Selain ancaman dan implikasi nuklir yang telah dijabarkan diatas, domain keamanan siber menjadi faktor kritis dalam menjaga stabilitas. Sistem komando dan kontrol nuklir sangat bergantung pada jaringan komputer yang apabila diserang atau diretas, dapat memicu konsekuensi bencana. Ingatlah Stuxnet?, salah satu kejadian keamanan siber yang menyerang reaktor nuklir Iran dan aktornya tak lain dilakukan oleh Amerika-Israel. Seperti virus yang menginfeksi sel hidup, Stuxnet menyebar melalui jaringan komputer reaktor nuklir Iran (dalam bahasa teknis disebut SCADA: Supervisory Control and Data Acquisition System), secara perlahan melumpuhkan objek vital dan mengganggu operasi fasilitas, sehingga menghambat program nuklir negara tersebut. Oleh karena itu perlu kita ketahui bersama bahwa serangan siber dapat menargetkan infrastruktur penting yang mengendalikan senjata nuklir, memanipulasi informasi, atau bahkan mengambil alih kendali sistem, sehingga meningkatkan risiko eskalasi yang tidak disengaja. Dalam dunia yang semakin terhubung secara digital, ancaman siber terhadap sistem nuklir menjadi salah satu ancaman paling serius yang harus dihadapi oleh negara-negara di kawasan Semenanjung Korea dan dunia internasional.
Diantara Bit dan Bom: Ancaman Siber terhadap Senjata Nuklir
Setiap kalimat yang diketikan dan kode yang dijalankan akan menghasilkan dua implikasi nyata, yakni anugrah atau wabah. Perang nuklir dan perang siber, meski berbeda dalam cara pelaksanaannya, sama-sama menghadirkan ancaman eksistensial. Jika perang nuklir memicu kehancuran fisik yang masif, perang siber dapat melumpuhkan sistem vital negara, termasuk sistem pengendalian senjata nuklir, dengan potensi memicu konflik berskala lebih besar.
Gambar 1 di atas membandingkan siklus hidup senjata kinetik (seperti rudal) dengan senjata siber (seperti Stuxnet). Senjata kinetik memiliki siklus yang lebih sederhana dan dapat diprediksi, mulai dari pengembangan, produksi, penggunaan, hingga pembuangan. Sebaliknya, senjata siber memiliki siklus yang dinamis dan terus berkembang. Setelah sebuah serangan siber terjadi, target umumnya akan meningkatkan sistem keamanannya, memaksa para penyerang untuk terus mengembangkan teknik dan alat baru. Hal ini menciptakan semacam perlombaan senjata di dunia maya, di mana pertahanan dan serangan terus berevolusi. Dengan demikian, kompleksitas dan dinamika yang melekat pada senjata siber membuat tantangan dalam mengamankan sistem digital menjadi jauh lebih besar dibandingkan dengan mengamankan aset fisik.
Dalam sejarahnya beberapa serangan siber yang pernah terjadi dan menjadi atensi global karena menargetkan infrastruktur kritis di semenanjung korea. Pertama adalah “Ten Days of Rain” pada tahun 2011. Serangan pertama menargetkan Kantor Presiden Korea Selatan, Kementerian Luar Negeri, Badan Intelijen Nasional, dan beberapa lembaga keuangan utama Korea Selatan. Para penyerang menginjeksikan malware ke dalam dua situs web. Salah satu serangan terbesar terjadi pada NongHyup Bank, di mana Korea Utara diduga menargetkan sistem keuangan untuk mencuri dana dan menciptakan ketidakstabilan. Kedua, serangan terhadap Sony Pictures pada 2014. Serangan ini memiliki dampak signifikan pada hubungan di kawasan tersebut. Serangan ini terjadi setelah Sony memproduksi film The Interview, yang menggambarkan rencana pembunuhan terhadap pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un. Peretas yang diduga berasal dari Korea Utara membobol sistem Sony, mencuri data perusahaan, dan merilis email serta dokumen sensitif. Serangan ini menunjukkan kemampuan Korea Utara dalam melancarkan serangan siber terhadap target internasional. Ketiga, adalah serangan Dark Seoul. Pada tahun 2013, serangkaian serangan siber besar yang dikenal sebagai "Dark Seoul" menyerang infrastruktur Korea Selatan, termasuk bank, stasiun televisi, dan situs web pemerintah. Serangan ini melumpuhkan lebih dari 32.000 komputer dan mengakibatkan gangguan layanan perbankan dan penyiaran selama beberapa hari.
Dari perbandingan siklus hidup senjata kinetik dan beberapa contoh kasus serangan siber, kita dapat menyimpulkan bahwa senjata siber menghadirkan ancaman yang jauh lebih kompleks dan dinamis terhadap keamanan global, termasuk terhadap sistem senjata strategis seperti nuklir. Sementara senjata konvensional memiliki siklus hidup yang lebih linier dan mudah diprediksi, senjata siber terus berevolusi seiring dengan perkembangan teknologi. Hal ini menjadikan sistem kontrol dan keamanan senjata nuklir, yang semakin bergantung pada teknologi digital, rentan terhadap serangan siber. Potensi disabilitas atau manipulasi sistem kontrol nuklir akibat serangan siber dapat memicu eskalasi konflik yang tidak diinginkan dan mengancam stabilitas internasional. Intinya, perlombaan senjata siber tidak hanya berdampak pada sektor sipil, tetapi juga pada keamanan militer dan strategis. Oleh karena itu, perlu adanya upaya global yang lebih besar untuk mengembangkan pertahanan siber yang kuat dan mengatur penggunaan teknologi yang berpotensi merusak.
Cyber Diplomacy sebagai Solusi Inovatif
Dalam sebuah penelitian, diplomasi siber diartikan sebagai upaya global untuk menciptakan tatanan dunia maya yang damai dan saling percaya. Diplomasi siber ini muncul sebagai respons terhadap semakin pentingnya ruang siber dalam kehidupan kita, dan bertujuan untuk menyeimbangkan kepentingan nasional suatu negara dengan kepentingan bersama seluruh dunia di ranah digital. Dengan kata lain, diplomasi siber ini ingin menerapkan prinsip-prinsip diplomasi tradisional, seperti perdamaian dan kerja sama, dalam konteks interaksi manusia di dunia maya.
Sebelum membahas lebih jauh terkait dengan diplomasi siber, kita bahas terlebih dahulu beberapa kebuntuan denuklirisasi di semenanjung korea.
Tabel 1. Denuklirisasi menurut Korea Utara