Sebagaimana kota-kota lain di Indonesia, Blitar termasuk yang tengah tumbuh dan berkembang. Termasuk makin banyaknya tempat nongkrong, entah yang berbentuk kafe, angkringan, atau kedai semi resto.
Kesannya sebagai kota pensiun perlahan luntur, sebab kota pensiun lekat dengan suasana sepi, lengang, derap modernitasnya pun tak begitu masif.
Banyaknya warung, kafe, angkringan dan semacamnya mungkin dianggap biasa. Daerah lain juga terjadi, bahkan lebih marak. Itu wajar jika terjadi di Malang, Sleman, Surabaya atau daerah padat penduduk dengan jumlah kampus dan gedung industri yang bejibun.
Sedangkan Blitar, tidak masuk 2 kriteria tersebut.
Blitar tidak menjadi kota tujuan utama untuk kuliah. Warga Blitar sendiri lebih memilih kuliah atau menguliahkan anak-anaknya keluar kota, yang menurutnya lebih maju. Misalnya ke Malang.
Untuk industri, apalagi. Memang ada beberapa industri besar, namun itupun berpusat di daerah pelosok. Misalnya industri pengolahan susu sapi yang konon terbesar di Indonesia.
Lalu siapa target konsumen dari munculnya banyak tempat nongkrong tersebut?
Ini masih menjadi misteri, dan perlu riset mendalam. Namun setiap kafe, apalagi kafe jaringan, pasti sudah melakukan riset pasar terlebih dahulu sebelum membuka cabang.
Misalnya saja, pada satu kawasan yang sama, ada 3 kafe jaringan yang berdiri. Diduga ketiganya melakukan riset pasar sehingga menemukan titik strategis untuk membuka kafe di situ, yang lokasinya tak jauh dari gedung pemuda (Graha Patria) dan Masjid Attaqwa Muhammadiyah.
Titik itu jadi strategis karena berdekatan dengan alun-alun, dan titik lalu lintas yang sering dilewati orang.