Mohon tunggu...
Aziz Fahmi Hidayat
Aziz Fahmi Hidayat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Santri Nusantara

My Life, My Rule, My Decision

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Tuhan Tidak Menciptakan Tanah Baru

14 Juli 2016   14:17 Diperbarui: 14 Juli 2016   14:23 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun Negara-negara ini berhasil membuat lahan eksotis di atas lautan dengan skema reklamasi. Perlukah Indonesia mencontoh?

Jauh sebelum marak berita reklamasi pantai di Indonesia, usaha menambah volume daratan dengan cara menguruk laut atau pantai ini telah banyak dilakukan Negara-negara lain. Sebut saja Singapura, Hong Kong, Dubai, Korea Selatan dan Belanda misalnya yang terbukti sukses menerapkan format bernilai triliunan ini.

Berangkat dari prinsip untuk meningkatkan upaya memanfaatkan sumber daya lahan seperti yang turut tercantum pula dalam Undang Undang No. 27 Tahun 2007, reklamasi dianggap bukanlah hal terlarang, tabu apalagi sampai menimbulkan kontroversi berkepanjangan. Reklamasi secara definisi adalah kegiatan proses pembentukan lahan baru di pesisir atau bantaran sungai yang tujuan utamanya adalah menjadikan kawasan berair yang rusak atau tak berguna menjadi lebih baik dan bermanfaat tentunya.

“Secara prinsip, reklamasi dilakukan untuk perbaikan atau pemulihan suatu lahan,” ujar Siti Nurbaya Bakar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam sebuah kesempatan.

Banyak contoh sukses terhampar terkait reklamasi yang terjadi di sejumlah Negara berkembang dan maju. Proses identifikasi yang komprehensif dan detail, studi kelayakan, hingga evaluasi menyeluruh dilakoni tahapan demi tahapan hingga eksekusi bisa terlaksana dengan baik dan mendatangkan manfaat luar biasa.

Dalam banyak catatan disebutkan jika reklamasi tidak hanya bertujuan untuk menambah lahan saja, tetapi juga memiliki misi rehabilitasi terutama di wilayah yang pantainya persis berhadapan dengan laut lepas guna mengurangi dampak abrasi. Khusus kasus seperti ini banyak terjadi di wilayah-wilayah Negara di Oceania yang cenderung memiliki laut dengan arus besar.

Lalu bagaimana Indonesia “wajib” belajar dari persoalan reklamasi yang kerap kali ditentang sebagian besar masyarakat seperti yang terjadi di Teluk Benoa dimana bahkan sampai muncul ultimatum “Puputan” (Istilah perang masyarakat Bali) jika reklamasi tetap dilaksanakan?

Belajar dari Hong Kong

Mari sebut saja Hong Kong. Sebuah Negara yang lama dikeloni oleh Inggris ini telah memulai ekspansi daratannya dengan cara reklamasi sejak ber abad-abad lampau persis di zaman Dinasti Han Barat (206 SM – 9 M ) yang saat itu hanya untuk kepentingan pertumbuhan produksi garam. Cerita bertambah, pada pertengahan abad ke-19 ketika Hong Kong masih diinduki Inggris, sebuah proyek reklamasi yang kemudian dikenal dengan nama Prata Reclamation Scheme berhasil melahirkan lahan baru seluas 240 ribu m2.

Di momen yang berbeda, Hong Kong semakin menggeliat dengan proyek reklamasinya  dengan membesut Central dan Wan Chai Reclamation sebagai next generation of reclamation. Proyek ini digagas oleh pemerintah Hong Kong untuk kembali menata ulang dan memperbarui lahan yang ada, namun dengan beberapa tujuan yang berbeda dari sebelumnya. Kali ini salah satunya dalam rangka untuk penyediaan lahan bagi Central-Wan Chai Bypass dan Station Hong Kong. Dengan rencana yang matang, keseluruhan proses proyek reklamasi Central dan Wan Chai Reclamation ini dibagi menjadi lima tahap. Central Reclamation tiga tahap, sedangkan Wan Chai Reclamation menjadi dua tahap.

Tidak berhenti sampai disitu saja, Hong Kong juga mengembangkan Disneyland Resort sebuah kawasan wisata dan hiburan ternama, kemudian ada pula Kai Tak Airport yang dilanjutkan dengan pembangunan Bandara Internasional Hong Kong yang semuanya berdiri gagah di atas tanah reklamasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun