Mohon tunggu...
Fahrizal Muhammad
Fahrizal Muhammad Mohon Tunggu... Dosen - Faculty Member Universitas Prasetiya Mulya

Energi Satu Titik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

PJJ, Social Distancing, dan Kehangatan Keluarga

23 Maret 2020   12:18 Diperbarui: 23 Maret 2020   12:22 1939
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi fahrizal muhammad

Kenikmatan bertemu dan belajar bersama para tunas bangsa, masa depan Indonesia, pun akhirnya terampas Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Sekolah, pesantren, dan kampus harus menghentikan aktivitas belajar mengajarnya. Siswa, mahasiswa, guru, dosen, dan seluruh civitas academika harus mengosongkan kampus yang selama ini semarak dengan kegiatan belajar mengajar. Belajar dialihkan ke rumah. Pembelajaran jarak Jauh (PJJ), sebutannya.

Inilah pengalaman pertama sepanjang hidup saya. Serangan wabah virus sampai melumpuhkan hampir seluruh sendi kehidupan. Tentu dengan intensitasnya masing-masing di beberapa daerah. Sektor pendidikan, ekonomi, keagamaan, dan sosial harus melakukan sejumlah kompromi dan penyesuaian. 

Sejumlah wilayah pun akhirnya menutup diri dan seiring dengan itu sekolah, kampus, pesantren, kantor, rumah makan, tempat hiburan, bahkan tempat ibadah melakukan kuncitara (padanan dalam bahasa Indonesia untuk istilah lockdown. Kata ini ditemukan dan dipopulerkan oleh guru dan senior saya, Ibnu Wahyudi. Matur Nuwun, Mas Iben).

Gerakan karantina pun dimulai. Kebijakan untuk work from home (WfH) diterapkan oleh sebagian besar kantor dan instansi beriringan dengan seruan dan semangat stay at home. Kesadaran dan kewaspadaan berkelindan dengan kecemasan dan kepanikan. Akhirnya, siklus, pergerakan, dan metabolisme masyarakat pun berubah. Perubahan itu pada gilirannya menuntut adaptasi yang tidak sederhana dan konsekuensi logis yang harus ditanggung oleh warga kota. Masyarakat kota memulai hari-hari yang tidak biasa dan situasi hidup yang baru. Kita mengeja suasana.

Sosial Distancing

Bermula dari pemahaman tentang cara penularan Covid-19 yang menyebutkan bahwa seseorang bisa tertular jika ia tidak sengaja menghirup percikan ludah dari bersin atau batuk penderita COVID-19. Bersamaan dengan langkanya masker dan hand sanitizer di sejumlah minimarket dan pusat perbelanjaan karena diborong oleh mereka yang "sadar" dan panik (koronorak), muncullah konsep social distancing di masyarakat.

Dari sejumlah sumber, social distancing diartikan sebagai mengurangi aktivitas di luar rumah dan menjauhi keramaian agar rantai penularan virus corona bisa terhenti. Kalau pun harus keluar rumah dan bertemu dengan orang lain, maka usahakan jaraknya tidak kurang dari satu meter. Mengapa begitu? 

Logikanya, itulah jarak minimal yang memungkinkan kita terhindar dari percikan air liur yang keluar dari batuk atau bersin seseorang yang terinfeksi Covid-19. Oleh karena itulah, pemerintah menghimbau agar siapa pun yang tengah batuk di hari-hari ini harus mengenakan masker. 

Membaca istilah social distancing, saya jadi teringat apa yang telah ditulis Edward T. Hall, seorang antropolog Amerika, dalam bukunya The Silence Language (1959). Dalam buku itu, Hall menulis tentang proxemics untuk studi tentang ruang. Hall menggambarkan hubungan manusia dalam empat macam jarak: intim, personal, sosial, dan publik. Tiap zona dibagi menjadi fase dekat dan jauh dengan perbedaan perilaku.

Mari kita bahas serba sedikit. Ketika membaca naskah ini, mari kita bayangkan konsep social distancing yang sekarang sedang ngehit. Pertama, jarak intim (intimate distance). Ini interaksi kita dengan keluarga dan orang-orang tercinta. Hall mencatat, jarak pada relasi ini kurang dari 15 cm pada fase dekat dan 15-45 cm pada fase jauh. Komunikasi dengan anggota keluarga biasanya memang tentang sesuatu yang spesial, bisa jadi rahasia. Dengan demikian, wajar bila jarak itu dicatat sedemikian dekat karena kita biasa berbicara dengan suara rendah bahkan berbisik.

Komunikasi keluarga biasanya unik dan nonverbal. Termasuk persentuhan fisik, seperti berpegangan tangan, merangkul, atau memeluk. Bukankah bahasa cinta tidak perlu kata-kata?

Kedua, jarak personal (personal distance). Inilah wilayah kerabat, sahabat, dan teman dekat. Jarak fisik yang dicatat dan ditawarkan Hall antara 45-75 cm (jarak terdekat) dan 75-120 cm untuk jarak terjauh. Hall yakin, inilah jarak ternyaman berbicara dengan mereka.

Ketiga, jarak sosial (Social Distance). Ini jarak psikologis. Kita biasanya cemas ketika melanggar batasnya. Mengapa begitu? Jarak sosial ini sebenarnya memberikan “kesepakatan” kepada kita tentang batasan sebuah kelompok. 

Oleh karena itu, rentang terdekat jarak ini (1,2-2,1 meter) cocok ketika kita  bertemu seorang kenalan, orang yang belum terlalu dikenal dan belum akrab. Sedangkan jarak terjauh (2,1-3,6 meter) umumnya terjadi pada pertemuan di kantor dengan jumlah orang lebih besar. Perkembangan teknologi komunikasi memungkinkan kita memperluas jarak sosial dengan handphone dan media sosial.

Inilah jarak yang tengah ngehit sejak Covid-19 menyerang. Orang kembali diingatkan kembali akan konsep jarak sosial tersebut. Tentu, social distancing ini lebih “serius” daripada yang ditawarkan Hall. Mengapa? Bila pelanggar batas pada konsep Hall “hanya” berisiko tidak diakui kehadirannya oleh orang atau kelompok yang didatangi; Pelanggar social distancing era Covid-19 berisiko tertular atau menularkan virus yang belum ditemukan obatnya. Ini penuh risiko. 

Konsep social distancing ala Hall hanya tawaran dan kajian intelektual, tetapi sosial distancing Covid-19 adalah sebuah keharusan kemanusiaan. Mengapa? Ini menyangkut nyawa banyak orang. Hall mencatat, jarak sosial bisa berbeda di setiap kebudayaan. Namun, untuk kasus Covid-19, nampaknya semua sepakat, jarak terdekat kita dengan orang lain seharusnya seperti yang ditawarkan Hall. Bila semua orang berusaha sekuat tenaga untuk mematuhinya, diasumsikan penyebaran Covid-19 dapat ditekan.

Keempat, jarak publik (public distance). Inilah jarak dalam rentang antara 3,6-7.5 meter (terdekat) dan 7,5 meter lebih untuk jarak terjauh. Jarak ini mengingatkan kita pada jenis komunikasi massa. Jarak ini sangat bertolak belakang dengan jarak intim. 

Bila pada jarak intim bahasa verbal nyaris tidak diperlukan, justru pada jarak publik (di fase terdekat saja) bahasa yang digunakan lebih formal dan suara yang lebih keras. Wajarlah, bila semakin dekat jarak sosial kita dengan seseorang, maka bahasa kita semakin tidak formal bahkan tidak lagi verbal. Sebaliknya, semakin jauh jarak sosial kita dengan seseorang, maka bahasa kita semakin formal dan baku.

Pembelajaran Jarak Jauh

Salah satu konsekuensi logis dari diterapkannya social distancing adalah semua pranata sosial masyarakat harus menghentikan aktivitasnya. Yang paling dulu menyambut dan membuat kebijakan itu adalah sekolah, kampus, dan pesantren. Mereka memilih untuk melakukan kegiatan belajar mengajar dari rumah. Pembelajaran jarah jauh pun akhirnya menjadi lumrah.

Ada sejumlah hal menarik. Pertama, hilangnya kesempatan bertatap muka dan kenikmatan berproses bersama. Ruang kelas kehilangan ruh dan penghuninya. Tidak ada lagi keriuhan para siswa, santri, dan mahasiswa ketika belajar.  Akhirnya, teknologi komunikasi menggantikan itu semua.

Yang mampu diselenggarakan oleh pembelajaran jarak jauh adalah proses pengajaran, sedangkan proses pendidikan nyaris hilang. Kebersamaan, kepemimpinan, belajar tanggung jawab, penumbuhan sikap empati, dan sejumlah nilai karakter lainnya tak ada lagi. Yang ada hanya tugas dan pemenuhan target kurikulum. Saya khawatir, pola komunikasi yang terbangun pun menjadi transaksional.

Kedua, kesempatan belajar dan melek teknologi komunikasi bertemu konteksnya. Pemerataan kesempatan itu terbilang massif. Mulai dari siswa SD sampai mahasiswa hingga dosen hari-hari ini mulai akrab dengan sejumlah aplikasi pembelajaran jarak jauh dari Google, seperti Classroom, Meet, Hangout, dan Zoom. Belanja paket internet pun melonjak berlipat-lipat. Lalu lintas data sebegitu banyaknya membuat tantangan tersendiri.

Tanpa disadari, akhirnya keterdesakan dan keterpaksaan ini telah memberi ruang belajar kepada sebagian besar siswa memasuki era digital yang selama ini mungkin hanya mereka dengar samar-samar. Ini hikmah menarik yang memaksa orang untuk mau belajar menggunakan seperangkat aplikasi digital sebagai sarana belajar. Sejumlah dosen “kolonial” pun akhirnya terpaksa dan terpanggil mempelajarinya juga agar proses perkuliahan berjalan dengan baik.

Ketiga, sejujurnya, guru dan dosen kehilangan kesempatan mengembangkan pembelajaran berbasis dinamika kelompok di kelas. Keterbatasan aplikasi pembelajaran jarak jauh telah mereduksi kenikmatan tersebut. Social distancing telah menempatkan setiap orang pada kondisi soliter yang semu. Kebutuhan untuk bersama dalam proses belajar direnggut dan direduksi sedemikian rupa dan digantikan dengan komunikasi digital dengan segala keterbatasannya.

Seperti apa pun kondisi ruang kelas yang mereka tinggalkan, tetapi sesungguhnya di situlah ruang ekspresi yang jujur atas tumbuh dan berkembangnya mereka. Berbagai potensi individual dan kolektif muncul dan melebur di ruang kelas yang senantiasa diwarnai oleh berbagai suasana khas anak dan remaja. Kehangatan itu nampaknya tidak mungkin tergantikan dengan pembelajaran jarah jauh.

Kehangatan Keluarga

Akhirnya, Covid-19 memaksa semua orang untuk pulang ke rumah. Pulang ke keluarga mereka. Pulang ke tengah-tengah orang yang selama ini selalu mendoakan dan berharap yang terbaik untuk mereka.

Mari kita diskusi tentang ini. Pertama, covid-19 memberi ruang kembali yang hakiki. Mereka yang selama ini pergi gelap pulang gelap dan tidak punya waktu sama sekali untuk bercengkerama dengan keluarga dipaksa pulang untuk beberapa lama. Kebijakan Work from Home (WFH) menjadi sangat menarik dilihat dari aspek kebersamaan keluarga. 

Keluarga yang rindu ayah kini (seharusnya) bisa memilikinya untuk beberapa saat. Mereka yang kuliah dan kost jauh dari rumah, kini pulang. Yang mondok pun sudah kembali dari pesantren. Ruang keluarga yang selama ini lengang dan sunyi, kini semarak lagi dengan beragam cerita dan keceriaan.

Kita dipaksa pulang. Kita dipulangkan. Bukan oleh ketakutan tetapi oleh kesadaran. Allah mengizinkan covid-19 menjadi tombol reset untuk kehidupan. 

Proses keseimbangan tengah berlangsung dan alam menemukan ruang dan kadar kalibrasinya sendiri. Tugas kita sebagai manusia tentu berpikir dan merasa. Mengeja kembali seluruh tingkah laku tanpa terkecuali. Kembali merujuk dan tunduk pada tuntunan hakiki sambil tetap berharap dapat melewati semua dengan cinta yang tak terkurangi.

Keluarga adalah energi. Inilah tempat pulang, kapan pun kita mau. Apa dan siapa pun kita, kembalilah. Dari sanalah kita datang dan bertumbuh. Cinta menanamkan sesuatu yang paling berharga dalam hidup ini ketika relasi antarpribadi memberikan ruang kembali yang utuh. Yang menarik adalah ketika kita selalu memiliki ruang dan waktu untuk itu. Waktu yang melesat dan ruang yang tak lagi sama, tidak serta merta meruntuhkan ketulusan dan cinta. 

Setiap inci waktu dan ruang kasih sayang yang menumbuhkan dan mendewasakan senantiasa menjadi kerinduan. Sebaik-baiknya rindu adalah yang tetap punya harapan bertemu muaranya. Sebaik-baiknya harapan adalah dia yang datang sebelum rindu menipis di tepian hati. Kita pasti sepakat, kehadiran ayah dan bunda di rumah sangat bermakna untuk mereka yang sekarang sedang bersiap meniti jalan yang sama dengan zaman yang berbeda.

Kedua, semakin menebalkan kesadaran tentang peran penting dan bermaknanya kehadiran seorang guru. Ketika anak harus belajar di rumah, kedua orang tua serta merta mengambil komando dan tanggung jawab proses belajar mengajar yang seharusnya di sekolah. Tidak setiap orang tua siap dengan kondisi ini, apalagi mereka juga masih  bertanggung jawab dengan pekerjaan kantor yang harus diselesaikan di rumah.

Sosok guru dirindukan hari-hari ini. Sehari dua hari, ayah dan bunda mungkin masih bisa handle, tetapi bila berkepanjangan, mereka bisa jadi keteteran. Apalagi, tidak sedikit dari mereka yang sama sekali tidak mengerti lagi materi apa yang dipelajari anaknya di sekolah. Mereka merasa sudah “menitipkan” pendidikan anaknya kepada sekolah dan guru. Jadi, wajar tidak setiap orang tua siap dengan keputusan belajar di rumah selama serangan Covid-19 ini.

Kehadiran guru, sesederhana apa pun, tetap membekas dan bermakna dalam membentuk karakter anak. Kehangatan dan kesabaran seorang guru pada gilirannya melahirkan keceriaan dan kegembiraan mereka tidak dapat ditukar dengan gawai dan aplikasi secanggih apa pun. Nampaknya, kebahagiaan berada di antara guru dan teman sekelas pasti lebih dirindukan daripada setumpuk tugas yang diberikan lewat gawai dan harus diselesaikan.

Ketiga, soliter melahirkan solider. Inilah juga hari-hari dilematis. Rumah-rumah di sejumlah kompleks permukiman pasti lebih banyak penghuninya daripada biasanya. Sesungguhnya, inilah waktu terbaik untuk lebih memakmurkan masjid, main bulu tangkis bersama, kumpul dengan tetangga sambil ngopi,  atau kerja bakti membersihkan lingkungan. Namun, itu tidak bisa dan tidak boleh dilakukan. Orang justru harus stay at home, bahkan di sejumlah masjid sholat lima waktu pun tidak diadakan dulu untuk sementara.

Orang berusaha sekuat tenaga untuk mematuhi kebijakan social distancing. Ini hal baru dan mereka tidak ingin gegabah dengan berbuat kesalahan. Namun, menariknnya, di tengah semangat untuk tetap di rumah (soliter), justru muncul kesadaran di antara warga untuk berhimpun dan berbuat sesuatu. Terbentuklah di sejumlah komplek perumahan apa yang kemudian dikenal sebagai Satgas  Anti Covid-19 yang terdiri atas unsur Dewan Kemakmuran Masjid (DKM), Pengurus Lingkungan (RW), dan para relawan peduli lingkungan.

Satgas Anti Covid-19 ini melakukan edukasi kepada masyarakat di lingkungan RW untuk bersatu dan bersama-sama memikirkan, menyusun program, dan berkontribusi sekecil apa pun dalam menanggulangi atau menekan penyebaran Covid-19. Oleh karena itulah, seluruh elemen masyarakat kembali punya ruang berbagi untuk memupuk kepedulian bersama dalam menghadapi musibah ini. Tentu, langkah-langkah positif ini harus didukung dan diapresiasi dengan baik.

Akhirnya, kita memang membutuhkan ruang dan kesempatan untuk menyemai sesuatu yang kita pahami sebagai idealisme. Bila pada gilirannya itu hadir sebagai amanah, tidak ada jalan lain kecuali bersyukur. Mari tetap bergerak untuk menjaga keseimbangan!

Ayo, bersama kita lawan Covid-19!

Depok, 23 Maret 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun