Ada (faham) menyangkut keluarga, tentang usia perkawinan, ada dibicarakan. Tentu sekarang usia itu atau syarat sah perkawinan itu perlu ditinjau lagi; karena situasi sudah berbeda.
Guncangan Pasca Pembaharuan
... (Pembaharuan yang menghasilkan guncangan) itu artinya ada yang salah, boleh jadi dalam ide pembaharuan yang disampaikannya, (dan) boleh jadi dalam cara penyampaiannya, boleh jadi dalam cara penerapannya; karena itu pembaharuan tidak bisa dilakukan kecuali (oleh) orang yang faham. Orang yang tidak faham -apalagi dalam bidang Agama misalnya- seluk-beluk ajaran Agama, dasar-dasar Agama, hadis-hadis, dan sebagainya. Kalau yang tidak faham itu, boleh jadi bukan pembaharuan yang dilakukannya, tetapi perubahan. Kita tidak ingin ada perubahan (merubah Agama).
Ajaran Agama Ibarat Sebuah Bangunan
Saya bisa beri gambaran, Agama itu suatu bangunan, ada fondasinya (dan lain sebagainya). Rumah ini boleh jadi ada yang bocor; karena sudah tua. Saya tidak perlu merubah fondasi, saya tidak perlu merubah dinding-dinding, yang saya ubah (cukup mengganti) genteng yang bocor. Ada (pula) kayunya yang sudah tua, masih (bisakah) kita pakai kayu itu? Oh, (ternyata) tidak bisa (dipakai) lagi, (maka) kita ganti dengan kayu yang baru. Kita tidak mengubah fondasi, kita tidak mengubah bentuk, yang kita ubah hanya yang rusak.
... Kita sulit merinci ini benar atau tidak benar. Tapi prinsipnya itu tadi, selama tidak mengubah fondasi ajaran Agama, dan selama apa yang dikemukakan itu tidak bertentangan dengan apa yang diitilahkan ulama "maqashid asy-syari'ah"Â (tujuan kehadiran syariat), maka itu boleh-boleh saja, walaupun boleh jadi ide yang Anda kemukakan itu -karena lahir dari tempat di mana Anda berpijak, dan melihat pada masyarakat di mana anda hidup- tidak sejalan dengan pandangan muslim lain yang hidup pada masa lain, atau hidup semasa dengan Anda, tapi adat istiadatnya berbeda.
Tempat dan Kondisi Meniscayakan Perbedaan
Karena itu kita harus fahami bahwa perbedaan itu mutlak adanya. Islam pun dalam rinciannya bisa berbeda-beda. Islam kita di Indonesia bisa jadi beda -dalam rinciannya- dengan Islam orang Arab. Islam yang diajarkan oleh imam Abu Hanifah yang di Persia berbeda dalam sekian banyak ketetapan hukumnya dengan Islam yang diajarkan oleh Imam Syafi'i yang hidup di Mesir. Imam Syafi'i yang mengemukakan pendapat waktu dia berada di Irak berbeda dengan apa yang dikemukakannya ketika dia berada di (Mesir). Jadi, satu tokoh bisa berbeda. Bahkan, bisa jadi tergantung orangnya. Dua nabi, nabi Daud dan nabi Sulaiman, menghadapi satu kasus yang sama, ketetapan hukum mereka berbeda; karena perbedaan itu bisa lahir dari jalan fikiran seseorang.
Saya -dengan bergurau- biasa berkata begini, bulan puasa (apakah) boleh mencium isteri? Ulama menjawab, tergantung (kondisi seseorang), kalau Anda (masih) muda, anda bahaya (akan mengantar pada persetubuhan), (jadi) tidak boleh, (tapi) kalau sudah tua boleh; (karena) hasratnya berbeda.
Imam Ghazali beri contoh, dua orang datang kepada beliau (lantas) bertanya, bolehkan saya berenang? Yang satu dia (al-Ghazali) katakan, kamu tidak (boleh), (dan yang satu lagi dia katakan) kamu boleh, pada saat yang sama. Kenapa? Kamu pandai berenang, (maka) boleh, (dan) ini tidak pandai berenang, (maka tidak boleh).
Jadi, ketetapan hukum bisa berbeda dalam suatu waktu akibat perbedaan orang yang bertanya. Seperti dokter men-treatment (pasiennya). Dan dokter bisa mengubah obatnya kan? (Misal, seorang dokter berkata kepada salah seorang pasien), oh, keadaanmu sudah begini (baik) sekarang, (maka) saya ubah, saya kurangi (kadar obatnya). (Dan ketika dia berkata pada pasien lain) keadaanmu belum baik, (maka) saya perlu tambah. Itu hukum.