Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: Perlukah tarif ini dihapuskan?. Kita harus membandingkan dampak yang dihasilkan dari kebijakan ini jika dipertahankan maupun jika dihapuskan. Apabila dipertahankan, UMKM akan menikmati kemudahan fasilitas tersebut dan dalam lingkup luas UMKM dapat memanfaatkannya untuk mengembangkan usahanya menjadi lebih besar dan mandiri. Ketika tidak ada perubahan peraturan dan fasilitas tersebut dihapus maka UMKM akan dihadapkan dengan administrasi pajak yang lebih rumit dan beban pajak yang mungkin lebih tinggi. Hal tersebut dapat berujung pada rendahnya kepatuhan Wajib Pajak, berkurangnya partisipasi UMKM, dan menurunnya penerimaan negara. Untuk menghindari dampak negatif dari penghapusan fasilitas, diperlukan solusi yang cepat dan tepat. Salah satunya adalah dengan menerapkan fasilitas pengganti yang dapat mendorong pertumbuhan industri UMKM. Tidak terbatas dari segi perpajakan, fasilitas juga dapat disediakan melalui kemudahan pinjaman kredit dari Bank untuk UMKM, kemudahan pengajuan izin pendirian usaha, dan lainnya. Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan sinergi antar lembaga pemerintahan dan UMKM itu sendiri.
Terlepas dari kebijakan apa yang diambil atas fasilitas insentif bagi UMKM ini, pemerintah khususnya DJP harus bersiap dalam segala kondisi yang terjadi. Pandemi COVID-19 membuktikan bahwa kejadian yang tidak diduga-duga sangat mungkin untuk terjadi. Saat itu lah, kesiapan suatu negara diuji termasuk dalam kesiapan kebijakan untuk menanggulangi hal tersebut. Untuk itu, atas penerapan kebijakan fasilitas untuk UMKM dalam PP No. 55 Tahun 2022 perlu dikaji lebih lanjut apakah akan tetap dihentikan ataukah dilanjutkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H