Mohon tunggu...
Fahrul Rizal bin Iskandar
Fahrul Rizal bin Iskandar Mohon Tunggu... Administrasi - Peminat Sejarah Kuno

Dilahirkan dan menyelesaikan pendidikan sampai lulus SMA di Banda Aceh, melanjutkan pendidikan S1 Teknik Perminyakan di Yogyakarta kemudian memperoleh kesempatan kembali ke Banda Aceh untuk menyelesaikan S2 Ilmu Ekonomi dengan beasiswa Bappenas. Peminat sejarah peradaban manusia, memiliki perhatian khusus pada sejarah peradaban Islam dan Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pasukan Pelukis: Takdir Terkini Lapangan Blang Padang

4 Februari 2019   14:45 Diperbarui: 4 Februari 2019   15:13 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret Blang Padang Pasca Tsunami tahun 2004 | Sumber: https://mymoen.files.wordpress.com

Pat ujeun hana pirang? Pat prang tan reda? Adakah hujan yang tak pernah reda? Adakah perang yang tak pernah berhenti? Itulah salah satu peribahasa orang Aceh yang pernah diungkapkan oleh Bapak Hamid Awaluddin, mantan Menteri Hukum dan HAM dalam Kabinet Indonesia Bersatu, sewaktu penekenan kesepakatan perdamaian MoU Helsinki di Finlandia.

Ungkapan itu dapat dimaknai sebagai ajakan untuk terus berpikir positif karena setiap keadaan pasti akan berubah. Jangan terlena ketika diatas, dan jangan putus asa ketika dibawah.

Setiap masa ada kisahnya, setiap orang ada gilirannya. Setelah kesempitan akan ada kemudahan, setelah kemudahaan pun akan ada kesempitan.

Dan itulah yang tampak pada tampilan alun-alun kota Banda Aceh, Blang Padang di sore hari, khususnya lagi pada hari ahad setiap pekannya. Apabila mesin waktu diputar mundur hingga bulan April 1873, maka kita akan menyaksikan lebih dari 3000 tentara Belanda tunggang langgang membawa lari jasad Mayor Jenderal Johan Harmen Rudolf Khler.

Sang Jenderal terkena peluru penembak jitu pasukan Aceh ketika hendak menyerbu Mesjid Raya Baiturrahman yang disangkanya Istana Sultan Aceh. Blang Padang ketika itu menjadi saksi akan kepahlawanan pejuang Aceh dalam mempertahankan tanah airnya.

Ilustrasi Suasana Pertempuran di sekitar Blang Padang tahun 1873 | Sumber: https://upload.wikimedia.org
Ilustrasi Suasana Pertempuran di sekitar Blang Padang tahun 1873 | Sumber: https://upload.wikimedia.org
Kemudian bila menengok pada tahun 2004, tepatnya tanggal 26 Desember, Blang Padang menjadi saksi akan dahsyatnya musibah tsunami yang menerpa Banda Aceh ketika itu. Potret Blang Padang setelah disapu gelombang raksasa itu sangat jauh berbeda dengan keadaannya sekarang.

Potret Blang Padang Pasca Tsunami tahun 2004 | Sumber: https://mymoen.files.wordpress.com
Potret Blang Padang Pasca Tsunami tahun 2004 | Sumber: https://mymoen.files.wordpress.com
Sejalan dengan makna peribahasa yang sebutkan pada permulaan tulisan ini, wajah Blang Padang kini telah berganti dan menyesuaikan dengan kebutuhan zaman.

Seiring dengan kebutuhan akan hiburan murah bagi keluarga dengan ekonomi menengah di Banda Aceh, maka para pengusaha yang jeli akan kesempatan bisnis ini memanfaatkannya sebagai 'modus' jasa penyewaan perangkat mewarnai.

Bukankah aktifitas mewarnai merupakan kegemaran anak-anak usia kanak-kanak hingga sekolah dasar? Bahkan tak jarang juga kakak-kakak dan ayah ibu mereka yang ikut 'terprovokasi' untuk mewarnai bersama.

Persiapan Melukis (Foto: Dokumen Pribadi)
Persiapan Melukis (Foto: Dokumen Pribadi)
Bagi anggota keluarga yang kelelahan di akhir pekan pun tak jadi penghalang untuk menyambangi Blang Padang di sore hari. Hanya bermodal tikar karet murah meriah sudah dapat terlelap dibawah rimbunnya bayang-bayang pepohonan yang menambah kesyahduan tidurnya.

Tak ketinggalan para pedagang asongan yang menjajakan Mie Aceh, kacang-kacangan dan telur puyuh rebus ikut mencari peruntungan dari keramainan ini.

Diantara Para Penunggu Setia (Foto: Dokumen Pribadi)
Diantara Para Penunggu Setia (Foto: Dokumen Pribadi)
Begitulah gambaran tentang Blang Padang bila dilihat dari suratan takdir yang telah dilaluinya. Takdir terkininya dia dipenuhi oleh pasukan pelukis setelah sebelumnya dijejaki pasukan Belanda.

Demikian pula sepatutnya kita sebagai manusia; baik sebagai orang tua, atau sebagai anak berbakti maupun anak bangsa, tidak perlu terlalu dalam berkeluh kesah dengan penggalan kehidupan yang sedang kita jalani.

Suasana Parkir Kendaraan yang Padat Berdesakan (Foto: Dokumen Pribadi)
Suasana Parkir Kendaraan yang Padat Berdesakan (Foto: Dokumen Pribadi)
Walau telah menjadi fitrah bahwa manusia itu memang gemar berkeluh kesah, tetapi tiada kemalangan yang tidak berganti dengan kesenangan. Dan tiada kesenangan kecuali akan ada pula akhirnya.

Hadapi kehidupan dengan hati yang lapang, layaknya lapangan Blang Padang yang selalu bersedia menampung harapan, keceriaan, persaudaraan, dan bahkan musibah serta kecamuk perang.

Selalu berpikir positif dalam menjalani penggalan peristiwa kehidupan karena nasib masa depan itu tiada seorang pun mampu menerka pasti hingga tiba waktu kejadiannya. Jangan-jangan kehidupan yang sedang kita keluhkan adalah sesuatu yang sedang diimpikan orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun