkabul, sehingga membuat seorang menganggap dirinya lebih mulia dari pada seorang yang belum melaksanakan ibadah haji. Ibadah haji yang seharusnya merupakan ibadah sebagai salah satu bentuk mafestasi ketaatan, namun malah menjadi senjata makan tuan yang telah merusak gelar haji dan tidak mendapatkan pencapaian haji yang mabrur.