Catatan perjalanan akhir tahun
Bukan Perjalanan Biasa bersama GNH
***
Bagi Saya yang seorang jurnalis, berpergian ke luar kota untuk urusan pekerjaan adalah hal yang biasa. Beberapa kota di Nusantara yang pernah Saya jejaki memang sebagian diantaranya memberikan kenangan yang acap kali memaksa hasrat untuk kembali lagi kesana. Namun, seperti yang sudah-sudah biasanya berlalu begitu saja.
Tapi kali ini ada yang berbeda. Perjalanan Saya ke Lampung dalam rangka mengikuti rangkaian kegiatan Muktamar NU ke-34 terasa begitu dalam. Bahkan "Yang Terdalam".
Untuk pertama kalinya, Saya pergi kesana bersama dua orang yang sangat menginspirasi Saya selama berkarir sebagai jurnalis. Keduanya yang Saya panggil Guru, yaitu Guru Akbar dan Guru Taj.
Dan, untuk pertama kalinya Saya naik Kapal Laut yang ditandai dengan perasaan mual karena melihat Laut yang luas serta sensasinya yang asing buat Saya.
Sebelumnya Saya sudah pernah ke Lampung. Pertama dulu pada saat peresmian tol Terbanggi Besar oleh Presiden Jokowi dan kala itu PP naik pesawat terbang. Baru saja duduk, eh sudah sampai. Kelewat singkat untuk ukuran perjalanan yang jarak tempuh aslinya mencapai kurang lebih 300 km dari Bekasi.
Lalu yang kedua kali ini Saya kesana membawa misi mulia yang barangkali tidak pernah Saya bayangkan sebelumnya. Sesuatu yang tidak pernah Saya impikan sebelumnya. Sesuatu yang bahkan tidak pernah ada dalam daftar resolusi 2021 Saya. Karena resolusi Saya di 2021 ini sebenarnya sangat sederhana : berani divaksin dan harus gratis. Hahaha..
Agenda utama ke Lampung untuk kali kedua ini secara khusus adalah menjadi Khodimul Asatidz, melayani poro Guru yang akan mengikuti kegiatan Muktamar NU ke-34. Saya tersanjung “terpilih” melalui wasilah kedua Guru Saya di atas untuk mengawal Gus Nadirsyah Hosen (GNH), Rais Syuriah PCINU Aussie dan New Zealand selama berkegiatan di Lampung.
Apresiasi tertinggi Saya berikan kepada Guru guru Saya yang telah benar-benar memfasilitasi untuk bisa menjadi begitu dekat dengan sosok GNH yang selama ini hanya dapat dikagumi lewat platform sosial media Twitter.
Seingat Saya, sejak setia menjadi followernya pada 2017 lalu, terhitung empat kali sudah Saya mendapat reply dari beliau. Ketika hal tersebut Saya sampaikan ke GNH, beliau menjawab : Wah itu masih bagus bisa Saya balas. Biasanya ada juga yang tidak Saya respon.
“Puji Tuhan, sangat beruntungnya Saya,” timpal Saya seraya motek gagang Sein Innova, kendaraan yang Saya pakai selama di Lampung.
Di lain momen, selepas mengantarkan Beliau dari acara pembukaan Muktamar di Pesantren Daarussa’adah, Gunung Sugih, Lampung Selatan, sedianya Kami mampir untuk makan siang. Saya merekomendasikan rumah makan padang jejaring ternama di Lampung yakni Puti Minang. Dengan warna khasnya yang merah kuning, Saya sempat terkecoh oleh sebuah reklame yang berwarna sama dengan Puti Minang namun begitu didekati ternyata bertuliskan “Cetak Banner”.
Walhasil Saya digojlok santun oleh beliau. Anda tahu gimana rasanya? Sueneng Pooll..
Ada lagi cerita di hari kedua Muktamar sewaktu Kami makan siang di Sate Luwes. Biasanya, Kami makan satu meja. Tapi saat itu Saya makan terpisah dengan tim Khazanah GNH karena banyak Muktamirin yang ingin satu meja makan dengan beliau.
Setelah makan, Saya ditanya makan apa Mas Aziz? Saya jawab sedikit beretorika, “ Gus, sampai kapan pun dan dengan cara apa pun Saya tidak akan pernah bisa menyamai Jenengan. Tapi ada Satu hal yang bisa buat Saya menjadi sama dengan Gus Nadir. Apa Mas? tanya beliau. “Menu makanan”, jawab Saya.
GNH melanjutkan bertanya menu apa yang Saya makan. Saya Jawab Sate Kambing dan Sop Kambing. Beliau membalas, Wah sorry Saya tadi makan Tongseng. Jadi tetep ga sama juga.. Hahaha..
Di malam terakhir sebelum esoknya masing-masing dari Kami kembali ke rumah, Saya benar-benar jalan berdua dengan GNH. Beliau duduk persis di samping Saya. Saat itu Saya antar beliau bertemu dengan rekan-rekan PCI NU lainnya di daerah Way Halim. Tak banyak kata yang keluar dari mulut Saya sepanjang perjalanan ke lokasi maupun pulang ke hotel beliau bermalam. Hanya sesekali beliau menanyakan tentang aktivitas Saya.
Begitu ditanya, Saya cerita seleluasanya semasa ada kesempatan berdua dengan Beliau. Ini momen bagus dan langka. Saya meminta doa dari Beliau. Tak banyak yang Saya haturkan. Selain berharap agar bisa ngawal beliau lagi di lain waktu, juga semoga selalu diberikan kesehatan dan keberkahan.
Malam itu Kami berpisah. Beliau Saya parkirkan di Horison. Sebelum turun, Saya ajak beliau Selfie. Beliau Mau.
Terima kasih Gus.
Tabik
---
Esoknya Kami pulang, membawa segudang cerita dan pengalaman berharga.
Muktamar NU benar-benar riang gembira. Meski di hati kecil sedikit sedih dengan tidak terpilihnya Yai Said, tapi kami turut bahagia karena Yai Said sendiri mengatakan bahwa Gus Yahya adalah sosok yang tepat untuk memimpin Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.
Naik kapal laut lagi. Syukurlah tidak mabok lagi.
Kembali ke Jakarta, kembali ke Dunia Nyata, kembali cuci piring sambil bersenandung : Dinda jangan Marah marah, nanti takut Lekas tua, Kanda setia orangnya, takkan pernah mendua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H