Mohon tunggu...
Fahrijal Nurrohman
Fahrijal Nurrohman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hey there! I am using Kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Jika Surga Tak Pernah Ada #1

5 Maret 2024   18:32 Diperbarui: 5 Maret 2024   18:37 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Menurut Pak Ustadz, apakah ikan di dalam air itu bisa melihat bentuk air? Atau mungkin kenapa manusia memerlukan makanan hanya untuk sekedar bertahan hidup? Atau yang lebih mendasar lagi, kenapa aku ada disini?

Pertanyaan-pertanyaan yang pernah Surti tanyakan kepada guru mengajinya itu terlintas begitu saja dalam benaknya. 20 tahun lalu, Surti ada salah satu diantara 10 murid yang pernah mengaji di sebuah mushola kecil pinggiran kota. Tidak terhitung mushola yang besar, namun mushola tersebut sangat terawat dengan baik. Masyarakat di sekitar mushola sangat tahu bagaimana cara memakmurkannya. Hampir di setiap sholat 5 waktu mushola tersebut senantiasa dipenuhi dengan para jama'ah-bahkan untuk shalat shubuh jumlah jama'ahnya melebihi shalat yang lain. Setiap hari jum'at, di mushola ini juga diadakan pembagian makanan gratis untuk para jama'ah sholat jum'at. Hal ini menjadi salah satu daya tarik dari mushola ini.

"Kenapa kamu bertanya hal-hal itu Surti?", Pak Ustadz balik bertanya.

"Ya Surti ingin tahu saja Pak Ustadz. Karena aku penasaran, ikan kok bisa mati jika ditaruh di daratan. Terus kenapa manusia itu bisa hidup dengan hanya makan, atau kenapa kita semua bisa ada disini".

Pak Ustadz begitu kagum dengan rasa ingin tahu Surti yang begitu tinggi. Di kala anak seusianya sedang asyik bermain kelereng, petak umpet, atau kejar-kejaran, dirinya memilih untuk terus belajar tentang banyak hal. Tidak heran jika dia sering sekali pergi ke perpustakaan desa dan menghabiskan waktu berjam-berjam disana hanya untuk membaca buku. 

"Hei Surti, kenapa sih setiap mengaji begini selalu bertanya yang aneh-aneh kepada Pak Ustadz? Kamu tidak kasihan kah sama Pak Ustadz? Hampir setiap hari beliau harus meladeni pertanyaan-pertanyaanmu yang konyol", Percobaan Faiz kesekian kalinya untuk menghentikan Surti agar tidak bertanya yang aneh-aneh.

"Apa sih ganggu aja kamu ini", Surti mendorong Faiz jauh-jauh.

"Aku bosan dengan pertanyaan dan rasa ingin tahumu yang aneh itu", Gerutu Faiz. Sementara itu, murid yang lain masih sibuk menghafalkan surat-surat pendek.

"Sudah-sudah, kalian ini hanya ribut saja dari tadi. Sana, lebih baik kalian hafalkan surat-surat pendek dulu saja. Dan untuk pertanyaan-pertanyaanmu tadi Surti, maaf Pak Ustadz belum bisa menjawabnya. Besok saja ya", Pak Ustadz tidak ingin jam pelajaran hari itu habis hanya untuk menjawab pertanyaa-pertanyaan Surti yang dominan dengan kata tanya "kenapa".

Mendengar hal itu, Surti merasa kecewa karena rasa ingin tahunya belum terkenyangkan. Berkebalikan dengan Faiz yang merasa senang karena tidak harus mendengar jawaban-jawaban dari pak Ustadz yang begitu membingungkan. Pernah suatu ketika Surti bertanya kepada Pak Ustadz, namun pertanyaan ini benar-benar di luar prediksi dan membuat Pak Ustadz agak berfikir panjang.

"Pak Ustadz, Surti mau tanya", Surti mengangkat tangannya.

"Iya Surti, silahkan"

"Pak Ustadz, bagaimana jika surga dan neraka tidak pernah diciptakan?"

Mendengar hal itu, semua murid terdiam. Bahkan Pak Ustadz hampir menyemburkan teh yang sedang dia minum. Untuk anak seusinya, pertanyaan ini benar-benar butuh jawaban yang singkat, jelas dan padat. Pada akhirnya, pertanyaan ini akan membawa Surti dalam sebuah perjalanan yang barangkali tidak pernah dialami oleh banyak orang.

***

Kembali, 5 Maret 2024

Hari ini adalah hari yang Surti tunggu. Ada dua alasan mengapa Surti sangat-sangat menunggu datangnya hari ini. Pertama, karena hari ini Surti merayakan ulang tahunnya ke 24. Kedua, karena pada hari ini dia akhirnya lulus setelah menyelesaikan masa belajarnya selama empat tahun di kota provinsi seberang. Akhirnya rasa rindunya kepada kampung halaman akan segera terobati setelah empat tahun tidak pulang. 

"Tiket kapalmu jam berapa besok Surti?"

"Sekitar jam setengah 7 pagi Nis"

Namanya Ninis, satu-satunya teman dan sahabat yang Surti miliki di tanah perantauan. 

"Oh ya? Kalau gitu aku anterin ke pelabuhan ya besok. Sekalian pengen lihat pemandangan matahari terbit. Hehe"

"Oke Nis", jawab Surti.

Mereka berdua diam kembali setelah berbincang ngalor ngidul tentang rencana apa yang akan mereka lakukan setelah lulus dari kampus ternama itu. Tidak terasa waktu begitu cepat melesat. Akhirnya Surti mendapatkan gelar sarjana dan bisa membanggakan kedua orang tua dan adiknya. Surti tidak sabar untuk bertemu dan memeluk mereka erat-erat untuk melepaskan rasa rindu yang telah terpendam begitu lama. Namun, hal itu tidak akan pernah Surti alami. Tidak akan

Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun