“Oke oke oke, Mr. Know-it-All. Kau benar.”
“Jadi lanjut ke pertanyaanmu tadi, apakah mungkin burung beda spesies berhubungan … atau kita buat lebih spesifik saja, apakah burung bangau sepertimu bisa menjalin hubungan dengan seekor burung gereja? Menurutku sih tidak masalah.”
“Ha? Jelaskan coba.”
“I mean, yah kalian memang burung yang berbeda jenis, tapi itu kan perbedaan yang kalau dipikir-pikir sangatlah simpel. Paling cuma beda pekerjaan, beda warna bulu, sama tentu saja yang kadang jadi masalah besar … beda jenis makanan. Tapi tidak seharusnya hal tersebut dipikirkan terlalu dalam-dalam lah. Kalau dijalani juga nanti lama-lama terbiasa,” jelas temanku yang terlalu liberal ini.
“Hei tunggu dulu, ini bukan sekadar warna bulu, jenis makanan, dan sejenisnya. Perbedaan yang ada jauh lebih besar tahu. Mulai dari tempat hidup sampai ke cara hidup, semuanya berbeda total,” sanggahku.
“Ah itu memang kau saja yang terlalu banyak kepikiran. Hal minor itu mah, jangan dipikirkan terlalu berlebihan.”
“Bagaimana tidak dipikirkan secara berlebihan, ini masalah masa kini, masa depan, dan masa lalu tahu, berbuat gegabah hanya akan berakhir merugikan.”
“Jadi maumu apa?”
“Tidak tahu…” jawabku sambil menundukkan kepala.
Percakapan ini memang bukan yang pertama kalinya terjadi. Tentunya hasil akhir percakapannya pun kurang lebih selalu sama. Terkadang aku sampai tidak enak sendiri sama temanku yang mungkin saja sudah bosan mendengarkan keluh-kesah tidak ada jawaban yang muncul dari otak unggasku ini.
Kami terdiam sementara sambil temanku memandangiku dengan wajah yang menunjukkan sifat khawatir dan kasihan. Tidak lama kemudian, bel berbunyi dan waktu istirahat kami pun berakhir.