Sesuai dengan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang menjelaskan bahwa Rumah Sakit wajib untuk mengutamakan kepentingan pasien.
Apabila Rumah Sakit melakukan penolakan terhadap pasien gawat darurat, maka Rumah Sakit sesungguhnya sudah mengabaikan apa yang diatur dalam fungsi sosialnya. Dalam fungsi sosial, Rumah Sakit harus memberikan fasilitas pelayanan bagi pasien yang tidak mampu dan pelayanan kesehatan bagi pasien yang sedang mengalami kondisi darurat tanpa dimintai uang muka terlebih dahulu.
Jika memang sudah benar terjadi penolakan pada pasien gawat darurat, maka Rumah Sakit harus memberikan pertanggungjawaban. Pemerintah juga harus memiliki andil yang besar dengan memberikan pembinaan bahkan sanksi yang tegas terhadap Rumah Sakit yang telah melakukan penolakan pasien dengan keadaan gawat darurat.
Maka dari itu, berdasarkan Kode Etik Rumah Sakit Indonesia tahun 2001 (Kodersi) yang menegaskan bahwa Rumah Sakit merupakan fasilitas pelayanan kesehatan yang mendahulukan fungsi sosialnya dan lebih mengutamakan tugas kemanusiaan tidak hanya melihat dari sisi keuntungan semata.
Seringkali dijumpai pasien gawat darurat mengalami kerugian karena buruknya pelayanan dari Rumah Sakit seperti pasien tersebut ditolak dengan alasan kamar sudah penuh atau karena pasien tersebut tidak dapat memenuhi ketentuan administrasi yang diinginkan pihak Rumah Sakit. Apabila Rumah Sakit terbukti melakukan penolakan perawatan medis untuk pasien gawat darurat maka perbuatan tersebut terdapat unsur pidana sesuai dengan Pasal 304 dan 531 KUHPidana.
Kemudian terdapat sanksi administratif sesuai Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang tentang Rumah Sakit yang isinya berupa teguran, teguran tertulis, atau denda dan pencabutan izin Rumah Sakit. Pimpinan Rumah Sakit juga harus bertanggung jawab dalam hal terjadinya penolakan perawatan medis sesuai dalam Pasal 190 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Menurut hemat penulis, berdasarkan fakta di lapangan yang menunjukkan bahwa sering terjadi penolakan pasien oleh Rumah Sakit pada saat sedang dalam kondisi gawat darurat merupakan bukti bahwa tidak diindahkannya fungsi sosial yang dimiliki oleh Rumah Sakit. Tenaga medis juga acap kali tidak sadar akan pentingnya sikap menjunjung tinggi nilai profesionalitas, anti diskriminasi, kemanusiaan dan keselamatan dari pasien terutama yang sedang dalam kondisi gawat darurat.Â
Selanjutnya, sistem administrasi yang berbelit-belit membuat pasien dan keluarga mengalami kesulitan secara bersamaan sehingga proses penanganan untuk pasien tersebut terhambat. Untuk membenahi hal-hal tersebut dibutuhkannya perubahan secara tegas dan serius dalam kinerja baik Rumah Sakit maupun tenaga medis.
Rumah Sakit wajib memerhatikan dan memberikan pelayanan kesehatan secara maksimal dan non diskriminasi terutama untuk pasien gawat darurat dan tidak mampu. Hal itu untuk mencegah terjadinya hal yang lebih buruk dan kecacatan pasien gawat darurat. Rumah Sakit harus memenuhi hak dari pasien yang sangat membutuhkan pelayanan kesehatan.
Rumah Sakit harus menjunjung tinggi fungsi sosial yang dimiliki agar tidak terjadi penolakan terhadap pasien gawat darurat. Rumah Sakit juga harus menambah jumlah tenaga medis dan tenaga kesehatan dalam rangka meningkatkan pelayanan sehingga tidak ada lagi alasan kekurangan tenaga.
Selain itu, tenaga medis maupun tenaga kesehatan juga perlu untuk meningkatkan kompetensi yang mereka miliki seperti mengikuti pendidikan tambahan, dan pelatihan. Apabila Rumah Sakit memang harus melakukan penolakan terhadap pasien gawat darurat tersebut dengan alasan kurang memadainya fasilitas atau tenaga medis, maka Rumah Sakit harus menyiapkan dengan baik Rumah Sakit rujukan untuk pasien gawat darurat itu.