Perang terhadap backlog perumahan terus didengungkan pemerintah. Beragam komponen penguatan pun senantiasa diciptakan agar harapan memiliki hunian bagi rakyat Indonesia tidak lagi mimpi di siang bolong.
Masih segar dalam ingatan kita ketika satu tahun silam, pada akhir April, Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara resmi menggulirkan Program Sejuta Rumah di Semarang. Momen itu dianggap sebagai jawaban atas penantian panjang rakyat Indonesia terhadap kepastian untuk memiliki tempat tinggal yang layak dan terjangkau.
“Mulai sekarang kita berusaha bersama untuk memberikan hunian bagi rakyat Indonesia,” sebut Jokowi pada kala itu.
Kesungguhan pemerintah era Jokowi dalam merumahkan rakyat memang layak diapresiasi tinggi. Program Sejuta Rumah dinilai sebagai terobosan terkini yang hadir dengan berbagai kemudahan, fasilitas dan kesiapan lebih matang sehingga peluang untuk merumahkan rakyat terutama kalangan MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) lebih terbuka lebar.
Program yang telah bergerak sejak tahun lalu ini membawa dampak cukup signifikan dalam upaya pemerintah menuntaskan pekerjaan rumah yang tidak kunjung selesai selama kurang lebih 10 tahun terakhir ini. Tercatat, jumlah backlog hampir dipastikan tidak pernah menyusut tiap tahun, angkanya yang masih berkutat di sekitar 13 juta unit.
Namun, paska program sejuta rumah digulirkan, kabar gembira pun datang. Direktur Jenderal (Dirjen) Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Syarif Burhanuddin dalam sebuah kesempatan menyatakan bahwa menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) backlog hunian mengalami penurunan menjadi 11,4 juta unit pada 2015.
“Seperti kita ketahui sebelumnya, backlog rumah bertengger di angka 13,5 juta unit,” ujarnya dalam sebuah kesempatan.
Artinya jika dinominalkan, terjadi penurunan cukup drastis setelah program ini berjalan. Syarif pun menambahkan bahwa pemerintah—dalam hal ini Kementerian PUPR—sangat fokus mengawal program ini dengan tujuan besarnya, yakni terjadinya pengurangan backlog hingga sebesar 6,8 juta unit pada akhir 2019 nanti.
Untuk itu, Syarif menyampaikan bahwa tugas merumahkan masyarakat masih sangat panjang dan butuh perjuangan ekstra. Dari sisi pemerintah sebagai pemangku kepentingan utama, jelas Syarif, mereka dihadapkan pada tiga persoalan utama. Ketiga masalah tersebut adalah regulasi pertanahan, keterlibatan pemerintah daerah (Pemda), dan keterbatasan lahan.
Mengutamakan Sinergi
Setelah berjalan melewati musim perdananya tahun lalu, pemerintah telah menghabiskan anggaran sebesar Rp5,6 triliun untuk program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang dampaknya membuat bunga KPR bersubsidi menjadi hanya 5% dari yang sebelumnya 7,25% selama masa tenor kreditnya. Meski hasilnya belum terlihat maksimal dan memuaskan, Syarif menilai ada optimisme yang tumbuh sehingga tahun ini anggaran untuk program perumahan meningkat hingga mencapai Rp20 triliun.
Dengan anggaran sebesar itu, tentunya serapan untuk membangun rumah hingga memenuhi target yang diinginkan akan semakin besar dari periode sebelumnya. Syarif sendiri tidak menampik bila Program Sejuta Rumah yang telah dimulai sejak tahun lalu belumlah sempurna. Karena itu, tahun ini pihaknya banyak melakukan percepatan dengan mengacu pada pengalaman sebelumnya.
Nah, langkah selanjutnya yang ditempuh adalah memetakan ragam masalah yang disinyalir bisa menjadi penghambat laju program ‘mulia’ ini. Untuk memecahkan tiga masalah utama tadi—regulasi pertanahan, dukungan Pemda, dan ketersediaan lahan tanah (land bank)— pemerintah terus menggenjot usaha mengakrabkan diri dengan beberapa instasi terkait seperti Kementeian Agraria/ Kepala BPN dan Kementerian Dalam Negeri.
“Kami terus melakukan kesepakatan pemahaman dengan teman-teman pendukung program ini sehingga bisa berjalan sesuai harapan. Jujur saja, masalah koordinasi yang kadang sedikit menghambat,” ungkap pria ramah ini.
Sebagai contoh, pemerintah pusat telah menginstruksikan soal pembebasan biaya IMB serta perizinan. Nyatanya, baru tiga daerah yang taat yakni Jambi, Palembang dan Surabaya. Dengan kata lain, sebenarnya yang terjadi di lapangan adalah kurang maksimalnya peran Pemda yang nilai Syarif merupakan ujung tombak dari kesuksesan progam ini. “Sinergi menjadi hal yang paling dibutuhkan untuk menyelaraskan program sejuta rumah ini,” tegasnya lagi.
Memang tidak mudah, ini diakui Syarif sendiri. Menurutnya, semua pihak harus mendukung. Namun, proses implementasinyalah yang membutuhkan waktu agak panjang.
Contonhya, belum lama ini Kementerian PUPR mendapatkan hibah berupa land bank dari Kementerian Keuangan seluas 360 hektar yang diperuntukkan untuk penyediaan rumah murah. Faktanya, lahan seluas itu belum bisa langsung digunakan lantaran masih harus mengurus perizinannya terlebih dulu.
Persoalan utama dari Program Sejuta Rumah ini memang lebih banyak berkutat di urusan land bank. Sekalipun disokong dengan aneka kemudahan terutama bagi calon konsumen alias pembeli seperti peringanan uang muka dari 5-10% menjadi 1%, kemudian besaran cicilan menjadi 5% dari yang sebelumnya 7,25% dengan tenor hingga 20 tahun (bahkan ada wacana sampai 30 tahun); namun bila lahan untuk membangunnya tidak ada, maka ini mirip istilah ‘pepesan kosong’.
Land bank pulalah yang membuat Ali Tranghanda, CEO Indonesia Property Watch (IPW) berteriak keras mengenai pengadaannya yang menjadi wajib hukumnya. Ali cukup konsisten menyuarakan soal land bank, bahkan sejak Kemenpera masih berdiri sendiri di bawah kepemimpinan Suharso Monoarfa dan penggantinya Djan Farid. Ali mengingatkan pemerintah akan pentingnya ketersediaan bank tanah bagi pengembangan rumah sederhana.
“Bank tanah mutlak disediakan jika misi merumahkan rakyat adalah prioritas,” ujar Ali saat wawancara dengan penulis lima tahun silam. Namun, sampai saat ini keberadaan bank tanah masih saja belum terwujud matang sehingga keyakinan menjalankan misi sejuta rumah agak terganggu.
Artinya, gerak cepat pemerintah melalui sejumlah kebijakan serta fasilitas penunjang Program Sejuta Rumah menjadi lambat, bahkan jalan di tempat, bila urusan bank tanah ini tidak segera dibenahi. Hasilnya, target memenuhi sedikitnya 1 juta unit rumah tiap tahunnya baru bisa tersedia 400-500.000 unit, sementara di sisi lain kebutuhan terus meningkat sebanyak 800.000 unit setiap tahun.
Sedikit mengulik sejarah, konsep bank tanah sebenarnya telah ada sejak zaman Orde Baru dengan istilah Kasiba (kavling siap bangun) atau Lisiba (lingkungan siap bangun). Konsep ini menjadi strategis karena nantinya tanah-tanah yang bisa dikembangkan untuk public housingdapat segera ‘diamankan’ pemerintah sehingga harga tanahnya tidak terus naik mengikuti mekanisme pasar.
Ali memang cukup vokal soal perumahan rakyat ini. Di matanya, program ini tidak dapat dilihat sebagai program jangka pendek yang tambal sulam. Harus ada road map jangka panjang termasuk isu strategis masalah bank tanah yang harus sesegera mungkin dibentuk. “Pemerintah idealnya membuat blue printyang secara jelas menggambarkan kebutuhan rumah rakyat ini sehingga ada target yang bisa dievaluasi bila tidak berjalan maksimal,” ujarnya gemas.
Terlepas dari segala macam hambatan dan tantangan yang menghadang, harus diakui baru kali ini pemerintah terlihat sangat serius menganggap bahwa merumahkan rakyat adalah misi penting yang tak bisa lagi dinanti-nanti. Apresiasi patut diberikan atas sikap tanggung jawab pemerintah.
Dengan kebutuhan rumah yang semakin bertambah, sementara penyediaannya masih tertatih-tatih, pemerintah harus benar-benar serius dan fokus menggalang keberhasilan Program Sejuta Rumah ini. Rumit memang layaknya benang kusut. Tapi selama api sinergi terus terjaga, bukan tidak mungkin suram dan resah bisa terganti dengan senyum sumringah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H