Baru-baru ini jagat media diwarnai dengan sebuah gerakan baru yang menamakan dirinya sebagai GNAI, singkatan dari Gerakan Nasional Anti Islamofobia. Gerakan ini dideklarasikan oleh salah satu politisi Ferry Juliantono yang sekaligus merupakan presidium GNAI.
Terbentuknya gerakan ini dilatarbelakangi oleh kecurigaan Islamofobia di Indonesia yang katanya semakin hari semakin buruk. Selain itu, menurut Ferry Juliantono, Islamofobia di dalam negeri semakin hari semakin memecah persatuan dan kesatuan bangsa seperti dikutip dari Politik.rmol.id
Terdapat beberapa pernyataan yang disampaikan dalam deklarasi tersebut antara lain: menetapkan Hari Anti Islamofobia di seluruh dunia, mengimbau kepada pemerintah untuk tidak menjadikan Islam sebagai sumber masalah, menghentikan stigmatisasi Islam sebagai agama yang radikal dan terakhir meminta kepada pemerintah untuk membuat Undang-undang Anti Islamofobia dan menghukum siapa saja yang takut kepada Islam.
Beberapa tokoh pun sempat menyoroti pembentukan gerakan ini, salah satunya tokoh PWNU DKI Jakarta, Taufik Damas. Menurutnya, tidak ada Islamofobia di Indonesia, seperti dalam cuitan di akun twitter miliknya.
“Tahun 86 saya masuk Madrasah Tsanawiyah di Jaksel. Siswinya tentunya berjilbab semua. Di samping ada sekolah SMP. Siswinya hampir 100% tidak berjilbab. Anak saya baru masuk SMPN. Saya sering antar jemput. Siswinya sebagian besar berjilbab seperti di MTs. Islamofobia di mana?”
Sontak cuitan tersebut mendapat beberapa komentar yang mempertanyakan Islamofobia di Indonesia “Nama anak-anak tahun 80-an.. Budi, Adi, Iwan, Agus, Dedi, Joko, Andri, Heri, Surya, Rudi, Erwin, Eko, Doni, Wati, Tina, Dina, Dewi, Sri, Rini, Shanti, Rika, Kartika, Sari, Ira, Putri, Widya, Indah, Nama anak-anak sekarang dari ortu muslim sudah nyaris pake nama islami semua kan. Islamofobia??” tulis akun @BudiArman
Tidak hanya itu, Nadirsyah Hosein alias Gus Nadir juga berpendapat senada, bahwa tidak ada yang namanya Islamofobia di Indonesia. Dia mengatakan bahwa kegiatan keagamaan di Indonesia tidak ada pelarangan, bahkan diberikan fasilitas.
Lalu tepatkah fobia yang satu ini dimusnahkan sampai harus dibuatkan peraturan perundang-undangannya?
Dalam teori human behavior (perilaku kebiasaan manusia) dikenal pendekatan kognitif, yaitu perilaku yang timbul dari ketidakseimbangan atau ketidaksesuaian pada struktur kognitif, yang dapat dihasilkan dari persepsi tentang lingkungan. Menurut Myers (1983), perilaku adalah sikap yang diekspresikan (expressed attitudes). Perilaku dengan sikap saling berinteraksi, saling mempengaruhi satu dengan yang lain.
Perilaku yang terdapat pada seseorang tidak timbul dengan sendirinya, tetapi sebagai akibat dari stimulus yang diterima oleh orang yang bersangkutan, baik stimulus dari luar maupun stimulus dalam diri. Perilaku seseorang dapat mempengaruhi dirinya sendiri, di samping itu perilaku juga berpengaruh pada lingkungan. Demikian pula lingkungan dapat mempengaruhi seseorang, begitupun sebaliknya. Oleh sebab itu, dalam perspektif psikologi, perilaku manusia (human behavior) dipandang sebagai reaksi yang dapat bersifat sederhana maupun bersifat kompleks (Bandura, 1977; Azwar, 2003).