Seksualitas
Namun agak menarik ketika kita membahas seksualitas dalam perspektif LG (B) T. Lesbian dan Gay sudah jelas kecenderungan seksualnya dengan sesama. Kalau Biseksual, diantara keduanya. Maka agak keliru kalau ada yang bilang bahwa LGBT tidak bisa melahirkan keturunan, LGBT yang kategori Biseksual, mereka pun bisa menghamili perempuan.
Sebenarnya, dari semua perdebatan tentang penolakan LGBT, point terpenting adalah dari segi seksualitas ini. Kaum Nabi Luth dikenal sebagai kaum sadum yang kemudian menjadi idealifikasi dari perilaku sodom. Diceritakan, Nabi Luth memiliki tiga tamu laki-laki yang tampan yang ternyata adalah Malaikat yang diutus oleh Allah. Namun lelaki tampan tersebut hendak “dimangsa” oleh penduduk sekitar.
Apakah seluruh penduduk di sekitar Nabi Luth kala itu semuanya Homoseks? Kita tidak tahu. Tapi yang jelas, Nabi Luth sendiri memiliki Istri dan anak perempuan. Ketika tamu lelaki hendak “dimangsa”, Nabi Luth menyarankan agar para pemuda desa menikahi anak perempuannya. Tapi mereka menolak. Akhirnya turunlah azab. Bahkan yang mengejutkan, Istri Nabi Luth turut serta mendapatkan azab tersebut.
Kenapa laki-laki berhubungan intim dengan laki-laki, dan kenapa perempuan juga berhubungan seksual dengan perempuan? Apa yang mereka cari? Sekedar kenikmatan sesaat, atau ada tujuan lain? dan apakah hubungan seksual sesama jenis bisa memberikan kenikmatan? Pertanyaan semacam inilah yang membuat kita bingung.
Hal ini berbeda dengan misalkan, suami istri yang melakukan hubungan intim. Mungkin ada banyak alasan lain, tapi rata-rata, tujuannya adalah memiliki keturunan. Tujuan yang sangat alamiah bagi sepasang sejoli.
Dan di era digital seperti ini, sangat susah membatasi interaksi. Anda bisa temukan forum diskusi, akun facebook, group-group chat di sosmed, dll yang menjadi penghubung bagi mereka yang memiliki kecenderungan sebagai LGBT. Bahkan dengan nama dan istilah yang kerap kali tidak dipahami banyak orang. Misalkan, komunitas Yaoi. Belum lagi situs-situs yang memberikan tayangan fulgar tentang perilaku seksual, bahkan legal, seperti tayangan Gthai dari Thailand.
Apa yang kita perdebatkan? Dan apa yang seharusnya kita tolak serta bagaimana cara kita membatasi akses yang menuju kesana? Sangat susah. Ini seperti bertarung dengan bayang-bayang. Kita mungkin kaget ketika dulu muncul kasus Ryan si jagal dari Jombang. Bagaimana tidak kaget? Ryan nyatanya pernah mengenyam pendidikan di lembaga pendidikan agama. Lembaga agama dimanapun selama ini paling getol menolak LGBT.
Kita juga mungkin bingung dengan yang pro LGBT, tapi mereka menjalani hidup serba normal. Memiliki suami/istri dan juga anak-anak.
Dan perdebatan ini, semoga tidak membuat suasana semakin keruh dan kita bisa lebih jernih memandangnya. Ini seperti semacam lelucon yang dilempar ke publik. Siapa yang melempar? Kita tidak tahu. Tapi sudah sukses memancing reaksi dan ribut dimana-mana. Padahal, LGBT itu “makanan” jenis apa, juga belum jelas. (*)
Blitar, 13 Februari 2016
A Fahrizal Aziz