Mojokerto - Ditangkapnya Patrialis Akbar, seorang hakim konstitusi dalam Operasi Tangkap Tangan KPK beberapa waktu lalu mengingatkan kita pada hal yang sama tahun 2014 silam. Akil Mochtar dan Patrialis Akbar adalah dua musibah dan tragedi besar yang terjadi pada Mahkamah Konstitusi, bagaimana mungkin wakil Tuhan di dunia melakukan tindakan yang mencerminkan perbuatan setan.
Bergaji minimal 72 juta per bulan tak membuat Patrialis merasa cukup, dengan gaji sedemikian besar dan belum lagi tunjangan serta fasilitas 24 jam mengapa Patrialis sampai tertangkap KPK?. Sebagaimana lembaga peradilan lainnya, ternyata Mahkamah Konstitusi mempunyai celah yang rapuh dan membuat korupsi dan suap bisa masuk. Kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai penelaah dan penguji undang – undang membuatnya penuh dengan kepentingan tangan tangan gelap ditambah lagi tak semua Hakim di Indonesia itu amanah.
Hakim adalah suatu profesi yang mulia, apalagi Hakim Konstitusi. Bayangkan hanya 9 orang terpilih dari 250 juta penduduk Indonesia yang bisa menjadi guardian of the constitution. Namun, apa yang terjadi 2 kali ( Kasus Akil Mochtar & Patrialis Akbar ) di Mahkamah Konstitusi membuat publik bertanya – tanya bagaimana sistem recruitment Hakim Mahkamah Konstitusi, kok bisa lembaga tinggi sekaliber MK bisa kecolongan?
Untuk mencegah peristiwa serupa, DPR bersama pemerintah harus segera mendorong perubahan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi lebih khususnya recruitment Hakim Mahkamah Konstitusi dari tiga institusi DPR, MA, dan Presiden. Ketiga institusi ini harus transparan dan partisipatif melibatkan publik saat menempatkan atau merekrut calon hakim MK.
Selama ini yang transparan melibatkan partisipasi publik hanyalah DPR, dari Mahkamah Agung tidak ada yang tahu tiba-tiba ada calon hakim Mahkamah Konstitusi dari Mahkamah Agung ditempatkan di Mahkamah Konstitusi. DPR dan Pemerintah harus mengambil inisiatif ini, sehingga ke depan integritas daripada hakim Mahkamah Konstitusi benar-benar sudah teruji, sehingga tidak lagi ada kasus-kasus seperti ini.
Layaknya memilih kucing dalam karung, publik tahunya hanya tiba – tiba kejadian seperti Patrialis Akbar dan Akil Mochtar. Publik tak tahu rekam jejak dan alasan mengapa seseorang bisa menjadi Hakim Mahkamah Konstitusi. Partisipasi publik dan transparansi sangat diperlukan dalam proses recruitment Hakim Mahkamah Konstitusi.
Proses pengawasan internal hakim – hakim konstitusi harus memang benar – benar dikuatkan fungsinya agar integritasnya terjaga. Karena apabila satu orang Hakim Mahkamah Konstitusi kena, maka seluruhnya akan tercoreng. Hal ini membuat digaungkan kembali pengawasan Hakim Mahkamah Konstitusi yang dilakukan Komisi Yudisial.
Salah satu syarat menjadi Hakim Mahkamah Konstitusi adalah Negarawan, namun sampai saat ini belum ada tafsir yang jelas arti Negarawan itu seperti apa?
Apa yang terjadi di Mahkamah Konstitusi itu akan meruntuhkan wibawa negara di mata rakyat dan bahaya jika ini terjadi. Jika lembaga peradilan berisi wakil Tuhan yang culas, dimana lagi kita akan mencari keadilan?
Banyak yang merindukan Mahkamah Konstitusi era Jimly Asshiddique dan Mahfud MD yang memiliki kredibilitas tinggi dan menghasilkan putusan – putusan yang progresif.
Meski Mahkamah Konstitusi tidak lagi bersih, kita harus punya optimisme. Sebagai institusi kinerja Mahkamah Konstitusi haruslah jalan terus dan tak terpengaruh hanya karena 1 orang. Setiap Hakim Mahkamah Konstitusi adalah independen, artinya 1 orang tak bisa mempengaruhi 8 orang hakim lainnya.
Apabila seseorang dipenjara karena berjuang melawan kedzaliman sampai akhir hidupnya pasti ide dan pergerakannya akan dikenang oleh dunia, sebut saja Mohammad Hatta dan Soekarno. Tapi jika seseorang dipenjara karena korupsi, sejak saat itu dia sudah mati, meski raganya hidup dan tak ada lagi yang percaya dengan idenya yah semacam Patrialis dan Akil.
Mental korup sudah menghinggapi para pejabat di negeri ini, sifat duniawi menjadi sebuah lambang kejayaan. Hidup mewah cenderung materialistis dan hedonis dari hasil korupsi adalah budaya di negeri yang katanya tanah surga ini.
*) Fahmi Ramadhan Firdaus
 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H