Di Gampong Peulanggahan, Kecamatan Kuta Raja, Banda Aceh, masih tersisa bangunan mesjid yang arsitekturnya tetap mempertahankan nuansa orisinilnya, yaitu Mesjid Teungku Dianjong.
Sangat jarang bisa didapati mesjid dengan atap bertingkat khas Aceh sejak Belanda menginvasi Kesultanan Aceh yang lalu mempopulerkan konstruksi atap kubah ketika membangun kembali Mesjid Raya Baiturrahman.
Dari nama dan istilah yang terkait dengan mesjid tua ini maka diketahuilah alasan mengapa Aceh digelari Serambi Mekah.
Konon, seorang ulama muda dari Yaman yang bernama Sayyid Abu Bakar tiba di Aceh pada masa Pocut Bangta dinobatkan sebagai Sultan Aceh ke-25 yang bergelar Mahmudsyah I (berkuasa 1760-1781).
Ditempatinya sebuah lembah dipinggiran sungai yang diapit oleh perkampungan para pendatang. Penduduk keturunan Jawa menempati Gampong Jawa pada satu sisi, sedangkan sisi lainnya ada keturunan India di Gampong Pande. Diseberang sungai juga ada penduduk etnis Tionghoa yang mendiami Gampong Peunayong.
Bahkan kabarnya diantara mereka ada yang kemudian menjadi guru diberbagai bidang ilmu yang tersebar hingga ke Semenanjung Malaya (Malaysia, Thailand, hingga Sabah, Serawak dan Brunei Darussalam serta wilayah lainnya di Kalimantan saat ini).
Banyaklah para calon jamaah haji dari negeri-negeri Semenanjung Malaya yang kemudian menyinggahi terlebih dahulu Mesjid Teungku Dianjong sebelum melangkah ke tanah suci. Mereka mengharapkan bimbingan dari sang ulama sebagai wujud ikhtiarnya demi mendapatkan haji yang mabrur.