Ketupat jadi makanan khas ketika masuk Hari Raya Idulfitri, bahkan jadi identitas dan simbol perayaan untuk Umat Islam di Indonesia. Namun ternyata, kupatan dimaknai berbeda-beda, termasuk di Blitar sendiri.
Apa itu ketupat?
Di Bali, Ketupat disebut Tipat. Sangat mudah ditemui bahkan di hari biasa. Ketupat dibuat dari anyaman daun kelapa muda atau disebutnya Janur. Dianyam sehingga menjadi kepal bersudut tujuh, ada juga yang bersudut enam.
Bagian tengahnya kosong, bagian kosong inilah yang kemudian diisi beras yang sudah dibersihkan lalu dikukus sampai matang.
Ada teknik tertentu untuk membuat ketupat, seperti volume beras agar ketupat bisa padat, juga bagian anyaman yang dibuat rapat agar beras yang jadi nasi tidak menyembul keluar.
Rasa ketupat sangat khas karena menyatu dengan aroma dan rasa janur atau daun kelapa muda. Makanan yang dikreasikan dengan seni yang menawan.
Sebagai sesaji atau jimat
Ketupat tanpa isi biasa digantung di depan rumah atau sebagai sesaji dalam beragam upacara adat. Dipilihnya Janur atau daun kelapa muda adalah filosofi bahwa Pohon Kelapa adalah pohon yang seluruh bagiannya bisa dimanfaatkan untuk kehidupan.
Pada zaman dulu, daun kelapa tua atau blarak juga kerap dijadikan atap rumah-rumah atau gubuk-gubuk sederhana yang bisa kita temui di persawahan. Punya makna mengayomi.
Daun kelapa muda atau janur tidak hanya digunakan sebagai ketupat, namun juga ketika ada pernikahan. Janur kuning melengkung di pasang di depan rumah sebagai tanda sedang ada pernikahan. Kenapa janur? Filosofinya pun hampir sama.
Untuk merayakan bulan Syawal
Konon, di era dakwah Islam pemaknaannya digeser. Namun sakralitasnya tidak berubah. Ketupat jadi makanan untuk merayakan bulan Syawal. Disajikan dalam waktu yang berbeda.
Paling banyak disajikan lebaran ke-8 sebagai penutup hari raya Idulfitri, digelar bersama-sama di Masjid atau Mushola sekaligus untuk doa dan selamatan karena telah menjalankan puasa Syawal. Biasanya puasa syawal dimulai dari lebaran ke-2 sampai ke-7 (selama enam hari).
Namun kupatan juga dilakukan sendiri, dengan cara dikirimkan ke para tetangga. Hal ini biasanya untuk pengiling iling (pengingat) untuk keluarga yang sudah meninggal sebagai pengganti ucapan minta maaf.
Kupat sendiri sering diidentifikasikan dari bahasa Jawa. Kupat/ ngaku lepat atau mengakui bahwa sebagai manusia pasti memiliki kesalahan, termasuk yang sudah meninggal dunia.
Lebih spesifik mereka yang menggelar kupatan biasanya adalah yang anggota keluarganya sudah meninggal, terutama suami, istri dan anak-anaknya.
Namun di era modern sekarang ini, ketupat sudah mengalami pergeseran makna dan dikenal hanya sebatas makanan, bahkan diperjual belikan. Tidak ada filosofi atau pemaknaan khusus selain menjadikan ketupat bagian dari hidangan khas Idulfitri.
Blitar, 18 Mei 2021
Ahmad Fahrizal Aziz
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H