Mohon tunggu...
Fahrul Muhammad
Fahrul Muhammad Mohon Tunggu... Sejarawan - Pemuda

Seorang pemimpi yang hanya ingin bahagia. Kadang suka nulis juga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Laki-laki Muslim dan Gerakan Feminisme

6 April 2020   20:57 Diperbarui: 6 April 2020   21:12 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak bisa dipungkiri saat ini prinsip majority wins masih sangat kental di masyarakat negara kita. Bukan hanya tentang kaum minoritas yang tertindas, tetapi permasalahan gender. Perempuan, masih dianggap minoritas, selalu menjadi  korban yang dirugikan dari perlakuan semena-mena para laki-laki.

Mulai dari catcalling (digoda atau disiul-siul saat di jalan), kekerasan dan pelecahan seksual, perkosaan, hingga pembunuhan karena "cinta", "benci", atau "nafsu". Bahkan yang paling marak terjadi adalah korban dalam rumah tangga sendiri. Mungkin dari sinilah anggapan feminisme membenci pria. Padahal, hal itu jelas lah salah.

Perlu diketahui, feminisme tidak sama dengan emansipasi, kita harus bisa memahami hal ini. Jika emansipasi diartikan sebagai pandangan yang mengusung peran serta wanita di ruang publik. Maka sesungguhnya feminisme lebih dari itu.

Ide feminisme selalu dikampanyekan oleh sebagian besar kaum perempuan. Mereka aktif berjuang untuk menghapuskan diskriminasi dan penindasan yang dialamatkan kepada  perempuan. Kaum perempuan sering mendapat anggapan kaum rendahan dan termajinalkan dari kehidupan publik.

Angin segar bagi kaum feminisme adalah ketika program pemberdayaan perempuan yaitu Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG)  yang digagas oleh Barat, diterima sebagai solusi dalam mengatasi problematika perempuan di berbagai negeri Muslim tak terkecuali Indonesia.

Dalam perkembangannya, pejuang gender dan aktifis feminis kerap menuding Islam sebagai agama yang "menjajah" kebebasan perempuan. Berbagai produk hukum Islam pun yang dijadikan Undang-Undang dan Peraturan mereka gugat.

Beberapa pasal dalam UU Perkawinan, UU PPLN (Perlindungan dan Penempatan Pekerja Luar Negeri), UU Kesetaraan dan Keadilan Gender, UU Kekerasan Seksual, dan UU Kesejahteraan Sosial mereka gugat pada tahun 2016 silam dengan alasan belum memperhatikan aspek keadilan gender.

Tetapi, anggapan bahwa Islam mencegah feminisme sesungguhnya salah. Karena ajaran Islam yang dibawakan oleh Nabi Muhammad SAW sama sekali tidak merendahkan martabat perempuan. 

Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW tidak datang untuk mengungkung dan memenjarakan mereka dalam sel-sel penjara imajiner di luar batas kemanusiaan.

Islam justru sangat memuliakan perempuan. Menempatkan kaum perempuan  sewajarnya manusia bukan barang dagangan, apalagi binatang. Islam juga mendorong mereka untuk ikut berpartisipasi dalam ruang lingkup publik yang lebih luas seperti halnya laki-laki.

Islam datang saat kaum perempuan di Jazirah Arab benar-benar mengalami keterpurukan. Anak yang terlahir perempuan akan di kubur hidup-hidup dan dianggap aib bagi keluarga. Wanita diperlakukan hanya sebatas pelayan. 

Saat itu lah, Nabi Muhammad SAW mengangkat dan memuliakan perempuan. Bahkan, Nabi Muhammad SAW mengajarkan kita secara tidak langsung tentang feminisme.

Laki-laki Muslim dalam Gerakan Feminisme

Mungkin tanpa kita sadari, diri kita adalah seorang misoginis. Bukan hanya kita, tetapi  banyak orang di dunia ini. Dengan belajar tentang feminis, kita bisa meraih kehidupan yang seimbang tanpa harus memandang rendah kaum perempuan. Jika demikian, kemaslahatan ummat dapat terwujud.

Misoginis secara sederhana merupakan sikap merendahkan perempuan. Dalam sistem sosial patriarki, hal ini sangat mudah dijumpai. Lelaki menjadi makhluk dominan yang menghentikan jalan terhadap perempuan dalam banyak hal.

Meletakkan perempuan hanya di dalam ruang privat, membatasi perempuan dalam kepemimpinan, dan contoh lain sebagainya yang masih terjadi sebagai bentuk praktik misoginisme, baik disadari ataupun tidak.

Sayangnya kita terlanjur antipati terhadap feminisme karena istilah ini muncul dari Barat. Teori-teori feminisme pun disebut tidak cocok untuk diterapkan di negara basic budayanya religius seperti Indonesia.

Liberal, kelewat batas dan norma, tidak patuh pada takdir, dan banyak sebutan bagi gerakan feminisme. Padahal secara praktik, feminisme merupakan sebuah gerakan yang sudah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.

Feminisme memperjuangkan kesetaraan. Secara kodrat, lelaki dan perempuan diciptakan berbeda. Namun kita harus bisa dibedakan mana yang masuk wilayah budaya dan mana yang memang hanya bisa dijalankan perannya oleh lelaki atau perempuan karena struktur tubuh yang berbeda.

Misalnya, menyusui. Hal ini memang khusus bisa dilakukan oleh perempuan. Tubuh perempuan memungkinkan untuk menjalankan fungsi ini. Tetapi mengasuh anak tentu bukan kewajiban perempuan. Hal ini bisa juga dilakukan oleh lelaki.

Contoh lain adalah akses pendidikan dan ekonomi. Apakah perempuan boleh kaya dan pintar? Jika perempuan kaya dan pintar apakah ada lelaki yang berani mendekatinya? Tentu saja boleh. Ketika menikahi Sayyidah Khadijah, Nabi Muhammad SAW tidak merasa inferior karena Khadijah merupakan seorang perempuan cerdas dan kaya raya.

Hanya saja struktur budaya kita memang sangat patriarkis. Yang mengamini bukan hanya lelaki, tetapi sebagian perempuan masih menganggap dirinya makhluk yang lemah yang butuh dilindungi dan dijaga. 

Struktur yang sudah sedemikian lama terbentuk ini memang butuh waktu untuk dibongkar. Bahkan pada jaman dulu perempuan jawa memang harus patuh dan nrimo.

Kita bisa belajar bagaimana keluarga Nabi Muhammad SAW membagi peranan keluarga. Dalam banyak hadis diceritakan Nabi Muhammad mencuci baju sendiri, memasak, dan mengajak diskusi istri-istrinya. 

Bahkan sayyidah Aisyah RA merupakan salah seorang periwayat hadis terbesar. Sementara banyak di keluarga sekitar kita masih terbiasa dengan membebankan hal-hal domestik pada perempuan. Jika ada lelaki yang mengambil peran ini disebut sebagai lelaki lemah yang tidak berwibawa.

Sementara menempatkan perempuan di wilayah luar rumah mengundang berbagai problematika rumah tangga seperti perselingkuhan dan lain sebagainya. Padahal perempuan bekerja dan selingkuh adalah dua hal yang tidak bisa dihubung-hubungkan.

Gerakan feminisme secara teori muncul pada tahun 1840-an (disebut gelombang pertama) di mana ada sekelompok perempuan menuntut hak politik yang sama. Dalam perkembangannya feminisme bisa juga dilakukan oleh lelaki. Apalagi di era kontemporer di mana ruang publik menjadi ranah pertarungan terbuka.

Mengenai beberapa tuntutan gerakan feminis kita bisa jadi tidak setuju, sama halnya kita tidak setuju pada suatu kebijakan politik dan sosial yang lain. Yang paling penting adalah semua dilakukan atas asas kesetaraan. Tak perlu mengopresi karena menganggap identitas gender dirinya lebih tinggi daripada yang lain.

Tapi pada dasarnya feminisme membutuhkan laki-laki. Yang mendasari adanya gerakan feminisme sebenarnya adalah ketimpangan gender dalam masyarakat, dan yang dicap dalangnya adalah hak istimewa kaum laki-laki. Maka keterlibatan laki-laki menjadi poin penting dalam feminisme. Sebagai laki-laki seharusnya kita tidak acuh akan masalah ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun