Mohon tunggu...
Fahri Dwi Ananta
Fahri Dwi Ananta Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik UI

Memiliki ketertarikan terhadap isu sosial-masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menggali Hak-Hak Perempuan dalam Islam, Reintepretasi Teks dan Penggunaan Media Sosial

16 Oktober 2024   14:26 Diperbarui: 16 Oktober 2024   14:55 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan bagi seluruh umat manusia. Keadilan, dalam arti kesetaraan, menegaskan bahwa setiap manusia, termasuk perempuan, diciptakan setara di hadapan Allah SWT, Pencipta alam semesta. 

Teks-teks Islam, khususnya Al-Qur'an dan Hadits, memainkan peran penting dalam membentuk kehidupan sosial dan hukum masyarakat Muslim. Al-Qur’an dan Hadits sering menjadi landasan hukum yang mengatur peran perempuan, baik dalam keluarga maupun masyarakat. Namun, interpretasi terhadap hak-hak perempuan dari teks-teks ini kerap menjadi perdebatan. 

Di satu sisi, Al-Qur'an dan Hadits memberikan hak-hak dasar yang progresif bagi perempuan, tetapi di sisi lain, interpretasi konservatif seringkali membatasi peran perempuan dalam kehidupan publik maupun privat. Menurut Fatima Mernissi (1995), interpretasi yang membatasi ini sering kali muncul sebagai reaksi terhadap ketidakadilan yang dilegitimasi melalui konstruksi budaya dan agama. 

Padahal, sejak zaman Nabi Muhammad SAW, Islam telah mengajarkan kemuliaan perempuan. Namun, ajaran ini mengalami distorsi dan miskonsepsi yang mempengaruhi berbagai aspek kehidupan perempuan (Chusnul Mar’iyah, 2024).


Dalam konteks modern, perjuangan untuk keadilan dan kesetaraan perempuan semakin relevan dengan berkembangnya teknologi digital dan media sosial. Aktivis perempuan Muslim tidak hanya menggunakan teks-teks agama, tetapi juga memanfaatkan kekuatan media sosial untuk menyuarakan isu-isu kesetaraan. 

Platform seperti YouTube, Twitter, Instagram, Facebook, dan TikTok telah memainkan peran yang sangat signifikan dalam menggerakkan opini publik. Media sosial memungkinkan lahirnya "citizen journalism," di mana setiap orang dapat berpartisipasi dalam menyebarkan informasi dan mendorong perubahan, sebagaimana yang terlihat dalam politik global, termasuk pada pemilihan presiden di Amerika Serikat. 

Peranan media sosial dalam mobilisasi politik dan sosial sudah terbukti sangat kuat, bahkan mampu menandingi pengaruh media mainstream (Chusnul Mar’iyah, 2024). 

Dengan menggabungkan ajaran Islam dan kekuatan media sosial, aktivis perempuan Muslim bekerja untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dalam konteks demokrasi modern, menciptakan ruang yang lebih inklusif dan adil di tengah tantangan interpretasi konservatif dan hegemoni patriarki. Pertanyaannya, bagaimana sebenarnya teks-teks Islam memandang hak-hak perempuan, dan bagaimana aktivis perempuan Muslim menggunakan ajaran-ajaran ini untuk memperjuangkan kesetaraan dan pemberdayaan perempuan dalam konteks dunia digital saat ini?

Islam mengatur berbagai kegiatan yang sifatnya duniawi maupun zuhud, termasuk hak-hak perempuan. Secara umum, tidak ada ada perbedaan hak dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki. 

Hal tersebut dijelaskan dalam QS. An-Nisa: 32, “Bagi laki-laki ada hak/ bagian dari apa yang diusahakannya, dan bagi perempuan ada hak/bagian dari apa yang diusahakanya”. Ayat ini menjelaskan bahwa antara laki-laki dan perempuan tidak ada bedanya dalam apa yang diusahakannya. 

Perbedaan yang dijadikan ukuran untuk meninggikan dan merendahkan derajat mereka hanyalah nilai pengabdian dan ketaqwaanya kepada Allah (QS. Al-Hujurat:13); perempuan sebagai ibu kedudukannya lebih tinggi dari seorang ayah (H.R. Bukhari); perempuan berhak mendapat mahar ketika dinikahi laki-laki (Q.S. An-Nisa ayat 4); kehormatan perempuan dilindungi dalam Islam (Q.S. Al-Ahzab ayat 59), dan seorang perempuan dapat memasuki surga lewat pintu manapun.” Sekilas, ayat-ayat Al-Quran terlihat dan seringkali ditafsirkan secara patriarkis.Islam dimaknai oleh sebagian orang sebagai agama yang membatasi peran perempuan dalam kehidupan sosial. 

Padahal sekali lagi menurut saya Islam telah membagi peran secara adil, bukan membatasi peran. Peran perempuan secara historis dapat kita lihat kontribusi pentingnya pada sisi sejarah islam itu sendiri. Manusia pertama yang mengimani kerasulan Muhammad Saw adalah Khadijah RA. Jika proses keberimanan adalah suatu transaksi spiritual yang melibatkan intelektualitas, maka, Khadijah adalah perempuan yang berilmu tinggi (Kalis Mardiasih, 2018)  

Dalam konteks hadits, hak perempuan tercermin sebagai hak-hak yang harus dijaga dengan cermat. Beberapa hadis menyoroti perlunya memberikan perlakuan adil terhadap perempuan, baik dalam aspek ekonomi, pendidikan, kesejahteraan, maupun kebebasan berpendapat (Al Aulia, 2023).

 Beberapa Hadits memberikan panduan yang mendukung kesetaraan dan perlindungan hak-hak perempuan. Salah satu Hadits Nabi Muhammad SAW yang paling sering dikutip dalam konteks ini adalah bahwa "perempuan adalah saudara kembar laki-laki," yang menekankan bahwa dalam hak-hak dasar dan tanggung jawab, perempuan dan laki-laki diperlakukan setara. 

Namun, disisi lain, beberapa Hadits yang digunakan dalam interpretasi tradisional seringkali disalahgunakan untuk membenarkan diskriminasi terhadap perempuan, misalnya dalam hal peran domestik atau aturan berpakaian. Hal ini memunculkan perdebatan di antara aktivis feminis Muslim, yang berusaha menafsirkan kembali Hadits agar lebih sesuai dengan prinsip-prinsip kesetaraan yang mereka yakini ada dalam Islam (Muthi’ah, A., 2014).


Permasalahan
Meskipun teks-teks Islam mendukung hak-hak perempuan, banyak perempuan di negara-negara Muslim masih menghadapi diskriminasi akibat interpretasi konservatif yang memperkuat norma patriarkal. Misalnya, hak waris perempuan sering tidak diterapkan secara adil, karena tekanan sosial membuat mereka menyerahkan hak tersebut kepada laki-laki. 

Selain itu, budaya patriarkal yang bercampur dengan agama memperburuk posisi perempuan, menganggap mereka lebih rendah dari laki-laki, meskipun ajaran Islam tidak mendukung hal ini. Hukum negara yang menerapkan syariah secara konservatif juga memperkuat diskriminasi dalam isu pernikahan, perceraian, dan hak waris.

 Aktivis perempuan sering kali menghadapi perlawanan dari lembaga-lembaga keagamaan yang mendukung interpretasi ini. Berdasarkan permasalahan tersebut, apa upaya aktivis perempuan?


Gerakan feminisme Islam tidak hanya berfokus pada reinterpretasi teks-teks agama dan advokasi hukum, tetapi juga pada pentingnya prinsip-prinsip demokrasi dan penggunaan media sosial digital dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. 

Dalam konteks modern, demokrasi memberikan ruang bagi partisipasi aktif perempuan dalam proses politik, hukum, dan sosial. Aktivis feminis Islam memanfaatkan sistem demokrasi untuk mendorong reformasi kebijakan dan hukum yang lebih adil bagi perempuan, serta menantang hegemoni patriarki yang telah lama berakar di masyarakat. 

Di negara-negara dengan sistem demokrasi, seperti Indonesia, feminis Muslim bekerja dalam koridor hukum untuk mengadvokasi hak-hak perempuan, misalnya dalam reformasi undang-undang pernikahan dan perceraian. Mereka juga memanfaatkan lembaga-lembaga demokrasi, seperti parlemen, pengadilan, dan organisasi masyarakat sipil, untuk mendesak perubahan yang mendukung kesetaraan gender.

Di era digital saat ini, demokrasi tidak hanya terjadi dalam ruang fisik tetapi juga di dunia maya. Media sosial telah menjadi alat yang sangat kuat bagi aktivis perempuan Muslim untuk memperluas jangkauan gerakan mereka. 

Melalui media sosial, aktivis feminis Islam dapat mempublikasikan tulisan-tulisan tentang keadilan gender, mendiskusikan tafsir-tafsir yang lebih inklusif, serta membentuk gerakan solidaritas global. 

Misalnya, kampanye digital untuk melawan kekerasan terhadap perempuan atau memperjuangkan hak-hak reproduksi perempuan sering kali viral, menciptakan tekanan sosial dan politik untuk perubahan. Di media sosial saat ini kita bisa melihat nama-nama seperti Kalis Mardiasih, Sadiyah Maruf, dll. Selain itu, platform ini memungkinkan dialog lintas batas antar aktivis dari berbagai negara Muslim, membangun solidaritas global yang lebih kuat. 

Di Indonesia, gerakan feminis Islam menggunakan media sosial untuk mendiseminasi hasil re-interpretasi teks-teks agama, seperti kitab kuning dan shalawat gender. Mereka membuat konten edukatif berupa video, infografis, atau artikel yang mengajak masyarakat untuk memahami pentingnya kesetaraan gender dari perspektif Islam. 

Dengan memanfaatkan demokrasi dan media sosial digital, gerakan feminisme Islam mampu merangkul berbagai lapisan masyarakat, memperkuat perjuangan mereka, dan membangun wacana yang lebih inklusif dan setara di dunia Muslim. 

Ini memperlihatkan bahwa perjuangan untuk hak-hak perempuan dalam Islam tidak hanya berada dalam ruang-ruang akademik atau lembaga hukum, tetapi juga bergerak melalui dialog dan aksi yang melibatkan masyarakat luas melalui teknologi modern.

Kesimpulan

Teks-teks Islam, baik Al-Qur'an maupun Hadits, sebenarnya memberikan dasar yang kuat untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Namun, tantangan utama yang dihadapi perempuan di masyarakat Muslim adalah interpretasi konservatif yang sering kali memperkuat norma patriarkal. Aktivis perempuan Muslim memainkan peran penting dalam me-reinterpretasi teks-teks ini agar lebih inklusif dan adil bagi perempuan.

Masa depan gerakan ini sangat bergantung pada kemampuan aktivis untuk terus mendorong perubahan melalui dialog dengan ulama, negara, dan masyarakat, sembari mengedepankan prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan yang ada dalam Islam. Media sosial memainkan peran penting dalam perjuangan ini

. Melalui platform seperti Twitter dan Instagram, aktivis perempuan Muslim dapat menyebarkan interpretasi progresif dari Al-Qur'an dan Hadits yang mendukung hak-hak perempuan. Mereka juga menantang pandangan konservatif yang menghambat kesetaraan gender, sambil bekerja sama dengan ulama progresif untuk memperjuangkan hak-hak perempuan, seperti akses ke pendidikan dan warisan, serta mendorong reformasi hukum yang lebih adil bagi perempuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun