Namun Negara-negara ini berhasil membuat lahan eksotis di atas lautan dengan skema reklamasi. Perlukah Indonesia mencontoh?
Jauh sebelum marak berita reklamasi pantai di Indonesia, usaha menambah volume daratan dengan cara menguruk laut atau pantai ini telah banyak dilakukan Negara-negara lain. Sebut saja Singapura, Hong Kong, Dubai, Korea Selatan dan Belanda misalnya yang terbukti sukses menerapkan format bernilai triliunan ini.
Berangkat dari prinsip untuk meningkatkan upaya memanfaatkan sumber daya lahan seperti yang turut tercantum pula dalam Undang Undang No. 27 Tahun 2007, reklamasi dianggap bukanlah hal terlarang, tabu apalagi sampai menimbulkan kontroversi berkepanjangan. Reklamasi secara definisi adalah kegiatan proses pembentukan lahan baru di pesisir atau bantaran sungai yang tujuan utamanya adalah menjadikan kawasan berair yang rusak atau tak berguna menjadi lebih baik dan bermanfaat tentunya.
“Secara prinsip, reklamasi dilakukan untuk perbaikan atau pemulihan suatu lahan,” ujar Siti Nurbaya Bakar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam sebuah kesempatan.
Banyak contoh sukses terhampar terkait reklamasi yang terjadi di sejumlah Negara berkembang dan maju. Proses identifikasi yang komprehensif dan detail, studi kelayakan, hingga evaluasi menyeluruh dilakoni tahapan demi tahapan hingga eksekusi bisa terlaksana dengan baik dan mendatangkan manfaat luar biasa.
Dalam banyak catatan disebutkan jika reklamasi tidak hanya bertujuan untuk menambah lahan saja, tetapi juga memiliki misi rehabilitasi terutama di wilayah yang pantainya persis berhadapan dengan laut lepas guna mengurangi dampak abrasi. Khusus kasus seperti ini banyak terjadi di wilayah-wilayah Negara di Oceania yang cenderung memiliki laut dengan arus besar.
Lalu bagaimana Indonesia “wajib” belajar dari persoalan reklamasi yang kerap kali ditentang sebagian besar masyarakat seperti yang terjadi di Teluk Benoa dimana bahkan sampai muncul ultimatum “Puputan” (Istilah perang masyarakat Bali) jika reklamasi tetap dilaksanakan?
Belajar dari Hong Kong
Mari sebut saja Hong Kong. Sebuah Negara yang lama dikeloni oleh Inggris ini telah memulai ekspansi daratannya dengan cara reklamasi sejak ber abad-abad lampau persis di zaman Dinasti Han Barat (206 SM – 9 M ) yang saat itu hanya untuk kepentingan pertumbuhan produksi garam. Cerita bertambah, pada pertengahan abad ke-19 ketika Hong Kong masih diinduki Inggris, sebuah proyek reklamasi yang kemudian dikenal dengan nama Prata Reclamation Scheme berhasil melahirkan lahan baru seluas 240 ribu m2.
Di momen yang berbeda, Hong Kong semakin menggeliat dengan proyek reklamasinya dengan membesut Central dan Wan Chai Reclamation sebagai next generation of reclamation. Proyek ini digagas oleh pemerintah Hong Kong untuk kembali menata ulang dan memperbarui lahan yang ada, namun dengan beberapa tujuan yang berbeda dari sebelumnya. Kali ini salah satunya dalam rangka untuk penyediaan lahan bagi Central-Wan Chai Bypass dan Station Hong Kong. Dengan rencana yang matang, keseluruhan proses proyek reklamasi Central dan Wan Chai Reclamation ini dibagi menjadi lima tahap. Central Reclamation tiga tahap, sedangkan Wan Chai Reclamation menjadi dua tahap.
Tidak berhenti sampai disitu saja, Hong Kong juga mengembangkan Disneyland Resort sebuah kawasan wisata dan hiburan ternama, kemudian ada pula Kai Tak Airport yang dilanjutkan dengan pembangunan Bandara Internasional Hong Kong yang semuanya berdiri gagah di atas tanah reklamasi.
Hal hebat dari reklamasi Hong Kong yang harus diikuti oleh Indonesia adalah cara mereka turut membangun aktivitas perekonomian dan perkotaan sehingga tidak merecoki kegiatan yang berlangsung di tanah sesungguhnya daratan. Kegiatan ekonomi yang dimaksud adalah membangun peradaban aktivitas sosial, ekonomi hingga kehidupan bagi masyarakat yang membutuhkan tempat tinggal, pendapatan serta hiburan yang memadai.
Pada akhirnya Hong Kong termaktub tidak pernah berhenti melakukan reklamasi dari zaman ke zaman. Namun satu hal yang pasti, hampir tidak pernah dijumpai kerikil-kerikil penghambat metode ini karena di sisi lain pemerintah Hong Kong sendiri senantiasa mengimbanginya dengan pembangunan infrastruktur serta mengakomodir pertumbuhan penduduk dan mampu membangkitkan sektor ekonomi dan pariwisata.
Reklamasi Negeri Tetangga
Adalah Singapura Negara tetangga dekat Indonesia yang juga melakukan upaya serupa dengan Hong Kong dalam membangun negaranya. Bahkan bangsa serumpun melayu itu pun sudah memulainya sejak 40 tahun silam dan dipredikisi baru akan berakhir 14 tahun ke depan dari sekarang.
Dicanangkan oleh tokoh revolusioner Singapura yang juga Perdana Menteri pertama Lee Kuan Yew pada 1976, Singapura perlahan menata tata letak dan pembangunan kotanya dengan sistem reklamasi yang apik. Dalam sebuah laman disebutkan jika Singapura menggunakan teknologi canggih dalam melakukan reklamasi sehingga tidak menyebabkan dampak di negara tersebut. Padahal, sebelum memulai reklamasi, wilayah Singapura justru mengalami banjir layaknya Jakarta.
Dilanjutkan, sistem drainase di Singapura sudah sangat mapan yang merupakan hasil sinergi pemerintah dengan proyek reklamasi pengembang. Proyek reklamasi yang dipusatkan di pantai barat dan timur itu disebut-sebut menghabiskan kurang lebih 8 miliar kubik pasir yang bisa menambah kuantitas wilayah Negara tersebut hingga 260 km persegi.
Hasilnya, luas singapura yang tak lebih besar dari Indonesia melonjak dari 633 km persegi pada 1991 menjadi sekitar 716 km persegi pada saat ini. Selain itu, Singapura juga piawai mengatur sistem drainase sehingga tidak menimbulkan dampak terhadap lingkungan sekitar.
Namun yang menjadi perhatian serius dari semangat Singapura melakukan reklamasi adalah dampaknya terhadap Indonesia. Terutama soal kabar pasir yang digunakan untuk menguruk pantai-pantai di Singapura berasal dari Indonesia yang disinyalir mencapai 8 miliar kubik. Akibatnya bisa dilihat sekarang jika banyak terjadinya abrasi terutama di pulau-pulau yang berbatasan dengan Singapura.
Pelajaran dari Singapura: Ambil teknologi reklamasinya, hindari mengambil pasir atau tanah urukannya dari tetangga sebelah.
Jalan itu bernama Reklamasi
Kalau boleh menyebut satu negara yang sukses menerapkan skema reklamasi dalam membangun serta mengembangkan wilayahnya tentunya Belandah lah namanya. Negara penghasil Bunga Tulip terbesar di dunia ini dinilai cukup berhasil mengaplikasikan gaya reklamasi disana yang terjadi di hampir sebagian besar wilayah.
Bagaimana tidak? Dengan kondisi tanahnya yang berada di bawah permukaan laut, maka Belanda dituntut untuk mau tidak mau menggunakan reklamasi sebagai cara agar tidak tenggelam oleh pasang air laut.
Sebagai contoh misalnya, Kota Almere. Kota yang masuk dalam bagian provinsi Flevoland ini seperti yang dirinci di Wikipedia merupakan kota yang sebagian besar wilayahnya adalah Polder (tanah hasil pengeringan air laut). Sistem polder sendiri merupakan salah satu bagian dari reklamasi yang dilakukan dengan mengeringkan perairan yang akan direklamasi dengan memompa air yang berada di dalam tanggul kedap air untuk kemudian dibuang keluar daerah lahan reklamasi.
Dengan mengedepankan skema reklamasi dalam pengembangan wilayahnya, Belanda bisa diklaim sebagai prototype sempurna bagi Negara-negara lain yang ingin melakukan reklamasi. Sekadar informasi, bahkan satu wilayah di Belanda yakni Lahan Beemster masuk dalam Daftar Pusaka UNESCO sebagai misal paling sukses karena menciptakan sebagian besar lahan kering di bagian utara, barat dan barat daya.
Atau ada juga Komplek Maasvlakte II di Rotterdam yakni sebuah kompleks pelabuhan yang didirikan di atas pulau hasil reklamasi.
Bagaimana dengan Indonesia?
Sebagai Negara dengan gugusan pulau yang banyak dan luas, Indonesia sejatinya tidak perlu terlalu banyak menuntut reklamasi sebagai satu-satunya jalan dalam memperluas wilayah atau membuat wilayah baru. Kalaupun harus terjadi, ada baiknya menaati teori reklamasi yang terbagi menjadi beberapa jenis seperti dengan Sistem Timbunan yakni dimana reklamasi dilakukan dengan cara menimbun perairan pantai sampai muka lahan berada di atas permukaan air laut tinggi.
Atau bisa juga seperti Belanda yakni melalui Sistem Polder, Sistem Kombinasi (Timbunan dan Polder) yaitu setelah lahan diperoleh dengan metode pemompaan, hingga lahan tersebut mencapai ketinggian tertentu sehingga perbedaan elevasi antara lahan reklamasi dan muka air laut tidak besar atau dengan Sistem Drainase yang biasanya sistem reklamasi seperti ini digunakan pada wilayah pesisir yang datar dan relatif rendah dari wilayah disekitarnya, tetapi elevasi muka tanahnya masih lebih tinggi daripada elevasi muka air laut.
Yang perlu menjadi perhatian pula adalah bahwa biaya yang dikeluarkan untuk reklamasi tidaklah sedikit. Termasuk biaya untuk mengongkosi perusahan konstruksi reklamasi berskala internasional seperti Van Oord dan Boskalis International dari Belanda, Jan De Nul dan Dredging International dari Belgia, China Harbour dan Hai Yin dari China
Dredging International dan Boskalis International terkenal dengan proyek reklamasi di Bahrain dan Palma, serta China Harbor yang mengerjakan reklamasi Suramadu dan deep waterpark terdalam di pelabuhan China.
Reklamasi harusnya menjadi solusi dan bukan menimbulkan masalah baru. Indonesia boleh saja mencontoh kesuksesan Negara-negara tersebut di atas. Namun ingat, semuanya harus berangkat dari pondasi kepentingan orang banyak serta tidak menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan, bukan dari kepentingan tertentu apalagi jika hanya didasari oleh nafsu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H