Mohon tunggu...
Fahrul Rizal bin Iskandar
Fahrul Rizal bin Iskandar Mohon Tunggu... Administrasi - Peminat Sejarah Kuno

Dilahirkan dan menyelesaikan pendidikan sampai lulus SMA di Banda Aceh, melanjutkan pendidikan S1 Teknik Perminyakan di Yogyakarta kemudian memperoleh kesempatan kembali ke Banda Aceh untuk menyelesaikan S2 Ilmu Ekonomi dengan beasiswa Bappenas. Peminat sejarah peradaban manusia, memiliki perhatian khusus pada sejarah peradaban Islam dan Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menepis Fobia Dwifungsi ABRI dalam Rencana Restrukturisasi TNI

18 Februari 2019   15:54 Diperbarui: 18 Februari 2019   16:03 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti yang diberitakan bahwa Presiden Joko Widodo telah memastikan akan melakukan restrukturisasi TNI yang didalamnya termasuk rencana untuk membuka peluang bagi perwira TNI untuk menduduki jabatan di kementerian atau lembaga yang membutuhkan.

Sebelumnya juga telah wartakan, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengutarakan bahwa salah satu jalan keluar atas persoalan ratusan perwira tinggi dan perwira menengah tanpa jabatan struktural adalah melalui revisi Undang Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI khususnya Pasal 47. 

Kontan saja kemudian muncul penolakan terhadap rencana Restrukturisasi TNI ini yang lalu dikait-kaitkan dengan kembalinya doktrin Dwifungsi ABRI era Orde Baru.

Bahkan di antara alasan yang dikemukakan oleh pihak penentang rencana tersebut adalah karena Restrukturisasi TNI itu dianggap bertentangan dengan 3 dokumen negara yang menolak dwifungsi ABRI, yaitu: TAP MPR RI No 10 tahun 1998, TAP MPR No 6 tahun 2000, dan TAP MPR No 7 tahun 2000.

Hal ini menurut pribadi penulis menjadi menarik untuk dikaji lebih lanjut karena setelah terbit Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR RI) merupakan jenis peraturan perundang undangan yang hierarkinya hanya satu tingkat dibawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

Secara logika TAP MPR RI harus menjadi rujukan dalam pembentukan serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya seperti UU/Perpu, PP, Perpres, dan Perda. Artinya, apabila benar rencana Restrukturisasi TNI itu bertentangan dengan TAP MPR RI yang dimaksud maka semakin kecil pula kemungkinan untuk melakukan revisi UU TNI agar perwira TNI dapat menduduki jabatan di kementerian atau lembaga yang membutuhkan.

Untuk itu kiranya perlu dibaca kembali bersama penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf (b) UU 12 Tahun 2011 tersebut: Yang dimaksud dengan "Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat" adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.

Berdasarkan Pasal 6 Ayat (89) TAP MPR RI No 1 Tahun 2003, ternyata satu dari tiga TAP MPR RI yang disinggungkan dengan Restrukturisasi TNI merupakan TAP MPR yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan; yaitu: TAP MPR RI No 10 Tahun 1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.

Adapun Pasal 4 ayat (6) mengatur bahwa TAP MPR RI No 6 Tahun 2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia berlaku sampai terbentuknya undang undang yang terkait.

Pada ayat berikutnya ditetapkan bahwa TAP MPR RI No 7 Tahun 2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia berlaku sampai terbentuknya undang-undang yang terkait dengan penyempurnaan Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 10 ayat (2) dari Ketetapan tersebut yang disesuaikan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Otomatis ketika selesainya pembentukan UU 34 Tahun 2004 tentang TNI maka dengan sendirinya TAP MPR RI No 6 dan No 7 Tahun 2000 tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi.

Oleh sebab itu maka wajar apabila tafsiran tentang rencana Restrukturisasi TNI yang seakan-akan berbenturan dengan Ketetapan MPR RI sebagai aturan dasar negara disebut sebagai manifestasi dari fobia dwifungsi ABRI akibat dari pengalaman masa lalu.

Restrukturisasi TNI dan kesempatan bagi perwira TNI untuk menduduki jabatan di kementerian atau lembaga yang membutuhkan sama sekali tidak terkait dengan doktrin dwifungsi ABRI. Karena rencana ini sejatinya dimaksudkan untuk menyalurkan perwira TNI yang memiliki kompetensi tertentu keluar struktur TNI agar dapat memperkuat kementerian atau lembaga tersebut. Sebelum persoalan ini mencuat kepermukaan pun sebenarnya payung hukum tetang hal tersebut sudah ada dan merupakan produk era reformasi. Kiranya kita tidak perlu membenturkan tujuan reformasi dengan agenda Restrukturisasi TNI.

Berpedoman pada Pasal 32 ayat (1), Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2010 tentang Administrasi Prajurit Tentara Nasional Indonesia, yaitu: Jabatan di luar struktur TNI pada instansi sipil yang dapat diduduki oleh Prajurit aktif adalah jabatan pada kantor yang membidangi Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam), Pertahanan Negara, Sekretariat Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung, serta instansi lain yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.

Namun demikian, PP No 39 Tahun 2010 sepatutnya sudah cukup menjadi dasar untuk menjalankan rencana Restrukturisasi TNI tanpa perlu kiranya menunggu apakah revisi UU TNI itu diterima atau ditolak. 

Sepanjang berpedoman pada tata cara pembentukan peraturan perundang undangan, pemerintah dapat menetapkan jenis instansi lain yang membutuhkan keahlian tertentu yang dimiliki oleh perwira TNI untuk kemudian dapat diduduki oleh Prajurit Aktif.

Sisi positif dari kekaryaan TNI di luar struktur TNI (sipil) bagi kementerian atau lembaga/instansi lainnya tentu dari penghematan biaya rekrutmen dan pengembangan SDM. Kemudian masyarakat umum pun akan merasakan manfaatnya ketika kehadiran anggota TNI di kementerian atau lembaga tersebut yang mampu meningkatkan kinerja organisasi yang dipimpinnya. Hal ini akan terwujud apabila penempatan anggota TNI benar-benar dilakukan dengan memperhatikan rekam jejak yang jelas sesuai dengan kebutuhan kementerian/lembaga/instansi yang dimaksud.

Jadi kekaryaan TNI pun tetap terbatas pada sektor yang membutuhkan dan selaras dengan keahlian dan teknologi kemiliteran, misalnya terkait dengan teknologi survei dan pemetaan, tentu sangat memungkinkan bagi para perwira topografi TNI untuk dikaryakan pada kementerian/lembaga/instansi lainnya yang bertugas melakukan survei dan pemetaan sehingga produk-produk topografi yang dihasilkan dapat akurat dan integrasi antara satu dengan lain. 

Semoga proses Restrukturisasi TNI dapat berjalan sebagaimana mestinya serta dapat benar-benar membuktikan bahwa momok dwifungsi ABRI itu telah lenyap seiring dengan lenyapnya Orde Baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun