Mohon tunggu...
Fahrul Rizal bin Iskandar
Fahrul Rizal bin Iskandar Mohon Tunggu... Administrasi - Peminat Sejarah Kuno

Dilahirkan dan menyelesaikan pendidikan sampai lulus SMA di Banda Aceh, melanjutkan pendidikan S1 Teknik Perminyakan di Yogyakarta kemudian memperoleh kesempatan kembali ke Banda Aceh untuk menyelesaikan S2 Ilmu Ekonomi dengan beasiswa Bappenas. Peminat sejarah peradaban manusia, memiliki perhatian khusus pada sejarah peradaban Islam dan Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Memimpikan Layanan Paripurna di Hari Air Sedunia

21 Maret 2019   22:21 Diperbarui: 21 Maret 2019   23:15 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pinto Khop, bagian Keraton Darud Dunya yang masih tersisa. Foto: instagram.com/irani_john_kapoor

Hari Air se-Dunia (World Day for Water) yang diperingati setiap tanggal 22 Maret mulai dikenal setelah dicetuskan pada Sidang Umum PBB ke-47 tanggal 22 Desember 1992 di Rio de Janeiro, Brasil. 

Khusus pada tahun 2019 ini, tema yang diangkat adalah "Leaving No One Behind" atau bila ditranformasikan dalam bahasa kita kurang lebih menjadi: "Mewujudkan Akses Air yang Paripurna". 

Tafsiran dari tema tersebut kiranya adalah menggambarkan keinginan masyarakat global untuk menjaga ketersediaan air bagi seluruh makhluk hidup.

Tingginya curah hujan yang berdampak pada melimpah ruahnya ketersediaan air di musim-musim tertentu biasanya akan menimbulkan masalah ketika musim kemarau. 

Hal ini diantaranya disebabkan oleh rendahnya kemampuan tanah untuk menyerap air permukaan sebagai dampak dari berkurangnya vegetasi hutan di wilayah-wilayah padat penduduk.

Catatan sejarah negeri-negeri nusantara menggambarkan bahwa akses terhadap layanan air yang berkualitas itu tidak selalu merata atau yang dalam istilah birokrasi sekarang disebut paripurna. 

Diantaranya digambarkan oleh keadaan masyarakat disekitar Keraton Surosowan, Banten, pada awal abad ke-18 silam. Ketika itu keluarga keraton mendapatkan suplai air bersih dari hasil penyaringan air Danau Tasik Ardi, sedangkan masyarakat diluar keraton terpaksa cukup puas dengan menggunakan air sumur.

Tasik Ardi, Banten, tahun 1933. Foto: Tropenmuseuom/commons.wikimedia.org
Tasik Ardi, Banten, tahun 1933. Foto: Tropenmuseuom/commons.wikimedia.org
Tak terkecuali di Banten, masyarakat yang hidup di pusat pemerintahan Kesultanan Aceh pun bernasib sama ketika itu. Ketika warga Dalam Keraton Darud Dunya menikmati segarnya air bersih dari aliran sungai buatan Krueng Daroy, masyarakat disekitarnya harus bergantung pada air sumur yang dangkal namun terasa agak asin bila musim kemarau tiba.

Mungkin kondisi saat itu adalah lumrah saja mengkonsumsi air sumur yang rentan terkontaminasi bakteri berbahaya bagi kesehatan. Tapi berkaca pada bukti sejarah tentang bagaimana tragisnya akhir hayat Sultan Mahmudsyah yang mangkat pada  tahun 1874, pahlawan rakyat Aceh itu terpaksa menyerah pada penyakit kolera yang dideritanya. Padahal sang Sultan baru saja memenangkan peperangan melawan invasi Belanda dengan hasil yang tak tangung-tanggung, yaitu tewasnya Mayor Jenderal Kohler, sang panglima ekspedisi tentara KNIL itu.

Mangkatnya Sultan Mahmudsyah tercatat pada tanggal 20an Januari ketika beliau menempati bivak diluar keraton bersama para prajurit setia yang mendampinginya. Tampaknya metabolisme tubuh sang Sultan belum adaptif dengan air minum di luar keraton, kontan saja kuman penyakit yang mendiami air minum tersebut menjadi sebab dirinya terjangkiti sakit perut parah yang berujung pada kematian.

Area Persawahan Gampong Gani, Aceh Besar. Foto: instagram.com/irani_john_kapoor
Area Persawahan Gampong Gani, Aceh Besar. Foto: instagram.com/irani_john_kapoor
Warisan pengelolaan air untuk kepentingan umum dari para Sultan terdahulu untuk masyarakat Aceh hingga saat ini adalah institusi Keujruen Blang. Walaupun sekarang telah ada dinas pengairan yang bertugas memastikan ketersediaan air bagi pertanian melalui sistem irigasi, Keujruen Blang sebagai lembaga adat masih berperan penting dalam pembagian jatah air bagi pertanian modern hingga sekarang.

Menjejaki tahun-tahun sebelum abad ke-16, penguasa tanah jawa dari Kerajaan Majapahit juga sangat memperhatikan urusan pembagian air bagi rakyatnya. Penguasa Majapahit membangun sejumlah  fasilitas waduk, embung, sungai buatan, drainase, kolam, dan sumur-sumur. Petugas pengelola air pun yang disebut 'huluair' dibentuk khusus oleh para raja Majapahit waktu itu.

Bendungan Kamijori, Bantul, Yogyakarta. Foto: instagram.com/beentuhasan
Bendungan Kamijori, Bantul, Yogyakarta. Foto: instagram.com/beentuhasan
Wajar saja bila Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PUPR Hari Suprayogi sebagaimana yang diwartakan beberapa hari yang lalu mengatakan peringatan Hari Air se-Dunia dimaksudkan untuk menegaskan kembali bahwa pemecahan masalah terkait air tidak dapat diselesaikan hanya melalui pembangunan infrastruktur oleh pemerintah, seperti program pembangunan 65 bendungan, irigasi, instalasi pengelolaan air limbah (IPAL), sistem penyediaan air minum (SPAM) yang dikerjakan Kementerian PUPR.

Keterlibatan masyarakat, akademisi, dan pihak swasta sangat menentukan keberhasilan pemerintah mewujudkan impian layanan akses air yang paripurna. Bila dahulunya ada 'kejruen blang' ataupun 'huluair' yang mendukung kesuksesan pemerintah maka sekarang pun kepedulian masyarakat umum untuk menjaga kelestarian lingkungan juga merupakan penentu kesuksesan cita-cita layanan akses air yang paripurna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun