Pameran itu dihadiri oleh Bu Tien Soeharto dan inilah awal mula keprihatinan Ibu Tien terhadap kondisi Perpustakaan Museum Pusat yang menyimpan banyak arsip bersejarah tersebut.
Besarnya minat Mastini untuk memajukan dunia Perpustakaan membuatnya diusulkan oleh Dr Robert Stevens (Dekan  Graduate School of Library) untuk melanjutkan studi S2 di University of Hawaii. Kuliahnya didukung oleh Asian Foundation berkat dukungan Prof. Harsya Bachtiar dan John O. Stutter.
Mastini menyelesaikan studinya kurang dari 2 tahun (1970-1972). Ia membuat sebuah paper usulan berjudul The Need of a National Library in Indonesia. Paper itu dibaca dengan serius oleh Prof. Selo Sumardjan dan Dr. Soedjatmoko.
Pemerintah melalui Bappenas, menugaskan Prof. Selo Sumardjan melakukan penelitian Persiapan Perpustakaan Nasional. Tim pun dibentuk dan beranggotakan Mastini Hardjoprakoso, MLS, Luwarsih Pringgoadisurjo, MA, Rusina Syahrial, MA, Sukarman Kertosedono, MLS dan Drs. Abdurrachman Surjomihardjo. Tim itu dibentuk pada tahun 1977.
Akhirnya, pada tanggal 17 Mei 1980, diresmikanlah Perpustakaan Nasional berdasarkan Keputusan Menteri 17 Mei 1980 no 0164/0/1980, namun masih dibawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Meski demikian Mastini merasa itu kurang efektif karena kondisi gedung yang kurang representatif, lantas ia berbicara dengan berbagai pihak, terutama Bu Tien Soeharto, untuk membangun gedung Perpustakaan yang lebih layak.
Singkat cerita, gedung Perpustakaan pun dibangun di Jalan Salemba Raya dan selesai pada 27 Januari 1987. Perpustakaan Nasional non Departemen pun dibuka pertama kali untuk umum pada 1 April 1989.
17 Mei 1990 Mastini Hardjoprakoso, MLS dilantik sebagai Kepala Perpustakaan Nasional dan mejabat hingga 1998. Ia menjadi Kepala Perpustakaan non Departemen alias langsung dibawah Presiden.
Salah satu pencapaian Mastini adalah diterbitkannya Undang Undang No. 4 tahun 1990 Tentang Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam, yang menurutnya sebagai pilar Perpustakaan.
Mastini mundur sebagai Kepala Perpustakaan di tahun 1998 tak lain karena kondisi politik yang ada, ia dianggap bagian dari rezim orde baru dan banyak yang mendesaknya untuk mundur.