Bagaimana tidak? Dengan kondisi tanahnya yang berada di bawah permukaan laut, maka Belanda dituntut untuk mau tidak mau menggunakan reklamasi sebagai cara agar tidak tenggelam oleh pasang air laut.
Sebagai contoh misalnya, Kota Almere. Kota yang masuk dalam bagian provinsi Flevoland ini seperti yang dirinci di Wikipedia merupakan kota yang sebagian besar wilayahnya adalah Polder (tanah hasil pengeringan air laut). Sistem polder sendiri merupakan salah satu bagian dari reklamasi yang dilakukan dengan mengeringkan perairan yang akan direklamasi dengan memompa air yang berada di dalam tanggul kedap air untuk kemudian dibuang keluar daerah lahan reklamasi.
Dengan mengedepankan skema reklamasi dalam pengembangan wilayahnya, Belanda bisa diklaim sebagai prototype sempurna bagi Negara-negara lain yang ingin melakukan reklamasi. Sekadar informasi, bahkan satu wilayah di Belanda yakni Lahan Beemster masuk dalam Daftar Pusaka UNESCO sebagai misal paling sukses karena menciptakan sebagian besar lahan kering di bagian utara, barat dan barat daya.
Atau ada juga Komplek Maasvlakte II di Rotterdam yakni sebuah kompleks pelabuhan yang didirikan di atas pulau hasil reklamasi.
Bagaimana dengan Indonesia?
Sebagai Negara dengan gugusan pulau yang banyak dan luas, Indonesia sejatinya tidak perlu terlalu banyak menuntut reklamasi sebagai satu-satunya jalan dalam memperluas wilayah atau membuat wilayah baru. Kalaupun harus terjadi, ada baiknya menaati teori reklamasi yang terbagi menjadi beberapa jenis seperti dengan Sistem Timbunan yakni dimana reklamasi dilakukan dengan cara menimbun perairan pantai sampai muka lahan berada di atas permukaan air laut tinggi.
Atau bisa juga seperti Belanda yakni melalui Sistem Polder, Sistem Kombinasi (Timbunan dan Polder) yaitu setelah lahan diperoleh dengan metode pemompaan, hingga lahan tersebut mencapai ketinggian tertentu sehingga perbedaan elevasi antara lahan reklamasi dan muka air laut tidak besar atau dengan Sistem Drainase yang biasanya sistem reklamasi seperti ini digunakan pada wilayah pesisir yang datar dan relatif rendah dari wilayah disekitarnya, tetapi elevasi muka tanahnya masih lebih tinggi daripada elevasi muka air laut.
Yang perlu menjadi perhatian pula adalah bahwa biaya yang dikeluarkan untuk reklamasi tidaklah sedikit. Termasuk biaya untuk mengongkosi perusahan konstruksi reklamasi berskala internasional seperti Van Oord dan Boskalis International dari Belanda, Jan De Nul dan Dredging International dari Belgia, China Harbour dan Hai Yin dari China
Dredging International dan Boskalis International terkenal dengan proyek reklamasi di Bahrain dan Palma, serta China Harbor yang mengerjakan reklamasi Suramadu dan deep waterpark terdalam di pelabuhan China.
Reklamasi harusnya menjadi solusi dan bukan menimbulkan masalah baru. Indonesia boleh saja mencontoh kesuksesan Negara-negara tersebut di atas. Namun ingat, semuanya harus berangkat dari pondasi kepentingan orang banyak serta tidak menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan, bukan dari kepentingan tertentu apalagi jika hanya didasari oleh nafsu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H