Mohon tunggu...
Ahmad Fahrizal Aziz
Ahmad Fahrizal Aziz Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Blogger

Sekretaris GPMB Kab. Blitar, blog pribadi klik www.jurnalrasa.my.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Untuk apa Mendukung atau Menolak LGBT?

13 Februari 2016   19:57 Diperbarui: 13 Februari 2016   20:53 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perdebatan tentang LGBT sebenarnya belum begitu jelas, meski sudah muncul berbagai aksi dimana-mana. Ada yang menolak, ada juga yang mendukung. Yang menolak dan mendukung pun jika kita telusuri lebih jauh, kadang juga berbeda konteks. Yang menolak mengatakan bahwa LGBT berarti meniru perilaku kaum Nabi Luth. Yang mendukung, menggunakan dalil kemanusiaan berupa hak-hak prinsipil sebagai manusia.

Tapi apakah LGBT itu hanya sebatas perilaku seksual, semisal laki-laki berhubungan intim dengan lelaki, begitu pun sebaliknya, atau terjadinya proses perubahan jenis kelamin, atau seperti apa?

Sementara yang pro, seperti saudara Ulil misalkan, apakah menggunakan konteks yang sama. Kalau toh pro dalam arti adalah hak-haknya sebagai manusia, misalkan hak hidup, mendapatkan pendidikan, berkarya dan sejenisnya. Apakah pihak yang kontra pun juga akan tetap kontra jika misalkan konteks yang diambil pihak pro tidak saja dari aspek seksualitas?

Dan LGBT yang seperti apa yang di tolak? Apakah LGBT dalam bentuk komunitas, institusi, atau LGBT dalam perspektif individu? Kalau dalam perspektif individu, yang paling gampang dilihat adalah transgender, karena disitu terjadi perubahan radikal dari laki-laki ke perempuan, atau pun sebaliknya. Tapi mengetahui apakah seseorang lesbi, gay, dan apalagi biseksual, itu sangat sulit sekali. Kecuali kalau yang bersangkutan mengaku bahwa dirinya adalah LGB. Dan karena sudah banyak penolakan, maka hampir tidak mungkin orang mengaku sebagai LGB.

Psikolog pun butuh treatment khusus untuk mengetahui seseorang LGB atau bukan. Dan apalagi yang bukan psikolog? Tentu tidak mungkin kita menduga-duga, karena itu sama saja berprasangka.

Lantas, apa yang ditolak? Perilaku seksual? Kalau ini tentu saya sepakat untuk menolak. Karena sama halnya dengan perilaku zina. Dalam konteks agama dan juga negara, aspek nilai semacam ini masih sangat dijunjung. Artinya, negara Indonesia yang menjunjung tinggi Pancasila ini, juga berarti menjunjung nilai-nilai agama.

Tapi yang menjadi persoalan juga, hubungan seksual itu adalah perilaku yang sangat intim. Bahkan, melakukannya pun karena kehendak masing-masing. Sehingga, tidak bisa dan hampir tidak mungkin orang, atau bahkan negara, mengetahui dan menindak sesuatu yang intim tersebut.

Kita pun juga tidak tahu dimana dan siapa yang sekarang ini tengah melakukan hubungan seksual. Apalagi yang melakukannya di ruang privat masing-masing. Kasus pemerkosaan pun diketahui setelah pihak yang merasa menjadi korban melaporkan ke polisi, itupun atas dasar melakukan tindak kekerasan. Jika hubungan seksual yang belum legal dan tidak legal terjadi, dan kedua pihak tidak ada yang merasa menjadi korban, bagaimana orang bisa tahu?

Jadi, perdebatan seputar LGBT ini masih sangat abstrak dan serba menduga. Kecuali, kalau yang diperdebatkan adalah hal yang lebih kongkrit, misalkan pernikahan sesama jenis. Kalau itu lebih jelas dan gamblang. Dan karena kongkrit semacam itu, saya pun juga akan ikut menolak.

Tapi LGBT? Itu masih sangat abstrak. Bahkan kita seringkali mendapati waria-waria di berbagai sudut kota, atau bahkan ada beberapa publik figure yang menjadi transgender. Beberapa publik figure ini, semisal “Ibu” Dorce, bahkan diterima luas oleh masyarakat dan secara personifikatif menunjukkan diri sebagai perempuan, padahal sebelumnya dia laki-laki.

Jadi problemnya dimana, dan apa yang sesungguhnya diperdebatkan?

Seksualitas

Namun agak menarik ketika kita membahas seksualitas dalam perspektif LG (B) T. Lesbian dan Gay sudah jelas kecenderungan seksualnya dengan sesama. Kalau Biseksual, diantara keduanya. Maka agak keliru kalau ada yang bilang bahwa LGBT tidak bisa melahirkan keturunan, LGBT yang kategori Biseksual, mereka pun bisa menghamili perempuan.

Sebenarnya, dari semua perdebatan tentang penolakan LGBT, point terpenting adalah dari segi seksualitas ini. Kaum Nabi Luth dikenal sebagai kaum sadum yang kemudian menjadi idealifikasi dari perilaku sodom. Diceritakan, Nabi Luth memiliki tiga tamu laki-laki yang tampan yang ternyata adalah Malaikat yang diutus oleh Allah. Namun lelaki tampan tersebut hendak “dimangsa” oleh penduduk sekitar.

Apakah seluruh penduduk di sekitar Nabi Luth kala itu semuanya Homoseks? Kita tidak tahu. Tapi yang jelas, Nabi Luth sendiri memiliki Istri dan anak perempuan. Ketika tamu lelaki hendak “dimangsa”, Nabi Luth menyarankan agar para pemuda desa menikahi anak perempuannya. Tapi mereka menolak. Akhirnya turunlah azab. Bahkan yang mengejutkan, Istri Nabi Luth turut serta mendapatkan azab tersebut.

Kenapa laki-laki berhubungan intim dengan laki-laki, dan kenapa perempuan juga berhubungan seksual dengan perempuan? Apa yang mereka cari? Sekedar kenikmatan sesaat, atau ada tujuan lain? dan apakah hubungan seksual sesama jenis bisa memberikan kenikmatan? Pertanyaan semacam inilah yang membuat kita bingung.

Hal ini berbeda dengan misalkan, suami istri yang melakukan hubungan intim. Mungkin ada banyak alasan lain, tapi rata-rata, tujuannya adalah memiliki keturunan. Tujuan yang sangat alamiah bagi sepasang sejoli.

Dan di era digital seperti ini, sangat susah membatasi interaksi. Anda bisa temukan forum diskusi, akun facebook, group-group chat di sosmed, dll yang menjadi penghubung bagi mereka yang memiliki kecenderungan sebagai LGBT. Bahkan dengan nama dan istilah yang kerap kali tidak dipahami banyak orang. Misalkan, komunitas Yaoi. Belum lagi situs-situs yang memberikan tayangan fulgar tentang perilaku seksual, bahkan legal, seperti tayangan Gthai dari Thailand.

Apa yang kita perdebatkan? Dan apa yang seharusnya kita tolak serta bagaimana cara kita membatasi akses yang menuju kesana? Sangat susah. Ini seperti bertarung dengan bayang-bayang. Kita mungkin kaget ketika dulu muncul kasus Ryan si jagal dari Jombang. Bagaimana tidak kaget? Ryan nyatanya pernah mengenyam pendidikan di lembaga pendidikan agama. Lembaga agama dimanapun selama ini paling getol menolak LGBT.

Kita juga mungkin bingung dengan yang pro LGBT, tapi mereka menjalani hidup serba normal. Memiliki suami/istri dan juga anak-anak.

Dan perdebatan ini, semoga tidak membuat suasana semakin keruh dan kita bisa lebih jernih memandangnya. Ini seperti semacam lelucon yang dilempar ke publik. Siapa yang melempar? Kita tidak tahu. Tapi sudah sukses memancing reaksi dan ribut dimana-mana. Padahal, LGBT itu “makanan” jenis apa, juga belum jelas. (*)

Blitar, 13 Februari 2016
A Fahrizal Aziz

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun