Di Gampong Peulanggahan, Kecamatan Kuta Raja, Banda Aceh, masih tersisa bangunan mesjid yang arsitekturnya tetap mempertahankan nuansa orisinilnya, yaitu Mesjid Teungku Dianjong.
Sangat jarang bisa didapati mesjid dengan atap bertingkat khas Aceh sejak Belanda menginvasi Kesultanan Aceh yang lalu mempopulerkan konstruksi atap kubah ketika membangun kembali Mesjid Raya Baiturrahman.
Dari nama dan istilah yang terkait dengan mesjid tua ini maka diketahuilah alasan mengapa Aceh digelari Serambi Mekah.
Konon, seorang ulama muda dari Yaman yang bernama Sayyid Abu Bakar tiba di Aceh pada masa Pocut Bangta dinobatkan sebagai Sultan Aceh ke-25 yang bergelar Mahmudsyah I (berkuasa 1760-1781).
Sejarah mesjid pada prasasti modern (dokumen pribadi)
Beliau kemudian dinikahkan dengan putri dari salah seorang pejabat kesultanan, dan ketika masih menempati rumoh ajong (ajung/bilik khusus bagi pengantin baru) sudah mulai mengajarkan ilmu agama khususnya bagi anak-anak muda di sekitar kampung istrinya di Mukim Uleekareng.
Monumen Korban Tsunami 26 Desember 2004 disisi Timur Laut Mesjid (dokumen pribadi)
Karena keilmuannya yang mumpuni dan karakternya yang berwibawa maka tersohorlah nama Sayyid Abu Bakar, sebagai kebiasaan masyarakat Aceh yang suka memberi lakap (gelar khusus) bagi sosok idolanya, dipanggillah beliau dengan sebutan Teungku Dianjong. Sebagai pembawa kenangan bahwa sejak masih menempati rumoh ajong selaku pengantin baru pun beliau tidak pernah absen dari tugasnya sebagai seorang pendidik.
Sisi selatan mesjid yang rimbun (dokumen pribadi)
Setelah berlalu satu atau dua tahun sebagaimana adat istiadat di Aceh, barulah Teungku Dianjong pindah dari rumah mertuanya untuk tinggal terpisah. Takdir ilahi mengantarkan beliau ke muara Krueng Aceh (Sungai Aceh).
Ditempatinya sebuah lembah dipinggiran sungai yang diapit oleh perkampungan para pendatang. Penduduk keturunan Jawa menempati Gampong Jawa pada satu sisi, sedangkan sisi lainnya ada keturunan India di Gampong Pande. Diseberang sungai juga ada penduduk etnis Tionghoa yang mendiami Gampong Peunayong.
Peta lokasi mesjid via GoogleMap
Lambat laun sebagai buah ketekunan beliau, banyak para pemuda yang kemudian berhasil terdidik sebagai pribadi yang juga berwibawa dan bermanfaat bagi khalayak.Â
Bahkan kabarnya diantara mereka ada yang kemudian menjadi guru diberbagai bidang ilmu yang tersebar hingga ke Semenanjung Malaya (Malaysia, Thailand, hingga Sabah, Serawak dan Brunei Darussalam serta wilayah lainnya di Kalimantan saat ini).
Banyaklah para calon jamaah haji dari negeri-negeri Semenanjung Malaya yang kemudian menyinggahi terlebih dahulu Mesjid Teungku Dianjong sebelum melangkah ke tanah suci. Mereka mengharapkan bimbingan dari sang ulama sebagai wujud ikhtiarnya demi mendapatkan haji yang mabrur.
Dari tradisi persinggahan sementara inilah kemudian wilayah Mesjid Teungku Dianjong disebut sebagai Peulanggahan, yang artinya tempat persinggahan dalam istilah Aceh. Dari situ pula kemudian muncul sebutan Serambi Mekah bagi Aceh oleh penduduk semenanjung. Serambi yang artinya laksana pintu masuk ke tanah suci Mekah, yang memiliki Peulanggahan di dalam Kuta Raja (benteng para raja).
Tugu Tsunami No 40 (dokumen pribadi)
Nama-nama warga Peulanggahan yang menjadi korban bencana tsunami (dokumen pribadi)
Bencana tsunami pada bulan desember tahun 2004 membuat mesjid ini rata dengan tanah. Kemudian ketika direnovasi masyarakat setempat tetap mempertahankan arsitektur orisinilnya. Sudah sepatutnya memang karena bila tempat bersejarah telah dimodernisasi maka nilai-nilai masa lampaunya akan sulit diresapi oleh generasi saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Sosbud Selengkapnya