Mohon tunggu...
Fahrijal Nurrohman
Fahrijal Nurrohman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hey there! I am using Kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Tuhan Tidak Perlu Dibela #1

4 Juli 2023   21:36 Diperbarui: 4 Juli 2023   21:58 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tuhan Tidak Perlu Dibela, oleh: Abdurrahman Wahid | Foto: Dok Pribadi

Membahas tentang keberagamaan umat Islam di Indonesia tidak akan pernah ada habisnya. Akan selalu ada hal menarik dan unik yang muncul setiap harinya. Mulai dari yang ada di akar rumput sampai yang duduk di kursi pemerintahan, dari yang hidup di pelosok desa sampai yang hidup di tengah hiruk pikuk kota, dari yang ekonominya cukup untuk makan sehari sampai yang gajinya satu jam cukup untuk makan 1 bulan, kesemuanya mempunyai ciri khasnya sendiri. 

Kita ambil contoh budaya sekaten yang ada di Solo sebagai prosesi untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, yang mana budaya ini tidak dimiliki oleh daerah lain karena mereka sudah memiliki prosesi mereka sendiri. Agama Islam di Indonesia benar-benar mengalami berbagai macam transformasi dan adaptasi.

Berbicara tentang keragamaan manusia di Indonesia, tidak lengkap kiranya jika kita tidak mengulik salah satu nama yang cukup familiar di telinga kita. Adalah KH. Abdurrahman Wahid atau yang sering kita panggil dengan Gus Dur. Beliau adalah putra dari KH. Wahid Hasyim sekaligus cucu dari KH. Hasyim Asy'ari yang merupakan pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama. 

Gus Dur juga dikenal sebagai Bapak Pluralisme Indonesia. Hal ini tidak lepas dari sikap Gus Dur yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Hadirnya agama Konghuchu di Indonesia juga tidak lepas dari peran Gus Dur. Tujuannya tidak lain untuk meredam stereotip yang negatif terhadap masyarakat keturunan China. 

Gus Dur juga dikenal akan pendapat dan pandangan yang kontroversi. Salah satunya adalah pandangannya yang menyamakan ucapan Assalamu'alaikum dengan Selamat Pagi. Tentu hal ini memunculkan riak-riak di kalangan umat Islam. Tidak hanya berhenti dipersoalan salam, masih ada beberapa statement beliau yang lebih nyleneh lagi. Hingga akhirnya terbitlah buku yang menampung berbagai macam pemikiran beliau yang berjudul "Tuhan Tidak Perlu Dibela". 

Dari judulnya saja kita sudah menduga bahwa Gus Dur mempunyai pandangan yang di luar kebiasaan atau seperti kata saya tadi, nyleneh. Namun demikian, buku ini berisi banyak sekali pelajaran yang kiranya perlu dikaji ulang hari ini. Buku ini berisi tiga bab dengan beberapa sub-bab di dalamnya. Tulisan ini kedepannya akan merangkum apa saja yang ada dalam buku ini, tentu dengan tulisan yang lebih ringkas dan dengan bahasa yang ringan.

Bab 1. Tiga Pendekar Dari Chicago

Ada 3 tokoh cendikiawan muslim yang kiranya menjadi aktor utama dalam arus pemikiran Islam yang ada di Indoensia. Ketiga berasal dari universitas yang sama, yaitu Universitas Chicago. 

Walaupun berasal dari universitas yang sama, namun masing-masing dari mereka mempunyai pemikiran yang berbeda akan model keberislaman yang harus diterapkan oleh umat Islam. 

Ketiga tokoh itu adalah Nurcholis Madjid, Amien Rais dan Ahmad Syafi'i Ma'arif. Ketiga tokoh ini mempunyai pandangan tersendiri bagaimana Islam sebagai sebuah agama harus diterapkan. Dimulai dari Nurcholis Madjid yang menyatakan bahwa Islam harus terbuka dengan dunia luar. Menurut Nurcholis Madjid, umat Islam harus bersikap terbuka sebagaimana yang terjadi pada masa kejayaan Islam 10 abad lalu. 

Dia juga selalu menekankan untuk mencari persamaan diantara semua agama dan semua kebudayaan. Walaupun pendapatnya ini juga menjadi boomerang baginya. Nurcholis Madjid juga kurang setuju dengan penggunaan partai politik Islam sebagai alat untuk kebangkitan umat Islam dan pelestarian nilai-nilai Islam. Oleh sebab itu, beliau menggencarkan semboyan "Islam Yes, Partai Islam No".

Berbeda dengan Amien Rais. Menurutnya, pelestarian agama Islam tidak akan lepas dari adanya kekuasaan yang dimiliki oleh umat Islam. Oleh sebab itu perlu kiranya umat Islam juga turut memperhatikan pentingya pendirian partai politik yang berdasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam agama Islam. Ahmad Syafi'i Ma'arif juga memberikan pandangannya tentang bagaimana cara atau upaya untuk melestarikan nilai-nilai ke-Islaman. 

Beliau lebih condong mengikuti pandangan Nurcholis Madjid yang lebih mengedepankan kultural Islam, namun beliau juga tetap mendukung adanya upaya untuk masuk ke tubuh pemerintahan sebagai upaya pelestarian nilai-nilai Islam yang lebih luas. 

Walaupun ketiganya mempunyai berbagai pandangan yang saling bertolak belakang, namun mereka tetaplah berada dalam kesatuan yang begitu indah. Pada dasarnya, para pendekar dari Chicago ini ingin melestarikan nilai-nilai yang ada dalam agama Islam agar tidak mengalami degradasi bahkan pencemaran.

Bab 2. Lebaran Tanpa Takbiran

Tak terasa tahun ini kita sudah melewati 2 hari raya, yaitu Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Bicara tentang hari raya, kita tidak lepas dari perdebatan yang saya kira selalu berulang setiap tahunnya. 

Permasalahan yang saya sendiri sudah mulai bosan untuk mengikutinya. Antara rukyatul hilal atau metode hisab, keduanya adalah metode yang digunakan dalam menentukan tanggal dan bulan dalam hitungan hijriah. 

Dan kedua metode inilah yang selalu kita perdebatkan. Namun menarik untuk diketahui, bahwa antara NU dan pemerintah pernah mengalami perbedaan dalam menetapkan hari raya. Kalau sekarang mungkin kita sering mendengar bahwa Muhammadiyah sering berbeda dengan pemerintah dalam menetapkan hari raya. 

Perbedaan penetapan hari raya antara NU dan pemerintah pernah terjadi pada tahun 1994, dimana NU lebih dulu menetapkan hari raya daripada pemerintah. Kita analogikan NU menetapkan hari senin sedangkan pemerintah menetapkan hari selasa. 

Namun demikian hal ini ternyata tidak menjadi masalah pada waktu itu. Justru dengan terjadinya perbedaan penetapan antara NU dan pemerintah, malah memunculkan budaya baru di kawasan Jakarta. Warga NU yang seharusnya berlebaran dahulu tidak melaksanakan penyambutan yang besar. 

Hal ini sebagai bentuk penghormatan terhadap saudara-saudara muslim lain yang masih meyakini hari itu masih puasa. Bahkan mereka juga melaksanakan shalat id pada hari yang sudah ditetapkan pemerintah. 

Rasa toleransi malah muncul dari adanya perbedaan. Tidak penting mana yang lebih tepat antara rukyatul hilal ataupun hisab, sebab keduanya mempunyai metodologinya sendiri. Yang paling penting adalah kembali menjadi bersih dan suci kembali dengan menebar rasa kasih sayang yang diwujudkan dengan sikap toleransi terhadap sesama.

Disclaimer: Semua tulisan diatas adalah murni interpretasi dari saya. Jadi masih dimungkinkan adanya kesalahan dalam pemahaman saya. Oleh sebab itu akan lebih bijak jika pembaca juga memberikan masukan dan saran kepada saya.

Sumber: Abdurrahman Wahid. 2017. Tuhan Tidak Perlu Dibela. Cet. 1. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun