Tentunya kita semua sering sekali menonton tayangan televisi dan pasti setiap dari kita memiliki program atau tayangan favoritnya masing-masing. Kegiatan menonton televisi bukanlah hal yang buruk jika porsi dan waktunya sesuai kebutuhan. Karena sejatinya tayangan televisi hadir untuk memberikan sebuah informasi bagi penontonnya, ada yang dalam bentuk berita, hiburan, pengetahuan bahkan siaran langsung mengenai acara tertentu.Â
Siaran atau tayangan  yang berkualitas sangat didambakan bagi penonton televisi. Oleh karena itu, ada lembaga-lembaga yang mengatur tayangan dan siaran di media seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Lembaga Sensor Film (LSF). Lembaga tersebut berfungsi untuk menghadirkan tayangan yang berkualitas sesuai aturan-aturan yang mereka buat. Semua program tayangan dan siaran akan melewati proses pengawasan oleh lembaga tersebut. Jadi, semua tayangan berada di bawah aturan penyiaran apakah layak tayang atau tidak.
Adanya sebuah aturan pasti tidak luput dari adanya pelanggaran. Akhir-akhir ini banyak sekali pelanggaran soal kasus penyiaran, khususnya di media televisi. Salah satunya program "Kopi Viral "di stasiun televisi Trans TV. Program tersebut dianggap melanggar aturan karena  terdapat segmen "Podcast Viral"  yang membahas persoalan seks meliputi masa subur, kualitas sperma, ejakulasi, dan hubungan seks yang tayang pada pukul 10.13-10.43 WIB dengan narasumber dokter Boyke.Â
Program tersebut telah ditegur oleh pihak KPI Â karena dirasa telah melanggar beberapa aturan. Yang pertama melanggar peraturan Komisi Penyiaran Indonesia nomor 01/P/KPI/03/2012 tentang pedoman perilaku penyiaran pasal 21 ayat 1, Â di mana lembaga penyiaran wajib tunduk pada ketentuan penggolongan program siaran berdasarkan usia dan tingkat kedewasaan khalayak di setiap acara.Â
Pembahasan mengenai permasalahan seks tidak pantas ditayangkan pada pukul jam 10.13-10.43 Â WIB, karena waktu tersebut masuk ke dalam klasifikasi anak-anak dan remaja. Kedua, Peraturan KPI tentang Standar Program Siaran Pasal 15 Ayat 1 yakni program siaran wajib memperhatikan dan melindungi kepentingan anak-anak dan remaja. Ketiga, Â tentang Standar Program Siaran Pasal 22 Ayat 1 yakni program siaran yang berisikan pembicaraan atau pembahasan mengenai masalah seks wajib disajikan secara santun, berhati-hati, dan ilmiah didampingi oleh praktisi kesehatan atau psikolog, dan hanya dapat disiarkan pada pukul 22.00-03.00 waktu setempat.
Dari beberapa aturan KPI yang telah dilanggar oleh program tersebut, wajarlah KPI memberikan teguran tertulis karena KPI mengkhawatirkan jika tetap di tayangkan tanpa diberi teguran akan terulang lagi dan berdampak negatif bagi penontonnya khususnya pada kalangan anak-anak. Jika sampai anak-anak menonton, dikhawatirkan mendapat pemahaman yang salah, karena memang di usianya yang masih belia dan belum cukup umur untuk menerima informasi tersebut.Â
Kesalahan dalam memilih tontonan akan berdampak pada kehidupan sehari-harinya. Misalnya, menganggap perbuatan seks bisa dilakukan dengan teman seusianya, mendorong remaja belajar tentang perilaku yang tidak pantas atau bahkan membenarkan perilaku yang tidak pantas sebagai hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari, gampang terpancing dengan pikiran kotor dan informasi masa subur bisa berbahaya bagi remaja untuk melakukan seks bebas. Karena pembahasan seperti itu hanya layak dikonsumsi bagi kalangan dewasa, sebagai informasi yang mengedukasi.Â
Pihak KPI tidak melarang lembaga penyiaran menayangkan atau menyiarkan pembahasan seksual dalam isi siaran selama mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan dalam P3SPS KPI tahun 2012. Karena memang pembahasan seksual dibutuhkan bagi masyarakat yang sudah berkeluarga.
Di UU 44 Tahun 2008 tentang pornografi Bab III Pasal 15 "Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi pornografi." Sudah sangat jelas bahwa wajib melindungi anak dari sesuatu yang berbau pornografi. Pada Undang-Undang yang sama Bab IV Pasal 17 dan 18 sudah jelas bahwa pemerintah memiliki peran penting dalam pencegahan hal yang berbau pornografi. Yang dilakukan KPI sudah termasuk usaha pencegahan, dengan memberi teguran tertulis kepada pihak TV.
Masih ada pelanggaran yang dilakukan oleh pihak program "Kopi Viral" yakni dalam Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) Pasal 14 ayat 1, yang berisi "Lembaga penyiaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada anak dengan menyiarkan program siaran pada waktu yang tepat sesuai dengan penggolongan program siaran."Â
Aturan ini berkaitan dengan Pasal 21 ayat 2 (P3) yang mengatur penggolongan program siaran. Digolongkan menjadi lima, yakni klasifikasi P untuk usia 2-6 tahun, klasifikasi A untuk usia 7-12 tahun, klasifikasi R untuk usia 13-17 tahun, klasifikasi D untuk usia 18 tahun keatas dan klasifikasi SU untuk semua umur. Seharusnya memang tayangan yang membahas persoalan seks masuk kedalam klasifikasi D dan jam tayangnya di atas pukul 22.00, sehingga tidak lagi menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat.Â
Sebenarnya bukan hanya satu kali ini saja terjadi pelanggaran mengenai aturan penyiaran yang menyangkut pornografi, sebelum-sebelumnya juga pernah dan sering, namun entah mengapa terulang lagi dan lagi. Mungkin kurangnya pemahaman mengenai klasifikasi program siaran oleh pihak televisi. Harusnya sebagai lembaga penyiaran lebih bijak dan lebih berhati-hati memahami ketentuan tentang klasifikasi atau kategori setiap program acara. Karena percuma rasanya lembaga yang mengatur penyiaran Indonesia membuat peraturan sedemikian rupa, namun tidak bisa diterapkan dengan maksimal karena ketidakpahaman lembaga penyiar itu sendiri.
Semakin kesini program tayangan televisi mulai kualitasnya menurun. Banyak program acara yang tidak layak ditonton bagi anak-anak seperti sinetron, infotainment yang berisi masalah pribadi artis, dan program hiburan yang menghadirkan bintang tamu karena masalahnya bukan prestasinya. Ini masih di media televisi, belum lagi di media sosial yang aksesnya sangat luas dan bebas.
Pengamat masyarakat di Amerika Serikat menganggap bahwa televisi sebagai orang tua ketiga, pertama ayah-ibunya, kedua gurunya. Sebabnya karena anak ditinggalkan sendirian di depan televisi, dan anak tersebut dapat menyaksikan segala macam tayangan yang mengasyikkan. Disinilah peran orang tua hadir untuk mendampingi dan mengontrol apa yang sedang ditonton anaknya. Setidaknya, orang tua mampu menjelaskan tujuan dari tayangan itu sendiri. Anda sebagai orangtua juga perlu memberikan penjelasan mengenai makna dari tontonan tersebut, sehingga tidak terjadi kesalahan pemahaman dari anaknya.Â
Masalah seperti ini bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua, khususnya dalam memilih tontonan. Kecermatan memilah dan memilih tontonan perlu ditingkatkan, karena didalamnya ada peran masyarakat yang ikut andil mengurangi masalah-masalah seperti ini. Tidak hanya pihak lembaga penyiaran yang harus mengerti dan paham mengenai aturan klasifikasi program acara, namun juga kita sebagai masyarakat harus belajar memahami aturan tersebut.Â
Kita boleh mengikuti alur teknologi yang semakin cepat ini, namun tetap jaga etika dan aturan yang sudah ditetapkan sehingga dapat membantu Pemerintah mewujudkan kecerdasan bangsa. Salah satunya dengan cara mengedukasi lingkungan disekitar kita tentang wawasan menggunakan teknologi, khususnya media televisi. Karena kita tidak bisa hanya mengandalkan lembaga pemerintah saja.
Muhammad Fahri Al Farezy,
Mahasiswa Ilmu Komunikasi
Universitas Muhammdiyah Malang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H