Humor dan canda pada dasarnya diperbolehkan dalam Islam, hal ini dapat dibuktikan dengan pernyataan sementara sahabat Nabi saw. yang menggambarkan kepribadian beliau sebagai: "Sosok yang paling humoris." (HR. Ath-Thabrani). Dan asingkah kita dengan nama Nu'aiman bin Umar al-Anshari ra., yang memiliki beragam pengalaman menggelitik dengan Nabi Muhammad saw.?! Salah satunya seperti cerita yang ganjil dan mengocok perut yang diriwayatkan oleh az-Zubair bin Bakkar dalam bukunya al-Fukahah wa al-Mizah:
"Setiap kali ada rombongan pedagang datang ke Madinah, an-Nu'aiman pasti membeli sesuatu dari mereka. Suatu saat ia mengambil makanan dari seorang pedagang dan menghadiahkannya kepada Rasulullah saw. Ketika pedagang tadi menagih bayaran kepadanya, an-Nu'aiman membawanya kepada Nabi saw. sembari menjelaskan, 'Ya Rasulullah! Pedagang ini menagih biaya makanan tadi." Nabi pun bertanya, "Bukankah kamu yang menghadiahkannya untukku?" an-Nu'aiman menjawab, 'Tadi belum saya bayar, tapi saya ingin sekali menghidangkannya untukmu." Nabi saw. pun tertawa dan membayar harga makanan tadi kepada si pedagang." (HR. Ibnu Abd al-Barr).
Hidup -menurut syekh Yusuf al-Qardhawi- adalah perjalanan yang melelahkan, penuh dengan kesulitan dan penderitaan. Tidak ada seorang pun yang dapat terhindar dari persoalan hidup atau terbebas dari kesusahannya. Sekalipun semenjak lahir ia makan dengan menggunakan sendok yang terbuat dari emas. Al-Qur'an sendiri mengisyaratkan hal tersebut dengan firman-Nya:
"Sungguh, Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah." (QS. al-Balad [90]: 4).
Dan jika dibanding dengan yang lain, maka -menurut al-Qardhawi- orang-orang beriman adalah orang yang paling banyak menghadapi cobaan dunia. Di satu sisi, karena tujuan yang hendak mereka capai dipenuhi dengan pelbagai rintangan serta merbaya, dan di sisi lain karena banyak pihak yang menentang serta menghalangi jalan mereka.
Sampai-sampai -masih menurut al-Qardhawi- dalam sejumlah nukilan (atsar) dikatakan, "Seorang mukmin (selalu dihantui) oleh lima hal: (1) Sesama muslim yang iri kepadanya, (2) orang munafik yang membencinya, (3) orang kafir yang memeranginya, (4) setan yang berupaya menyesatkannya, serta (5) nafsu yang menentangnya."
Oleh karena itu, setiap manusia membutuhkan oase di tengah pengembaraan panjang mereka sehingga dapat melepas penat dan dahaga yang mengganggu. Mereka memerlukan hal-hal yang dapat menghibur diri mereka sehingga bisa tertawa dan bergembira. Dengan demikian mereka tidak akan dirundung kegelisahan, kesedihan serta kesulitan yang dapat menyusahkan hidup mereka.
Canda dan tawa dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan manusia akan hiburan yang dapat meringankan beban hidup mereka, serta menghilangkan kegundahan yang kian menyelimuti hati.
Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata: "Istirahatkanlah hati, dan penuhilah gizi hati dengan kebijaksanaan; karena sesungguhnya hati dapat jenuh sebagaimana tubuh bisa lelah."
Hiburan juga berperan besar dalam menyegarkan kembali jiwa yang layu. Sehingga dengan demikian jiwa bisa terus beraktifitas dan melewati lika-liku kehidupan yang kerap kali membuatnya penat. Hal ini sama halnya dengan orang yang perlu mengistirahatkan tunggangannya dalam perjalanan, agar perjalanannya tidak terhambat sebelum sampai tujuan.
Abu ad-Darda' ra. berkata: "Saya merelaksasikan jiwa saya dengan (melakukan) hal-hal yang remeh (dan menghibur) sehingga ia menjadi lebih kuat untuk menggapai kebenaran."
Akan tetapi, sekalipun hiburan serta canda dan tawa pada prinsipnya diperbolehkan, namun terdapat beberapa rambu yang mesti diperhatikan, di antaranya:
1). Tidak boleh berbohong dan membuat-buat ketika mencandai orang lain. Seperti yang biasa dilakukan sebagian orang di awal bulan April, yang kemudian dikenal dengan slogan "April Mop". Karena itu Rasulullah saw. bersabda:
"Celakalah orang yang bercerita hanya untuk membuat orang-orang tertawa, lalu ia berbohong. Celakalah ia! Celakalah ia!" (HR. Ahmad dan ad-Darimi).
Sebab, sekalipun Rasulullah saw. sendiri sering berseloroh, tapi beliau tetap tidak pernah berbohong.
2). Lelucon tidak boleh mengandung unsur penghinaan ataupun pelecehan terhadap orang lain. Kecuali kalau yang bersangkutan mengizinkan dan rela.
Allah swt. berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruknya panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim." (QS. al-Hujurat [49]: 11).
Dalam sebuah hadis sahih dijelaskan:
"Cukuplah keburukan bagi seseorang dengan menghina saudaranya sesama muslim." (HR. Muslim).
Suatu hari 'Aisyah ra. bercerita tentang salah seorang madunya kepada Rasulullah saw. Ia menghina madunya itu dengan sebutan "Si Pendek", Rasul saw. pun langsung menegur dengan ucapan: "Kamu telah mengucapkan kata yang jika kamu mencampurkannya ke laut, niscaya ia akan mencemarinya." (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Diriwayatkan dari 'Aisyah ra., bahwasannya ia pernah berkata: 'Saya pernah bercerita tentang sesorang kepada Nabi sambil menirukan gerakan atau suara orang itu. Kemudian Nabi pun menyelanya dengan ungkapan: "Aku tidak suka menceritakan seseorang dengan menggambarkan bahwa aku begini atau begitu".' (HR. Ahmad, Ibnu al-Mubarak dan al-Baihaqi). Maksud Rasulullah saw. di sini adalah memperagakan gerakan atau suara sosok yang diceritakan.
3). Tidak mengagetkan atau menimbulan rasa takut bagi muslim yang lain.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abdurrahman bin Abi Layla, ia berkata: 'Para sahabat Nabi bercerita kepada kami bahwa mereka pernah berjalan bersama Nabi saw. Salah seorang dari mereka bertolak. Kemudian sebagian yang lain menyusul dan menarik tali kekang yang dipegang orang tadi. Tentu saja ia terkejut, dan Nabi saw. pun bersabda: "Tidak diperbolehkan seorang muslim menakut-nakuti muslim yang lain." (HR. Muslim, Abu Dawud, dan al-Baihaqi).
Diriwayatkan dari an-Nu'aiman bin Basyir, ia berkata: 'Suatu kali kami dalam perjalanan bersama Rasulullah saw. Salah seorang dari kami terkantuk-kantuk di atas tunggangannya, tiba-tiba ada yang menarik busur panah dari tabung orang itu. Lantas ia pun terkaget dan bangun. Seketika Rasul saw. menegur: "Tidak boleh seseorang mengagetkan seorang muslim." (HR. Ath-Thabarani dan Abu Dawud).
Padahal, konteks cerita di atas menunjukkan bahwa orang yang mengagetkan tadi bermaksud canda.
Dalam hadis lain dikatakan: "Janganlah sekali-kali seseorang di antara kalian mengambil barang saudaranya, baik dengan maksud becanda ataupun sungguh-sungguh." (HR. Ahmad, Bukhari, dan at-Tirmidzi).
4). Tidak boleh becanda dalam situasi serius, atau tertawa dalam suasana duka; sebab segala sesuatu ada saatnya, dan setiap ucapan ada tempatnya. Dan cerminan kebijaksanaan seseorang adalah ketika ia mampu meletakkan segala sesuatu dengan tepat lagi akurat.
Dalam sebuah hadis disebutkan: "Ada tiga perkara yang bila dicapkan secara serius ia berarti serius, dan jika diucapkan sambil becanda maka ia tetap berarti serius, yaitu (perkara) nikah, talak, dan pembebasan budak." (HR. Ahmad, Bukhari dan at-Tirmidzi).
Allah swt. pernah mencela orang-orang musyrik ketika mereka tertawa saat mendengarkan al-Qur'an, padahal akan jauh lebih pantas apabila mereka menangis. Yakni firman-Nya:
"Apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu tertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu lengahkan (darinya)." (QS. an-Najm [53]: 59).
Dalam ayat yang lain Allah swt. kembali mencela mereka dikarenakan tertawa mengejek serta melecehkan orang-orang yang beriman:
"Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang dahulu menertawakan orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka (orang-orang yang beriman) melintas di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya. Dan apabila kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira ria." (QS. al-Muthaffifin [83]: 31).
Allah swt. juga mencela orang-orang munafik, ketika mereka tertawa dan bersuka ria setelah berhasil tidak ikut pergi berperang pada peperangan Tabuk. Mereka menyampaikan alasan-alasan dusta agar diizinkan tinggal di Madinah. Maka Allah swt. berfirman:
"Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang), merasa gembira duduk-duduk diam sepeninggal Rasulullah. Mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah dan mereka berkata, 'Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini.' Katakanlah (Muhammad), 'Api neraka Jahannam lebih panas,' jika mereka mengetahui. Maka biarkanlah mereka tertawa sedikit dan menangis yang banyak, sebagai balasan terhadap apa yang selalu mereka perbuat." (QS. at-Taubah [9]: 82).
5). Candaan yang dilontarkan sebaiknya yang masuk akal, tidak berlebihan dan sewajarnya. Yakni, candaan yang dapat diterima oleh hati nurani dan pikiran yang sehat, sesuai dengan norma masyarakat serta tidak menodai kehormatan Allah swt. atau orang lain.
Karena Islam menolak segala sesuatu yang tidak wajar dan berlebihan dalam ibadah, terlebih prihal canda dan tawa.
Oleh sebab itu Nabi saw. pernah bersabda: "Janganlah kamu banyak tertawa, karena banyak tertawa akan mematikan hati nurani." (HR. Ibnu Majah). Jadi yang terlarang di sini adalah tawa yang terlalu banyak dan berlebihan.
Dalam sebuah riwayat, Ali bin Abi Thalib ra. berpesan: "Bumbuilah pembicaraan dengan canda sekadar kamu membumbui makanan dengan garam." Pesan ini amat bijak, di satu sisi tidak menafikan canda dan tawa, tapi di sisi lain juga ia mengingatkan bahaya canda yang berlebihan.
Kadar yang berlebihan tersebut dikhawatirkan akan melalaikan manusia dari persoalan hidup yang mesti mendapat perhatian, membuat orang-orang bodoh menjadi berani menginjak-injak harga diri, atau menyebabkan teman-teman kita menjadi marah. Boleh jadi inilah yang dimaksud oleh sabda Nabi saw.: "Janganlah kamu mendebat saudaramu atau mencandainya." (HR. At-Tirmidzi dan Bukhari), kendati dalam hadis ini terdapat kelemahan dari segi sanad.
Di sini candaan yang berlebihan disamakan dengan perdebatan, keduanya dapat membuat orang naik pitam. Sa'id bin al-'Ash pernah berpesan kepada anaknya: "Kurangilah bercanda; karena canda yang berlebihan dapat menghilangkan kebaikan dan membuat orang-orang bodoh berani menginjak-injak dirimu. Di samping itu, meninggalkan canda juga dapat menjauhkanmu dari orang-orang yang gemar mengobrol dan membuat mereka yang suka bergaul menganggapmu kaku."
Hemat kata, sebaik-baiknya perkara -sampai kapanpun- adalah yang pertengahan atau proporsional. Ini merupakan jalan dan karakter Islam yang paling dominan, serta poros keutamaan umat Islam atas umat-umat yang lain.
-Wallahu A'lam-
DAFTAR RUJUKAN
1). Al-Qardhawi, Yusuf, al-Islam wa al-Fann, Kairo: Maktabah Wahbah, Cet. V, 2012.
2). Muhammad, Zainuddin, Faidh al-Qadir, Mesir: Maktabah at-Tijariyyah al-Kubra, Cet. I, 1356 H.
3). Adz-Dzhabi, Syamsuddin Muhammad, Siyar A'lam an-Nubala', Beirut: Muassasah ar-Risalah, Cet. III, 1975.
4). Al-Qardhawi, Yusuf, Fiqh al-Lahw wa at-Tarwih, Kairo: Maktabah Wahbah, Cet. I, 2005.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H