Terakhir, saya berjumpa Lik Hir di acara diskusi Kafe Merdeka. Kala itu hadir juga beberapa mahasiswi yang sedang "magang" atau belajar mocopatan di sanggar Abdiningsun yang beliau kelola.
Itulah hari terakhir saya berjumpa Lik Hir hingga datang kabar kepergiannya.
Lik Hir, mungkin karena senioritasnya, ternyata karib di kalangan orang-orang politik. Namun beliau kerap disebut seniman mbeling karena sering melontarkan kritik-kritik pedas.
Kritik pada pemerintah, dan juga kritik pada masyarakat. Misalnya, dalam suatu sesi di Ampiteater Perpus Bung Karno yang dihadiri ratusan orang, Lik Hir mengkritik kenapa banyak anak muda yang sekarang tidak bangga dengan pakaian Jawa.
Lik Hir secara terbuka juga mengkritik Kangmas Diajeng yang menurutnya belum bisa memperkenalkan potensi wisata kota Blitar.
Hebatnya, Lik Hir juga tipe yang spontan, tahu bahwa nanti akan dimintai membaca mocopat, maka beliau mempersiapkan saat itu juga mengambil intisari dari diskusi atau perbincangan yang tengah berlangsung.
Mungkin karena senioritas, atau karena ia seorang seniman yang biasa jujur mengungkapkan sesuatu tanpa tendensi, maka kritik-kritik Lik Hir ditanggapi dengan positif.
Ternyata itu sudah menjadi style atau ciri khas Lik Hir, yang banyak orang memahaminya.
Pada 2014, Dewan Kesenian Kabupaten Blitar menganugerahinya Karti Budaya dalam bidang pelestari budaya Jawa.
###