Beberapa bulan lalu, rapat Paripurna DPR RI akhirnya menetapkan Rancangan Undang-Undang mengenai perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) sebagai Rancangan Undang-Undang Usul Inisiatif DPR RI.
Revisi ini setidaknya mengubah beberapa poin penting yang memastikan terjadinya perubahan besar dalam manajemen Aparatur Sipil Negara. Salah satu yang menjadi sorotan publik ialah dibukanya ruang memasukkan sekitar 1,2 juta pegawai honorer menjadi pegawai aparatur sipil negara tanpa seleksi dan ditiadakannya seleksi kompetensi Aparatur Sipil Negara.
Tak bisa dipungkiri, tingginya aspirasi pengangkatan tenaga honorer, khusunya didaerah menjadi pertimbangan mengapa UU ASN perlu direvisi. Pengabdian yang bertahun-tahun lamanya dikatakan harus mendapat apresiasi dalam bentuk jaminan negara terhadap pekerjaan yang pasti. Namun disisi lain, upaya gencar pemerintah menghadirkan birokrasi yang sehat melalui merit system seolah akan menjadi kontradiksi.
Semangat reformasi birokrasi yang dicanangkan akhir-akhir ini melalui penguatan kapasitas dan netralitas ASN hingga mewujudkan right person on the right place bisa jadi hanya akan menjadi cita-cita semu belaka.
Big Bureaucracy
Ditetapkannya revisi UU ASN oleh DPR akan menjadi angin segar bagi jutaan pegawai honorer. Bagaimana tidak, akses untuk menyandang status PNS semakin terbuka karena tidak memerlukan proses tahapan seleksi kompetensi sebagaimana yang dilakukan 2014 silam.
Dalam kasus ini, tingginya peningkatan jumlah honorer tiap tahunnya, berimplikasi pada belum adanya solusi kongkret pemerintah menyediakan alternatif pekerjaan terhadap mereka yang menggantungkan dirinya menjadi PNS/ASN. Hal ini juga diperparah oleh perilaku politis kepala daerah yang terkadang memberikan janji palsu kepada pegawai honorer dengan iming-iming akan direkrut sebagai Pengawai Negeri Sipil.
Keputusan mengangkat tenaga Honorer tanpa seleksi secara-besaran bukanlah tanpa akibat. Merujuk pada Parkinson's Law atau yang disebut dengan Evers Birokratisasi Parkinson (Parkinsonisasi) menyatakan kecenderungan menata birokrasi dengan memperbesar jumlah kuantitatif akan menyebabkan bigbureaucracy yang berujung pada lambatnya proses kerja birokrasi. Pola semacam ini tentu akan mengarahkan pada rendanhnya efektivitas pemerintahan.
Harus diakui upaya penataan birokrasi melalui UU no 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang saat ini berlaku berbanding lurus dengan masih rendahnya indeks efektivitas pemerintah. Berdasarkan data The Worldwide Governance Indicators menunjukkan bahwa nilai rata-rata indeks efektivitas pemerintahan Indonesia (Government Effectiveness) pada tahun 2014 masih berada di peringkat ke-85 dengan nilai indeks -- 0,01. Hal ini banyak disebabkan karena mesin penggerak birokrasi kita belum menjalankan tugas dan kewenangannya secara maksimal.
Permasalahan efektivitas pemerintahan yang rendah menegaskan bahwa penguatan reformasi birokrasi adalah hal yang mutlak dilakukan saat ini. Kebutuhan memperbaiki kualitas aparatur sipil Negara melalui meritokrasi tidak bisa dipandang sebelah mata lagi. Meritokrasi merupakan solusi mutakhir saat ini guna mengobati penyakit-penyakit birokasi dan pelayanan publik yang cenderung lamban.
Sistem ini mengharuskan orang diangkat ialah mereka yang memilki kualifikasi kompetensi dan juga mengharamkan pengangkatan ASN berdasarkan kekerabatan, pertimbangan politik, apalagi transaksi jual beli jabatan.
Peluang Transaksi Jabatan
Indikasi patologi Birokrasi atau penyakit birokrasi salah satunya ialah maraknya penyalahgunaan wewenang pemerintahan. Hal ini dapat terjadi karena pengendalian dan pengawasan ASN terhadap jabatan atau promosi tertentu tidak berjalan dengan baik. Dengan direvisinya UU ASN yang merupakan kombinasi dari kecerdasan dan kinerja, tentunya akan sedikit memuluskan terbukanya cara-cara transaksi lama dalam suatu jabatan yang sejak pemberlakuan UU ASN perlahan telah ditinggalkan. Sebab akan ada 1,2 juta target potensial untuk ditawari jabatan oleh pejabat pemerintah dengan nilai uang yang menggiurkan.
Berdasarkan Informasi dari Komite Aparatur Sipil Negara, untuk jabatan pemimpin tinggi maupun pemimpin non-tinggi saja telah terdapat nilai transaksi jual-beli mencapai 35 trilliun yang berpotensi untuk dikorupsi (jual-beli) yang bisa menyebabkan kerugian pada APBD/APBN. Sungguh ironi, ketika praktik seperti ini kembali membudaya ditengah ketertinggalan birokrasi kita dari negara lain, bahkan di asia tenggara sekalipun.
Selain itu, target SMART ASN 2019 yang dicanangkan Kemenpan dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan berkelas dunia dan memiliki daya saing hanya akan menjadi usapan jempol semata tanpa realisasi nyata. Ketika pemerintah belum melihat permasalahan ini sebagai suatu masalah yang serius. Diperlukan rasionalisasi pemilihan sumber daya manusia dalam menetapkan masing-masing area jabatan secara proporsional, bukan dengan pembiaran berjalannya regulasi yang dapat melemahkan tujuan reformasi birokrasi.
Menyikapi hal tersebut, aparatur Sipil negara dengan konsep rightsizing sangat penting untuk diimplementasikan karena memudahkan penataan organisasi yang sesuai dengan jumlah dan keperluan organisasi. Semua ini tentunya bisa tercapai apabila elemen-elemen birokrasi dapat bertanggung jawab terhadap jabatan yang diembannya, tidak dengan transaksi jabatan.
Hanya saja, pertanyaan yang muncul, seberapa kuat keinginan pemerintah menciptakan birokrasi yang sehat ditengah-tengah patologi birokrasi yang semakin lama semakin menjamur. Sebab hal ini memiliki konsekuensi antara menciptakan system yang objektif, transparan dan fairnessdalam rangka mengembalikan kepercayaan masyarakat atau mengikuti kecenderungan aspirasi pengangkatan tenaga honorer dan segelintir pejabat pemerintahan yang bisa saja dipolitisasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H