Ketiga, kondisi ekonomi yang membaik. Setiap buka usaha perlu juga mempertimbangkan, siapa pembelinya?
Apakah realistis misalnya, kopi secangkir harganya 20ribu? Tentu harus mempertimbangkan kemampuan beli, atau setidaknya prioritas dari pembelinya.
Jika kafe seperti itu muncul, dan eksis, bisa jadi ekonomi memang mulai membaik.
Ada juga tren baru, yaitu banyak yang mulanya berkarir dan bekerja di Ibukota, kembali ke daerah, sambil membawa aset dan tabungannya.
Konon jumlahnya cukup signifikan, sehingga itu jadi pertimbangan untuk membangun tempat nongkrong dengan harga kelas menengah perkotaan.
-00-
Ketiga hal di atas bisa menjadi alasan kenapa tempat nongkrong di Blitar, khususnya wilayah kota, tumbuh bak jamur di musim hujan. Bahkan dalam kurun waktu sekitar 5 tahun saja.
Namun yang terpenting, di antara tumbuhnya bangunan fisik dari tempat nongkrong tersebut, perlu juga dibarengi pertumbuhan sumber daya manusia.
Harus lebih banyak melahirkan pekerja kreatif, agar momentum nongkrong tidak sekadar menghabiskan uang untuk ngopi, namun juga menghasilkan sesuatu.
Tumbuhnya budaya diskusi, agar kafe tidak terkesan sebagi tempat pacaran saja, namun juga jadi klaster pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan nonformal.
Apalagi jika dibarengi tumbuhnya kelompok literasi dan studi, kelompok penikmat buku, penulis, pecinta sejarah dan lain sebagainya.
Menarik juga jika tempat nongkrong menjadi klaster pengembangan kesenian. Selain tumbuhnya musisi atau band lokal, juga mendekatkan masyarakat pada pagelaran dongeng, monolog, pembacaan puisi hingga teater.
Kenapa demikian? Sebab ruang-ruang ini masih kurang diperhatikan. Terutama dalam kebijakan pendanaan.